webnovel

Aib Keluarga

"Pergi!"

Wanita paruh baya melemparkan banyak pakaian ke teras rumah yang luasnya tak seberapa. Di hadapannya berdiri satu orang perempuan muda, satu laki-laki muda juga.

Mereka adalah Naran dan Ify. Sedangkan yang mengusirnya adalah ibu kandung Ify.

"Bu, Ify mohon maafin kami, Bu. Kami salah, kami salah," mohon gadis itu bersujud di kaki sang ibu.

"Bu, tolong maafkan kami. Saya tahu telah salah. Tapi saya akan bertanggung jawab. Saya mohon jangan usir Ify," pinta Naran juga. Lelaki itu memegang tangan ibu Ify dengan harapan agar permohonannya didengar.

Setidaknya Ify dimaafkan jika ia tak dimaafkan atas kesalahan bodoh dan memalukannya. Akan tetapi, kemarahan ibunya terlampau melambung tinggi hingga ia yang biasa bertutur kata lemah lembut serta pemaaf kali ini lepas kendali.

Naran dan Ify tak pernah mengharapkan semua ini. Mereka tak menyangka ibu Ify mengetahui kehamilan anaknya sebelum diberitahu. Ditemukannya sebuah test pack dalam laci kamar Ify ketika ia sedang tak ada di rumah, juga sebuah kertas keterangan hasil pemeriksaan kehamilan.

Ibu mana yang tak akan marah dan kecewa jika mengetahui fakta menyakitkan itu? Seakan semua pengorbanan selama bertahun-tahun percuma. Ibu mana yang tak akan terluka mendapati dirinya didustai anak sendiri, sementara dirinyalah yang selalu ada merawat, menyayangi dan mempercayainya.

Ibu Ify bagai ditusuk oleh tajamnya belati. Sakitnya tak bisa dibandingkan dengan apa pun. Bisa dibayangkan seluas apa luka yang dideritanya.

"Bodoh! Pergi dari sini sekarang! Tak sudi ibu terus melihat kalian! Ini aib yang sangat memalukan! Mengecewakan! Pergiiii!"

Ditepisnya tangan Naran, tanpa belas kasih ia juga mendorong Ify. Sekarang ibunya tengah kalap, tak bisa berpikir jernih. Bahkan mendengarkan penjelasan anaknya pun ia tak sudi.

Ify jatuh ke tanah berumput berlumpur yang becek bekas terkena hujan. Naran gegas merangkul Ify dan membantunya berdiri.

"Fy, kamu enggak apa-apa?" tanyanya cemas bukan main. Dengan mata berkaca, ia membersihkan rambut Ify yang terkena lumpur.

"Ibu—" Ify masih tak peduli dengan dirinya, ia masih ingin mendapat maaf dari sang ibu, jika boleh ia juga menginginkan restu.

Namun, sepertinya semua hanya akan menjadi sebuah keinginan yang sulit terwujud melihat betapa kecewanya sang ibu.

"Pergi! Jangan tambah membuat ibu malu menghadapi mendiang bapak kamu! Pergi sana! Kalau memang lelaki itu mau bertanggung jawab, pergilah ke rumahnya! Jangan berharap ibu akan membukakan pintu lagi untukmu!" teriaknya diakhir kalimat sebelum akhirnya pintu itu ditutup keras.

Tak ada yang bisa Ify lakukan selain menangis. Naran merangkulnya, merasakan sedih yang Ify rasa. Tentang bagaimana sulitnya mendapat restu orang tua. Sebab, dari pihak keluarga Naran pun sama. Sama-sama tak menerima kesalahan mereka berdua. Jadi, mustahil ada pernikahan di antara mereka.

Ify memandang Naran putus asa.

"Gimana sekarang?" tanyanya lirih, Ify mengusap perutnya yang masih tampak rata.

Naran melakukan hal sama, mengelus perut Ifuy. Ia tersenyum terpaksa mencoba tegar dengan apa yang telah terlanjur terjadi.

"Kita akan tetap berusaha mendapatkan restu dan menikah. Sabar dulu, ya." Lelaki itu dengan lembut mengusap kepala Ify.

Di antara sejuta rasa sedihnya, ada sebagian rasa sesal mengapa ia menjadi lelaki berengsek. Menyakiti Sofia dan juga Ify. Membuat dua perempuan yang dicintainya menderita batin seperti ini.

Sejatinya Naran adalah lelaki baik yang tulus mencintai Sofia. Namun, karena satu kesalahan dahulu kala membuat sisi baiknya tenggelam dan ia terperangkap dalam kesalahan yang tak bisa diperbaiki.

