webnovel

Mas Dosen

Aplikasi dating yang dikenalkan Nuril - teman kampus - pada Divita namanya BeeTalk. Awalnya Divi hanya tahu WeChat, Tinder. Ada pula Twoo atau Badoo. Sejak kuliah lagi, ngobrol di ajang pencarian jodoh menjadi penghiburan bagi Divita.

Beberapa pria, memberi tanggapan pada postingan fotonya. Yang dirasanya cocok, bisa dilanjut dengan saling mengirimkan pesan bahkan berbincang via telepon. Lebih jauh lagi, saat merasa cocok dan obrolan nyambung. Ia akan menerima ajakan untuk bertemu, apalagi jika mereka satu kota. Divita sangat memilih pria yang akan ditemuinya.

Pandangan matanya menemukan satu pria yang berpakaian rapi, bersih, klimis, berkacamata dan terlihat pintar. Aura kecerdasan ditangkap Divita dari fotonya. Divi merasa mengenal lelaki itu. Ia mencoba membuka aplikasi Badoo di laptopnya. Kemudian mencocokan foto dan nama, tertulis di sana Djati - Dosen. Seorang dosen yang sedang mencari pasangan. Ia mengirimkan pesan, ibarat melemparkan dadu pada tabel permainan. Jika angka enam yang muncul, maka peluang besar untuk berbalas.

Pesan Divi sering berbeda dari umumnya, bukan pesan yang diawali salam atau atau,

'Hai, apa kabar? Boleh kenalan?'

Pesan umum yang tentunya tidak menarik perhatian. Sejuta wanita melakukan itu, bagi Divi pesan yang umum seperti itu akan menarik perhatian hanya jika foto yang kamu pasang secantik artis. Jika fotomu biasa saja, bisa berminggu-minggu tak akan ada yang menjawab pesan.

Divi paling senang menyapa dengan hal yang menjadi perhatian, hobi, atau pertanyaan tentang foto yang dipasang. Hampir 100% ia mendapat balasan.

Setidaknya pesannya menerima tanggapan dan ia bisa memulai obrolan.

"Kamu dosen?" tanya Divi pada kotak pesan di aplikasi Beetalk. Titik kecil tanda online dari pria bernama Djati menunjukkan kalau ia juga sedang berselancar di sana.

"Kamu peramal?"

Divi mengukir senyum di bibirnya, pesannya berbalas. Waktunya menebar jala, tujuannya menangkap ikan yang pas.

Hanya ada dua kriteria pria baginya, jika tidak ganteng maka harus kaya. Begitu pun sebaliknya, jika tidak kaya ya harus ganteng. Syukur kalau dapatnya jackpot, selain ganteng bonusnya kaya. Semacam eksekutif muda yang menerima warisan bapaknya.

"Saya bukan peramal, tapi saya yakin Saya tahu masa depan kamu!"

"Bagaimana memang?"

"Masa depanmu bersama denganku!"

Humph, Divi menarik bibir atasnya. Masa depan? Bersama seorang pria, hanya ada di dialog chatnya pada aplikasi chatting. Pria mana yang bisa dipercaya menjadi masa depannya.

"Kamu bisa aja," balas pria itu.

"Di Jogja juga nih? Ketemuan yuuk! Kalau dekat, malam ini juga aku jemput. Kamu tinggal sama siapa?"

"Iya, Jogja, jarak kita dekat koq. Di aplikasi hanya 800m. Tapi besok saja ketemunya, aku harus persiapan untuk menyambut kamu!"

Jawaban Divita terlihat berlebihan.

"Karena dekat, sekarang masih bisa. Kirim alamat kamu ya."

Divi menatap ponselnya sambil menutup sebagian wajah dengan jari tangan, lalu mengetukkan telunjuknya pada titik tengah antara dua alisnya. Hal yang biasa dilakukan jika ia mulai bingung memutuskan pilihan. Kali ini tidak. Ia harus memainkan peran jinak dan tegas. Hanya yang gampangan saja yang langsung menyetujui bertemu teman chatnya. Ia harus mengukur kekuatan. Memperpanjang obrolan, baru bisa memutuskan apakah mereka layak bertemu. Kedekatannya dengan Awan yang berakhir dengan dialog menghilangkan keperjakaan membuatnya lebih awas dalam menjalin kedekatan. Padahal Awan baik, Divi banyak dibantu olehnya. Selama berhari-hari pria muda itu menjadi pengawalnya, mengantar kemana saja, bahkan menjelaskan arah mata angin, Utara, Selatan, Timur dan Barat.

Arah mata angin adalah panduan penunjuk arah di Jogja, ilmu yang tidak dimiliki Divi. Pengetahuan wajib yang harus dimilikinya jika tidak ingin nyasar.

Hari pertama ia ngampus, panduan arah, Utara dan Selatan mengacaukan rute kepulangannya ke kos. Alhasil ia yang seharusnya menuju Jakal - Jalan Kaliurang malah berkendara menuju Bantul.

Ops, Divi lupa mengirimkan pesan yang sudah diketiknya.

"Maaf ya, Malam ini Saya terlalu malas untuk berganti. Masih ada yang harus dikerjakan." Alasan klasik yang dipilih Divi.

"Ok, kirim nomor WA atau BBM kamu, lanjut di sana saja"

Biasanya Divi berkelit dan mengulur waktu sebelum memberikan nomor teleponnya. Tapi kali ini, jemarinya lancar serta merta memberikan nomor pin BB pribadinya.

***

Divi dijemput di depan rumah induk.