webnovel

Dilema Dalam Rasa

Marronad_Lee · Realistic
Not enough ratings
38 Chs

Bagian 16

Hening dalam dua menit, menikmati makanan yang disajikan dengan perasaan marah yang menggebu-gebu. Mendengar pria di depannya mudah sekali berbicara membuat Gendis kesal setengah mati, egois dan tak berperasaan seolah-olah jatuh cinta itu salah dimatanya. Tidak mau menikah katanya, mengapa semudah mengatakan hal yang harusnya nanti saja diutarakan. Menikah atau tidak itu pilihan tetapi memutuskan tidak menikah karena keadaan rasanya sangat salah dimata Gendis, semua berhak menikah dan saat menikah artinya kita sudah siap dengan kondisi pasangan kita. Ada-ada saja pemikiran Erik, sangat sesat!

Gendis menikmati lontong Medan, rasa Tauco yang gurih berpadu dengan kuah rendang membuat rasa lontong ini sangat enak menurut Gendis ditambah ada toping keripik ubi sebagai pelengkap. Lontong Medan Lebih enak daripada mendengar ucapan Erik, lontong Medan mampu meredakan emosi Gendis. Ah, harusnya Gendis tidak boleh kesal sayangnya Gendis hanyalah manusia biasa yang jengah mendengar penjelasan Erik. Menggambarkan pria itu mudah menyerah dengan hidupnya.

"Ndis kamu kenapa?" tanya Erik penasaran.

"Nggak apa-apa."

"Nggak apa-apanya cewek itu serem, kenapa sih? Ada masalah?" Sikap Gendis mendadak terdiam setelah ucapan Erik barusan, Erik lega karena Gendis mengiakan soal hubungan mereka tetap seperti ini walau nantinya ada kehidupan baru.

"Ya, orang nggak apa-apa. Makan Mas, jangan lihat Gendis terus!"

Erik terkekeh. Erik harus mengakui bahwa ia mulai terpesona, nyaman dengan kehadiran Gendis membuat Erik semakin menyadari bahwa hidupnya bisa berjalan lebih panjang hanya saja soal pernikahan saat ini Erik belum tertarik.

"Ndis ..."

"Apa?"

"Galak."

"Biarin." sahut Gendis cuek, beralih setelah makan kini masih menikmati Coca-Cola miliknya. Makan malam mereka biasa saja karena Erik jarang mengajaknya berbicara, bicara sebentar diam begitu terus sampai Gendis lelah sendiri.

"Saya baru merasakan apa yang kamu rasain Ndis, Anara sudah menikah sedang hamil satu bulan." Erik memecahkan keheningan. Alasan Erik tak berbicara sejak tadi karena ia ingin menikmati makan malam mereka.

Tawa Gendis menggelegar. "Gimana Mas, enak nggak ditinggal menikah?"

"Ndis!" tegur Erik sedikit kesal karena Gendis menertawainya.

"Apa?"

"Jahat banget ngetawain saya, puas banget lihat saya sakit hati?"

Gendis mengangguk. Gendis ingat persis bagaimana Erik menggodanya saat mengetahui kalau Rian meninggalkan Gendis untuk menikahi gadis pujaannya. "Emang sih Mas, ditinggal nikah bikin hati perih." sahut Gendis

"Sialan. Kenapa terjadi pada kita?"

"Kita?" Gendis menatap wajah Erik, pandangan mereka bertemu. "Mas aja kali, Gendis sama Rian sudah lama pisah. Kalau Mas, ditinggal pas lagi sakit terus nikah, sekarang mau punya anak. Sakitnya berlapis-lapis." sahut Gendis melempar kembali tisu yang baru saja Erik lempar ke arahnya.

"Saya biasa saja tuh,"

"Ah, masa?" Gendis menggoda Erik

"Iya! Cepat habiskan makananmu,"

"Oke. Karma memang datang di saat yang tepat, dunia sangat adil. Jangan lupa move on Mas Erik." balas Gendis. Kembali menikmati hidangan terakhir mereka yaitu, buah dan kue sebagai penutup makan malam mereka.

"Ndis, kamu tahu Erika nggak?" tanya Erik tiba-tiba mengalihkan pembicaraan mereka.

"Nggak. Erika siapa?"

"Ingat perempuan yang mengantar saya pulang tadi siang?"

Gendis mengangguk. Tiba-tiba ia merasa jantungnya berpacu lebih cepat ketika Erik menyadarkan hal ini, padahal Gendis hampir saja lupa. Jadi namanya Erika, jika diingat-ingat mereka sangat dekat bahkan sebelum perempuan itu meninggalkan Erik— keduanya sempat cipika-cipiki di depan Gendis, pelukan. Gendis menyangka kalau itu gebetan barunya Erik.

"Gebetan Mas Erik, ya?" tebak Gendis

"Iya."

"Serius? Katanya nggak mau menikah, kok punya gebetan?"

"Emang salah?" Erik bertanya balik.

"Nggak kok. Kalau gitu Mas sama saja kasih harapan kosong, bisa aja Mbak Erika minta dinikahi tapi ternyata Mas cuman main-main doang."

