webnovel

Kafe Gaul

Selepas Magrib menuju Isya, kami bertiga sudah duduk di sebuah Kafe. Suasana agak temaram, kursi kayu jati dan meja dari banirnya menjadi tempat kami mengerjakan tugas kuliah. Hal kekinian yang sebelumnya tidak pernah kulakukan. Membuatku merasa pernah hidup di negeri antah berantah.

"Tumben, Mba Di ngajakin kita kemari. Teman kencan mana teman kencan? Mas Djati apa kabar, Mba?"

Cengiran Nuril dan kerlingan matanya membuat Arie terkikik. Kami bertiga sengaja memilih tempat tersembunyi di Sagan sebagai wadah mendiskusikan tugas kuliah yang sudah mepet waktunya. Aku, Arie, Nuril dan Kak Ana, kali ini terjebak dalam kelompok yang sama. Biasanya Nuril masuk pada kelompok anak-anak berkacamata, yang paling sering bersama hanya aku dan Arie. Gadis Mataram itu, teman pertama yang aku kenal di kelas dan orang yang kuantarkan pulang pertama kali. Dahulu kupikir kami seumuran, karena dandanannya yang lebih dewasa dari tampilannya membuatku terkecoh, ternyata Arie sepuluh tahun lebih muda dariku.

"Bukan cuma Mas Djati, Ril. Ada MasJaksa dan Oom Dokter juga ..."

Arie menggodaku yang berpura-pura asyik menekuni daftar menu. "Ada itu juga tuh, duh, siapa Mba? Namanya Bintang-bintang gitu." lanjut Arie lagi. Matanya berbinar menggoda.

"Lintang, Arie. Lintang namanya. Nanti kalian ikut ke Prau, ya. Jalan-jalan gratis."

Mendengar kata gratis, dua gadis yang selisih umurnya sepuluh tahun dariku ini langsung berdiri tegak. Menatap dalam binar kejora, lalu bersalaman. Entah apa maksudnya.

"Sudah berapa orang yang Mbak ajak kemari?" tanya Arie, menganggu konsentrasiku pada lembaran tugas yang kubaca dari file Pdf yang dibagikan di grup WA kelas. Aku menempelkan telunjuk di bibir. Melirik pada Nuril yang asyik dengan laptopnya.

"Kak Ana, jadi nyusul kemari?" tanya Nuril tiba-tiba

"Habis Isya katanya, ada misa sore yang dia harus hadiri." jawabku pada Nuril, gadis berkerudung warna-warni dalam motif abstrak itu bertanya tanpa memindahkan tatapannya

Seorang pria awal usia 40-an berjalan mendatangi kami, pakaian kasual yang dikenakannya tampak serasi termasuk syal yang melilit di leher macam oppa-oppa Korea di drama seri kejar tayang di televisi. Tapi yang ini, oppa dalam usia yang cukup matang.

"Gimana, Mba-mba? Tehnya mau direffil? Atau ada pesanan lainnya?" tawarnya ramah penuh gula-gula pada senyuman di bibir.

"WiFi -nya lemot," protes Arie.

"Owh, itu." Ia tersenyum, "Untuk yang itu, mohon maaf kuotanya memang terbatas, demi komplain dari mbaknya, es lemon teanya saya kasih free. Boleh direfil. O, Iya, Saya, Krisna."

Pria itu mengulurkan tangannya padaku, senyum yang mengembang memunculkan dekik panjang membelah pipinya. Aku menyambut genggaman tegas tangannya, lalu ia beralih pada Arie dan kemudian Nuril.

"Saya bawa dulu tekonya, ya" Selepas kalimat itu, Dia berlalu.

"Dia, pelayan di sini?" Aku berbisik heran. Pelayan baru di usia matang begitu 'kan tidak mungkin.

"Dia yang punya."

Nuril langsung membalikan layar laptopnya pada kami. Di sana terpampang foto pria itu, pada sebuah blog tentang wisata Jogja. Krisna Wiyasaguna. Pemilik Kafe Kopi Ketan Legenda.

"Dia duda, Mba. Pas."

Arie mengerling padaku, lalu tersenyum dan diakhiri dengan tawa tertahan. Aku mendelik padanya. Mencubit pahanya dengan gemas. Ada-ada saja.

"Ada tugas tambahan?" ucapku sambil melirik pada laptop Arie yang menayangkan sebuah film bertema bencana berjudul "Santa Barbara".

