webnovel

Dilema Dalam Rasa

Marronad_Lee · Realistic
Not enough ratings
38 Chs

Bagian 19

Mengganggu saja kedua kakaknya ini, tidak bisa ya, memberi waktu untuk keduanya berbicara lebih banyak. Baru saja menikmati momen berdua, makan malam berdua dengan lauk sederhana lalu mereka datang seenaknya. Padahal kalau sudah mengetahui sedang berdua menghindarlah sebentar sampai mereka selesai, Erik jadi kesal sendiri. Masih banyak pembicaraan yang harus Erik lontarkan, terpaksa kembali ditahan. Sekarang perhatian Gendis berkurang malah fokus dengan keponakan Erik yang barusan berjalan ke arah Gendis, takut jalan ke arah kolam renang lalu terjatuh dengan sigap kekasihnya langsung menangkap. Kekasih? Ah, iya. Mereka sepasang kekasih baru dimulai hari ini, Erik bahagia setidaknya ini salah satu langkah memulai hubungan baru.

Gendis bukan pelampiasan Erik agar bisa melupakan Anara. Erik sangat tulus mencintai Gendis, soal Anara rasa cinta itu benar-benar hilang tepat saat papa Anara menghakimi Erik dan pekerjaan. Erik bersyukur sampai saat ini Gendis tidak pernah bertanya soal pekerjaan Erik, entah memang tidak bertanya atau enggan untuk bertanya. Erik akan menjawab jika Gendis bertanya, kalau tidak biarkan begini seolah-olah Erik hanyalah seorang pengangguran.

"Embak ..."

"Aduh gemesnya ..." Gendis menggendong Aurora lalu memeluknya.

Erik mendengar percakapan keduanya, Gendis yang mulai bermain dengan Aurora dan melupakan dirinya.

"Rora anaknya siapa?" tanya Gendis

"Ayah."

"Mbak Gendis anaknya siapa, Ra?" Erik ikut menyahut diantara keduanya. Melupakan sejenak kedua kakaknya.

"Ibuuu ..." jawab Aurora antusias.

Mungkin karena Gendis ada di sini lebih dari satu bulan membuat Aurora mengklaim Gendis anak dari ibunya, Erik mengacak rambut Aurora. Gemas sekali dengan keponakan satu-satunya.

"Kamu kapan datang, Rik?" tanya Anggara mendekati Erik. Senyumnya belum hilang, semang melihat keduanya sangat dekat.

"Tadi sore. Dadakan Mas,"

"Pantesan. Fredella marah-marah, katanya kamu nggak pulang. Dia khawatir, suruh aku cari kamu." jelas Anggara

"Aku sudah besar masih saja khawatir, seperti anak-anak saja."

"Kamu baru sembuh, Fredella kembaranmu pasti dia khawatir. Dari kecil kalian itu berdua, kalau ada yang sakit pasti khawatir. Kalau satunya hilang pasti dicari."

Erik mengangguk-angguk. Ia dan Fredella sangat dekat apalagi perempuan itu sebentar lagi akan menikah, ada kesedihan tersendiri. "Mas dari mana?"

"Jemput Mama."

Erik terkejut. "Mama?"

"Iya. Pulang sama Daddy, lagi di kamar. Mereka nggak tahu kamu di sini."

"Hadeh ... Malas sekali ada mereka." Seketika napsu makan Erik hilang, kedatangan ke Surabaya ternyata salah.

"Tidak boleh begitu. Mama kandungmu itu."

"Iya. Rasa Mama tiri, bagaimana bisa tidak pulang saat aku terbaring di ICU dan hampir sekarat. Pulang ketika aku sudah sembuh, buat apa?" ketus Erik

"Rik jaga mulutmu!" Anggara tidak suka dengan sikap adiknya satu ini, ia paham bagaimana perasaan adiknya. "Mama tinggal di Berlin, tidak mungkin setengah jam sampai. Mengertilah Erik ..."

"Aku tidak meminta Mama sampai dalam waktu setengah jam!" sahut Erik dengan nada tinggi.

Anggara mengalah tak lagi bersuara, Ami menyuruh Anggara diam. Erik sedang terluka karena ibunya, memang sudah seharusnya seorang ibu datang saat anaknya terbaring lemah. Sang anak memang tidak mengutarakan secara langsung soal keinginan ada di sampingnya, harusnya mama lebih peka. Namun jarak yang sulit mungkin salah satu alasan mama tidak bisa pulang.

Erik terkekeh. "Anaknya Mama itu Dara, bukan kita."

"Mas! Stop bicara begitu." Gendis tidak bisa diam terlalu lama, ucapan Erik sudah keterlaluan menurut Gendis. "Mas belum tahu aja gimana rasanya ditinggal orang tua, bisa-bisanya bicara seperti ini pada Mama."

"Kamu nggak paham perasaan saya, Ndis. Tolong diam."

