webnovel

Kemarahan Ayah

Mobil sport hitam melaju dengan kecepatan tinggi. Tak memperdulikan kendaraan yang hampir saja tertabrak akibat mengemudi dengan ugal-ugalan di jalan raya.

"Gila, seru banget ini!" Seru gadis remaja yang kira-kira berumur 17 tahun kepada remaja lelaki di sebelahnya.

"Lo gapapa kalau pulang larut?" Remaja laki-laki itu tampak sedikit cemas.

"Bryan-Bryan, setiap hari kan kita pulangnya larut. Hahaha ayo, tambah kecepatannya lagi!"

"Tapikan habis itu lo dimarahin sama bokap, lo." Bryan tak menghiraukan ucapan terakhir gadis itu. Ia tau bahwa gadis yang ada di sebelahnya sedang mabuk berat.

"Santai aja. Lo tau kan siapa gue?"

"Tetap saja gue khawatir sama lo, Zahra. Lo kan pacar gue, mana tega gue kalo lo dimarahin terus." Bryan menepikan mobilnya. Menatap Zahra dengan pandangan sedikit cemas.

"Tenang-tenang. Segalak-galaknya bokap gue, pasti kembaran gue selalu belain," ucap Zahra santai.

"Gue penasaran sama kembaran lo itu. Setiap nganter lo, gue nggak pernah liat."

"Mukanya mirip gue. Udah jalan lagi. Kepala gue pusing, pengen tidur."

Bryan mengelus rambut panjang Zahra kemudian kembali menjalankan mobil sportnya. Sedangkan Zahra selalu berusaha agar matanya tak terpejam, namun nihil. Matanya seakan membawa beban berpuluh-puluh kilo yang mengakibatkan ia tak sanggup lagi membuka matanya.

Semua itu terjadi karena saat di klub malam tadi, Zahra terlalu banyak meminum minuman keras sehingga membuatnya  mabuk berat.

Ini bukan kali pertama Zahra pergi ke klub malam, terhitung sejak ia kelas 11 SMA, ia sudah beberapa kali ke klub itu bersama teman-temannya dan juga Bryan. Jangan tanyakan kenapa Zahra dan teman-temannya diizinkan masuk, itu semua karena salah satu diantara mereka adalah anak dari pemilik klub malam tersebut.

"Zahra..."

Tepukan lembut di pipi Zahra membuatnya sedikit terusik. Baru saja ia berparty dalam mimpi, Zahra harus rela mengakhiri itu.

"Sudah sampai." Bisikan lembut Bryan membuat Zahra terkekeh geli. Bukan karena suaranya, tapi karena napas Bryan yang seolah menggelitik gendang telinga Zahra.

Zahra membuka matanya yang masih berat itu. Kepalanya masih pusing jadi ia berjalan dengan terhuyung-huyung.

"Gapapa?" tanya Bryan.

Zahra hanya membalas ucapan Bryan dengan isyarat tangan berbentuk tanda OK.

*

Zahra berjalan mengendap-endap, berusaha sebisa mungkin untuk tidak menimbulkan suara. Meskipun jalannya masih terhuyung-huyung, tapi itu semua bisa ia kendalikan. Ia yakin bahwa orang tua dan kembarannya sudah tertidur.

Ruang tamu telah berhasil ia lewati dengan aman. Tak ada orang di sana. Sekarang ini ia hanya perlu menaiki tangga hingga sampai ke kamarnya yang berada di lantai dua.

Namun, baru saja memijakkan kakinya di salah satu anak tangga, suara deheman lelaki dewasa membuat langkahnya terhenti seketika.

"Dari mana saja kamu?" Mahesta-ayah dari Zahra dan Zahira- menatap Zahra dengan tatapan penuh amarah.

"Jalan sama teman," ucap Zahra dengan suara bergetar.

"Jalan sama teman kenapa pulangnya selarut ini? Kamu tahukan ini jam berapa? Jam satu dini hari! Jawab yang jujur kamu habis dari mana?!" Suara Mahesta meninggi. Membuat Zahira dan Sarah-ibu dari Zahira dan Zahra- terbangun dan bergegas ke arah sumber suara.

"Jalan sama temen, Yah." Zahra masih mencoba membela diri.

"Kenapa pulang larut?" Mahesta menatap Zahra dengan tatapan nyalang, ia sudah sangat marah dengan putrinya itu. Namun, ia berusaha untuk tetap mendengarkan pembelaan dari Zahra meskipun ia tahu bahwa Zahra berbohong.