"Saya nggak main-main,"

"Kalau nggak main-main ngapain dekat sama dia? Mas bilang sendiri nggak mau menikah karena takut merepotkan orang, kok labil?" ucap Gendis tersungut-sungut. Rasa kesalnya kembali, membahas ini membuat ia ingin segera pulang ke Surabaya saja.

Erik terdiam sejenak. "Nggak labil, nggak pernah bilang nggak mau menikah. Hanya rencana karena kondisi saya begini."

"Ya sama saja Mas!" kesal Gendis

"Apa ini artinya kamu menyuruh saya jauhin Erika?"

Gendis mendelik. "Nggak. Bukan gitu maksudku, salah tangkap. Terserah deh, gimana Mas aja. Gendis nggak mau ikut campur."

Erik terkekeh dari sana. "Lagian Erika itu sepupu saya, nggak akan jadi gebetan. Gebetan saya itu kamu."

Gendis menatap tajam Erik— melempar sumpit hingga mengenai tubuh Erik. Gendis baru saja dibohongi. "Sehari aja nggak bikin kesel, nggak bisa Mas?"

Erik berhasil menangkap sumpit miliknya yang baru saja Gendis lempar. "Nggak. Saya suka wajah kamu saat kesal jadi jangan coba melarang." sahut Erik santai

"Jadi Erika siapa sebenarnya?"

"Sepupu. Kalau kamu baru gebetan saya, paham?"

Gendis mencebikkan bibirnya. "Kesal sekali Gendis sama Mas, mending di Surabaya aja. Kita nggak usah ketemu."

Erik mengangguk-angguk, dengan santainya Erik menikmati buah-buahan. Perutnya sudah kenyang dan sebentar lagi mereka akan pulang.

***

"Pelan-pelan aja, Rik,"

"Nggak apa-apa dok, nggak terasa nyeri."

"Berarti sembilan puluh persen sudah kuat, hebat!" Dokter menggeleng tak percaya dengan kemajuan Erik, perubahan pada Erik bisa dibilang sangat cepat. Erik menuruti ucapannya agar kakinya bisa kembali seperti semula.

"Terima kasih dok, saya sudah bisa berjalan tanpa tongkat."

"Tetap hati-hati jangan sampai jatuh,"

Erik mengangguk. "Kapan saya bisa balapan lagi dok?"

"Lima tahun lagi,"

Erik terkejut. "Selama itu dok?"

"Kalau dipaksakan dalam waktu dekat takut terjadi hal yang sama dan jauh lebih parah dari ini, sudahlah lebih baik fokus pekerjaan sekarang. Kalau dari hasil rontgen tulang terlihat bagus, tetap harus waspada." jelas dokter

Erik menghela napasnya. Ia sudah rindu berat dengan balapan, rindu suara teriakan, rindu adu kemampuan karena sejak keluar SMA dan menekuni dunia balap— Erik selalu menjadi juaranya. Di rumah saja membuat Erik tidak betah, mengurus kafe bisa sembari jalan karena pekerjaan yang tak terlalu berat.

"Benar tuh Mas, pansiun aja jadi pembalap. Kasihan sama diri sendiri, ibaratnya saat ini Mas dikasih kesempatan kedua buat hidup. Jangan disia-siakan." Gendis ikut menyahut diantara mereka.

"Dengar tuh Rik apa kata calon istri." ucap dokter pada Erik. "Kalian mau menikah kan?" tanya dokter penasaran

Baik Erik dan Gendis saling melirik. Merasa aneh dengan ucapan dokter, mereka serempak menggeleng.

"Belum dok," jawab Erik

"Kata Anggara nggak akan lama lagi,"

"Jangan dengar Anggara, dok. Dia suka ngaco." jawab Erik lagi. Anggara penyebab dari semua ini, bisa-bisanya berpikiran bahwa Erik akan menikahi Gendis padahal Gendis belum tentu mau dengan Erik.

Dokter mengangguk-angguk. Tangannya belum berhenti menulis resep untuk obat Erik selanjutnya. "Cepat sembuh, terus berlatih ya," dokter memberikan resep obat untuk Erik tebus.

"Terima kasih dok,"

"Ya, hati-hati di jalan."

Keduanya mengangguk serempak. Gendis mendorong kursi roda menuju apotek. Sebelum pulang ke Surabaya, Erik memaksa meminta Gendis menemani ke rumah sakit mengganti jadwal kepulangan menjadi sore hari. Gendis masih harus ada di Surabaya, belum terpikir kapan ia akan pergi ke kampus karena saat ini hanya ketakutan yang Gendis rasakan apalagi pemberitaan tentang Gendis yanj tak selalu berada di sampingnya, perempuan itu sibuk dengan kehidupannya.

"Ndis?"

"Ya, Mas?" sahut Gendis

"Terima kasih sudah mau mengantar saya."

Gendis mengangguk. "Iya, aku masih tetap jadi pekerja Mas Erik. Maaf ya, sekarang harus ditinggal dulu."

"Iya, cepat sembuh."

"Ya Mas,"

Mereka saling melemparkan seulas senyum. Ada perasaan tak rela karena mereka harus kembali berjauhan, sampai waktu yang tak bisa ditentukan. Dua manusia ini masih belum menyadari, saat tidak rela saling berjauhan artinya cinta itu sudah tumbuh tapi mereka belum mau saling menyadari.