'Andaikan malam itu aku tidak mabuk,' batinnya melihat Ify prihatin.

Saat itu hujan turun tanpa dugaan. Luka bekas tinju Beno yang belum kering terasa perih ketika terkena air.

Pakaian yang berserakan di bawah akhirnya tak selamat. Semua basah terguyur hujan. Ify sungguh kacau, ia sangat kacau.

"Ayo pergi dari sini." Dengan suara pelan Naran membujuk.

Ify menoleh, nampaklah mata yang memerah itu. Meski hujan turun mulai deras, Naran tahu jika di antara jutaan hujan itu ada rinaian air mata Ify.

"Pergi ke mana? Ke rumah kamu pun pasti diusir," jawab Ify putus asa.

Naran memaksakan senyum. Ia menggenggam tangan Ify menguatkan.

"Temanku punya kosan. Sementara kita bisa tinggal di sana."

Kita? Ify bertanya-tanya apakah Naran akan tinggal dengannya? Namun, ia tak mengungkap tanya itu, Ify hanya tersenyum tipis memandang Naran.

"Ayo," ajak Naran menuntun Ify berjalan menembus hujan.

Ify kosong. Ia tak bisa memikirkan ide apa pun kali ini. Dirinya hanya bisa mencoba memercayai Naran dan mengikutinya dari belakang.

Sepeninggal Ify, ibunya ambruk di lantai. Ditatapnya adik kecil Ify bernama Nilam yang masih berusia delapan tahun. Lantas sang ibu menangis sembari merentangkan tangan berharap agar mendapat pelukan dari anak bungsunya.

Nilam mematri senyum kecil, lalu memeluk sang ibu. Gadis cilik itu belum sepenuhnya mengerti akan permasalahan yang terjadi, tetapi dirinya ikut sedih melihat ibunya menangis pilu begini. Namun, sebagian hatinya juga diam-diam iba kepada sang kakak.

"Bu, Mbak Ify enggak boleh pulang ke sini lagi?" Polosnya anak itu. Sudah tahu ibunya sedang patah hati, malah bertanya hal yang sebenarnya tak perlu dipertanyakan.

"Mbak kamu sudah membuat kesalahan. Sudah sepantasnya dia mendapat hukuman." Ibunya seakan tersadar dari sebagian rasa sakitnya, lantas segera menghapus air matanya. "Jangan bahas lagi Mbak kamu itu. Dan ingat, ibu berpesan sama kamu, kalau sudah besar nanti jangan seperti kakak kamu, ya. Ibu sangat malu bagaimana nanti menghadap mendiang bapak kalau mati," lanjutnya menunduk sedih.

Nilam hanyalah anak berusia delapan. Apa pun yang dikatakan pasti akan dituruti. Celakanya ia menangkap jika sang kakak telah berbuat hal yang terlalu fatal, sehingga ia memendam benci karena membuat ibunya semenderita ini.

Ibu Ify memilih fokus kepada Nilam sang adik, meski sejatinya ada tersisa cinta untuk Ify. Namun, semua itu seolah tertutup sebab satu kesalahan besar. Ibu Ify sekarang hatinya sedang kacau, memutuskan untuk mengusir sang anak adalah hal terbaik yang bisa dia lakukan sekarang, berharap dengan begitu putrinya bisa menyesali perbuatannya, lantas segera bertaubat.

***

Ketika Sofia dan teman-temannya berpikir kalau Ify dan Naran sedang merasakan indahnya cinta mereka, kenyataannya semua tak seperti apa yang dipikirkan. Naran maupun Ify sama-sama menderita.

Namun, ketidaktahuannya membuat hati Sofia kian mengeras.

Seperti saat ini, semakin diingat, semakin ingin mencabik mereka rasanya. Dan sudah diduga, ketiga temannya malah mendukung Sofia. Mereka juga mengutuk Ify tanpa tahu kronologi kejadian sebenarnya seperti apa.

"Terus, kamu setuju nikah sama orang bernama Nazam itu? Gila, namanya aja hampir sama kayak si Naran. Kamu yakin, Sof?" Naomi tak berhenti dibuat terkejut oleh Sofia. Pun lainnya.

Baru beberapa belas menit lalu Sofia mengatakan soal batalnya pernikahan bersama Naran, kali ini ditambah lagi dengan berita pernikahannya yang akan tetap digelar bersama Nazam. Ketiganya geleng-geleng.