"T-tadi habis kerja tugas." Zahra menunduk dalam. Sesekali ia memijat pelipisnya yang masih nyut-nyutan.

"Habis kerja tugas ya? Kenapa kerja tugasnya memakai pakaian kurang bahan seperti itu? Tugas apa yang kamu kerjakan? Hah?!" Amarah Mahesta sudah meluap-luap. Ia tak habis pikir dengan perilaku putrinya yang masih berumur belasan tahun itu. Ini sudah sangat keterlaluan.

Zahra mengutuk dirinya dalam hati. Sangking mabuknya, ia sampai lupa mengganti bajunya dengan seragam sebelum keluar dari mobil Bryan. Bahkan seragam dan tasnya masih berada di dalam mobil sang pacar.

"Sudah, Yah. Kasihan Zahra." Zahira mencoba menenangkan sang ayah.

"Diam, Zahira. Ayah sedang tidak berbicara dengan kamu!"

Zahira tampak terkejut, namun ia menuruti perkataan ayahnya. Hari ini Mahesta lebih garang dari biasanya.

"Iya-iya, Zahra ngaku! Zahra habis jalan sama Bryan!" Zahra menjawab dengan nada lantang. Membuat mata Zahira terbelalak. Ia kaget dengan suara tinggi yang keluar dari mulut kembarannya itu.

"Zahra! Kalau bicara dengan orang tua yang sopan!" tegas Sarah.

Zahra hanya memutar bola matanya malas. Kepalanya sudah sangat pusing, ditambah dengan omelan orang tuanya membuat kepalanya tambah pusing.

"Ngapai aja kamu sama anak berandalan seperti dia, hah?!" Kesabaran Mahesta sudah hilang. Ia marah, kecewa, sedih bercampur menjadi satu. Ia sedih karena tidak berhasil mendidik Zahra dengan baik sehingga perilakunya menjadi seperti itu.

"Kita ke klub," ucap Zahra jujur. Percuma saja berbohong, ayahnya bahkan tahu Zahra habis dari mana.

"Zahra! Berapa kali ayah bilang, jauhi anak berandalan itu. Jauhi tempat dosa itu. Kamu masih belasan tahun, Zahra. Masa depan kamu masih panjang. Kamu mau jadi apa nanti? mulai besok kamu harus jauh dari si Bryan itu. Jika tidak, ayah akan-

"Akan apa?! Kenapa sih, Ayah selalu mengatur hidup, Zahra? Zahra nggak suka diatur-atur! Ayah paham kan?!"

Muka Mahesta memerah. Sudah sedari tadi ia menahan diri untuk tidak bermain fisik dengan Zahra, tapi kali ini Zahra memang sudah kelewat batas.

Mahesta mengangkat tangannya tinggi-tinggi, mengayunkannya dengan rasa murka hingga...

'Plak'

Seisi ruangan tiba-tiba mematung. Sosok gadis yang baru saja mendapatkan tamparan tersungkur ke lantai. Mereka tahu betul betapa kerasnya tamparan itu. Tapi, mereka tidak menduga bahwa ini akan terjadi.

Zahira merintih kesakitan. Pipinya memerah akibat tamparan Mahesta. Zahra bahkan sedikit terkejut mengapa Zahira mengorbangkan dirinya hanya demi melindungi Zahra.

"Zahira, kamu tidak apa-apa kan, Nak?" tanya Sarah khawatir. Ia memapah Zahira dan membawanya ke sofa ruang tamu.

"Maafkan ayah, Zahira. Ayah bukan bermaksud untuk menyakiti kamu. Ayah hanya ingin menampar Za-

"Tidak apa-apa, Yah. Zahira gapapa. Tapi, Zahira mohon jangan bermain fisik dengan Zahra. Bagaimanapun juga, Zahra adalah anak Ayah." Zahira menatap Mahesta dengan tatapan memelas.

Mahesta hanya menghela napas lalu mengangguk pelan. Sarah dan Mahesta membelai kepala Zahira yang dibalut kerudung dengan lembut.

Zahra yang melihat hal itu hanya tersenyum miris. Ia memilih untuk tidur daripada menyaksikan pemandangan yang menurutnya alay itu. Toh, ia merasa beruntung karena tak menerima tamparan keras dari ayahnya.