"Wawancara ke huntap, Mba. Temanya kapasitas perempuan dalam kondisi bencana"

Kuarahkan pandangan ke Bar, tiga orang pria berdiri di sana. Pandanganku bertabrakan dengan si pemilik lesung pipi, ia mengangkat cangkirnya, aku hanya tersenyum dan sedikit mengangguk. Terasa sunyi, padahal dua buah speaker besar ada di pojok. Aku berdiri melangkah mendekati pria itu.

"Bisa request lagu, kan? Atau putar saja channel radio."

"Siap, Mba. Ada lagi?"

"Teko lemon tea refill."

Kukerlingkan mata padanya, menyambar teko di meja bar dan berbalik. Langkah kuatur bak model di catwalk, aku yakin matanya mengikuti gerakanku.

Aku disambut cengiran Arie dan wajah kecut Nuril.

"Modus!" Nuril mendengkus.

"Satu teko gratis dan akses WiFi unlimited, masih kurang, Ril?" tanyaku kesal.

"Udah, Mbak. Cukup. Kembali ke laptop."

Ia mengangsurkan sebuah artikel tentang pengungsian korban letusan Merapi.

Artikel yang ditulis oleh Said A. Fadhilla.

"Cek nomor kontaknya, kirim pesan dan kita izin diskusi bareng, semoga orangnya tidak sombong. Jika ini gagal, maka ..." Kugantung kalimat perintah pada mereka.

"Tugas Mba Di merayu Mas Djati untuk mengantar ke Huntap."

Aku mencibir dan mendelik pada Arie, kalimat godaannya adalah lanjutan yang pas untuk memanfaatkan koneksi dan kedekatanku pada mas dosen. Cinta memang begitu 'kan? Ekonomis.

Mataku menangkap bayang Kak Ana di pintu masuk, bergerak ke arah bar. Sepertinya Ia langsung memesan sesuatu sebelum menghampiri kami, tubuh tambun diatas 80-kgnya di hempaskan di sofa panjang di sebelah Nuril.

"Sudah sampai mana?" ucap Kak Ana yang langsung menatapku.

"Lempuyangan, Kak. Tinggal lanjut ke Solo," sambar Arie menjawab pertanyaan Kak Ana.

"Memangnya dari Solo mau kemana Rie?" Aku tertawa mendengar jawaban Kak Ana. Arie emang suka sekali mengeluarkan kata-kata yang bisa membuat kami tergelak tiba-tiba. Gadis itu selalu bisa membangun suasana.

"Kita lagi membahas artikel tentang wanita pengungsi pascaerupsi, Kak" jawab Nuril.

"Sabtu sore atau pagi kita bisa ke huntap," ujarku menambahkan.

"Apa tidak sebaiknya kita ketemu mas jati dulu atau menemui mas wartawan itu siapa yang akan menghubungi Pak Said, Mbak?" tanya Arie, ia melirikku dan memonyongkan bibirnya pada Kak Ana, yang asyik memainkan ponselnya.

"Yang suaranya bagus kan Nuril, nggak Nuril aja yang telepon?" Aku mencoba memberi saran karena memang biasanya gadis itu yang menghubungi narasumber dari setiap tugas yang kami kerjakan.

Mataku kembali melirik ke meja bar mencari pria berlesung pipi yang menjanjikan refill tambahan untuk minuman kami. Namun, dia tidak ada di sana.

"Kamu pacaran sama dosen sosiologi itu?" tanya Kak Ana tiba-tiba. Mataku melirik pada Arie, wajahnya datar tidak mengekspresikan apa-apa. Aku mendadak curiga.

"Kakak kata siapa?" Aku balik bertanya, memasang ekspresi serius.

"Aku cuma bisa bilang sebaiknya kamu tidak main-main dengan hati."

Ekspresi Kak Ana cukup kecut, dia yang tertua di antara kami. Usianya 42thn, seorang aparatur pemerintah dari Papua. Kak Ana bekerja di Badan Penanggulangan Bencana.

Aku hanya menarik nafas kemudian mengangkat bahu. Arie nyengir di sebelahku dan Nuril tersenyum menggoda. mungkin benar kata Kak Ana, jangan bermain-main dengan hati. Kata orang karma seringkali bisa melukai diri sendiri.

*Huntap - hunian tetap, lokasi perumahan yang menjadi lokasi relokasi pascabencana.