"Nggak. Ucapan Mas Erik keterlaluan. Dara adik Mas, kalian itu anaknya Mama." balas Gendis

Suasana mendadak hening, Erik memilih tak bersuara lagi. Kedatangan mama hari ini membuat mood berubah, merasa kurang nyaman berada di sini. Erik bangkit untuk membawa mangkuk mereka ke arah dapur. Sejak dulu ia lebih suka sendirian untuk menghilangkan emosinya.

"Ndis ..."

"Iya Mas Angga?" Gendis menggandeng tangan kecil Aurora mendekati Anggara dan Ami.

"Bantu kami ya, biar hati Erik melunak sama Mama. Kasihan Mama. Mas paham Erik kecewa karena Mama tidak datang saat Erik kecelakaan. Tapi kamu pasti paham, Berlin itu jauh."

Gendis mengangguk sebagai jawaban atas permintaan Anggara. Erik mungkin kecewa Gendis bisa memaklumi hanya saja bicara Erik bisa saja melukai hati mamanya jika terdengar. "Rora sama Ibu dulu ya,"

Aurora hanya mengangguk, berjalan pelan-pelan ke arah ibunya. Gendis menggenggam tangan kecil Aurora agar tidak terjatuh, langkah kaki Aurora belum begitu sempurna.

"Mas ..." Gendis menyentuh pundak Erik. Pria itu duduk di teras rumah Anggara sembari menunduk. "Jangan marah-marah terus."

"Nggak."

Gendis duduk di samping Erik lalu tiba-tiba saja Erik memeluknya, sangat erat nyaris membuat Gendis sulit bernapas. Gendis meminta Erik mengendurkan pelukannya, Gendis mengusap punggung kekasihnya agar lebih tenang.

"Sudah besar anak Mama, berani peluk-peluk cewek."

Pelukan mereka terlepas, Gendis lebih dulu melepaskan pelukan karena malu. Perempuan paru baya baru pertama Gendis lihat, mirip sekali wajahnya dengan Erik dan Fre. Gendis menebak pasti ini mama Erik, sangat cantik dan murah senyum. "Deketin Mas ..." bisik Gendis namun Erik menggeleng tidak mau.

"Gendis ya?"

"Iya. Mamanya Mas Erik?" Gendis berbalik tanya.

"Iya. Maaf baru datang ..." ucapnya

"Tidak apa-apa Ta—" ucapan Gendis terputus kala Erik menyela.

"Harusnya Mama tidak perlu pulang, aku sudah sembuh. Mau apa Mama ke sini? Tiket pesawat dari Jerman ke sini mahal, buang-buang uang." sahut Erik

Gendis melirik ke arah Erik yang wajahnya sudah berubah. Datar, tidak membalas tatapan mamanya.

"Mama minta maaf, kebetulan Dara masuk SMA jadi sibuk banget waktu itu. Mama sering telepon, mengirim pesan pada Mas dan adikmu. Waktu Fredella ke Jerman Mama banyak tanya sama dia soal kamu. Mama tahu Gendis dari Fredella." jelas mama Erik

"Itu tidak cukup. Ah, Erik lupa kalau sebenarnya anak Mama itu cuman Dara."

"Mas!" tegur Gendis bahkan menepuk bahu Erik. Erik semakin berlebihan, kata-kata yang tak pantas keluar dari bibirnya.

"Diam Ndis."

"Nggak!"

Mama Erik mendekati lalu memeluk Erik dari samping. "Maaf, maafkan Mama tidak ada di sampingmu. Mama menyesal."

"Tidak perlu menyesal, untung aku tidak mati saat itu juga."

Gendis menggeleng tak percaya. Malam ini Erik terlihat mengutarakan semua kekecewaan di depan mamanya.

"Jaga mulut kamu, Erik! Perempuan ini Ibumu, hormati dia. Kita hanya punya Mama saat ini." Itu suara Anggara, terdengar emosi karena marah dengan adiknya yang tidak bisa menjaga perkataan.

"Aku tidak peduli."

Suara isakan terdengar jelas di telinga Gendis, mama Erik menangis sembari memeluk Erik. Demi Tuhan Gendis sangat marah pada Erik, ingin memukul mulut Erik berkali-kali karena berhasil membuat mamanya mengeluarkan air mata.

"Mas, kamu keterlaluan. Mama menangis, kamu jahat sekali. Aku kira kamu bisa menghormati Mama sendiri." Gendis terlalu lama diam, tidaj suka dengan sikap Erik malam ini. berkesan tidak sopan karena ikut campur, Gendis tidak peduli. Gendis bangkit mendekati mama Erik— menyuruh bangun, Gendis akan membawa masuk dan meninggalkan Erik sendirian.

"Aku akan menikahi Gendis secepatnya Ma, Mas." ucap Erik ketika Gendis dan mamanya ingin masuk ke dalam rumah.

Gendis berbalik ke arah Erik. "Aku tidak mau. Maaf ..."

Biarkan saja ia menjawab tidak mau agar Erik bisa berpikir mengapa Gendis tiba-tiba menolaknya.