87 Bab 87 ( Perkenalan Ardan dan Alena )

'Apa mas Ardan masih belum mengingat sesuatu, tentang kita,' deretan kata yang menohok Ardan, Ya Allah kenapa aku tidak ingat sama sekali bahkan aku telah menyebabkan Putri kehilangan masa depannya dan yang terjadi aku menganggap Putri pengganggu dalam hubunganku dengan Naila.

'Tolong pikirkan dan beri saya ruang, perlu diingat saya tidak lagi ingin memaksa anda,' kalimat Putri menyadarkan Ardan dari lamunannya, saat Putri beranjak dari sofa dan ingin menjauh dari Ardan, tangan kekar itu mencekal kuat Putri hingga tubuh Wanita itu tertahan dan Putri pun menoleh kearah Ardan.

"Maafkan saya, saya benar benar tidak mengingatnya, mungkin karna kecelakaan yang menimpaku saat masih di sma dulu, Aku benar benar kehilangan memoriku," Ardan mendesyah keras, menahan gejolak jiwa nya karna rasa kecewa yang teramat dalam pada dirinya sendiri,"bolehkah aku ketemu alena, kumohon, aku tidak akan menyampaikan apapun tentang siapa aku, kecuali kamu yang mengenalkannya, bagaimanapun, sebrengsek apapun aku dimana alena nantinya, aku hanya ingin mengenalnya," setetes air bening tidak lagi bisa dibendung dari sudut mata Putri, Arda menatapnya dengan sayu. Ardan mendekati Putri mencoba memberi kekuatan dengan meraih jemari tangan wanita yang terluka karenanya, digenggamnya erat, ada rasa yang amat dalam tanpa bisa diungkapkan Ardan sebagai laki laki dewasa yang meninggalkan tanggung jawabnya.

"Baiklah, ikutlah bersamaku, tapi tolong hanya melihat dan sekedar mengenalnya jangan paksa alena, nanti secara berlahan aku akn mengatakan kebenaran hubungan kalian, tapi dia butuh waktu" Putri beranjak dari hadapan Ardan dan melepas genggeman tangan Ardan, namun Kembali Ardan menarik tubuh semampai itu dengan ringan dalam pelukankannya," maaf, tidak mendampingimu disaat kamu butuh dukungan," penyesalan yang tiada nilainya membuat Ardan merasa sesak, hembusan nafas berat ardan menandakan laki laki ini memikul beban yang berat. Putri menyambut pelukan Ardan yang begitu dirindukan sosok ayah bagi Alena, dia menangis mengingat putrinya dan penderitaannya saat itu, walaupun sekarang Putri sudah tidak lagi se-inscure dulu, bagaimanapun peran serta keluarganya dalam membesarkan mentalnya, menemaninya agar tidak terpuruk, Abim sang Kakak, kedua orang tuanya, patut disyukuri Putri bisa melewati hari hari gelapnya.

Ardan dan Putri menuju tempat parkir mobil mereka, keduanya berangkat dengan mobil masing masing, karna dak etis juga dilihat temen teman dosen kalo mereka satu mobil, apalagi mahasiswa mahasiswa mereka sudah mulai berdatangan karna sudah mulai jam kuliah, bisa jadi bahan gibahan, Ardan menghindari hal hal yang tidak diinginkan terjadi di tengah dia dalam banyak persoalan yang dihadapi.

Di dalam perjalanan Ardan mengikuti mobil yang dikendarai Putri, mereka beriringan, "Kamu begitu kuat, bisa membesarkan alena sendiri, " ungkap Ardan dalam hati diselingi tarikan Panjang nafasnya, 'Aku begitu bodohnya kenapa tidak pernah tahu keberadaanmu alena, maafkan ayah," kembali Ardan hanya bermonolog dalam hatinya.

Akhirnya tibalah mereka di sebuah rumah minimalis dengan cat tembok putih dengan bangunan kecilnya namun memiliki halaman dan taman yang sedikit luas, Ardan pernah ke sini saat mulai penasaran dan membuntuti Putri, Ardan pun mengikuti dari belakang dan memarkir mobilnya disebelah mobil Putri. Sebelum turun dari mobil Ardan mencoba menata hatinya, menata kesiapannya menerima hatinya bahwa ardan sudah memiliki seorang Putri yangrambut sudah beranjak remaja.

"Assalamualikum, " suara gadis remaja dari balik pintu yang sudah dibuka dari dalam menyambut Wanita yang keluar dari mobil yang sudah parkir di sebelah ardan.

"Waalaikumussalam," Putri segera menghampiri sang pujaan hatinya dengan terkekeh kecil mengacak rambut gadis yang beranjak remaja tersebut, Ardan ndak berani turun dari mobil yang sebagai pengamat yang mudah mudahan hanya sementara, hatinya begitu kacau melihat pemandangan seorang anak dan ibu yang seharusnya mereka dia lindungi, sudut mata Ardan kembali mengembun. Ya Allah rahasia besar Mu, sungguh meluluh lantakkan jiwa hamba yang begitu kerdil.

Seseorang mengetuk kaca mobil yang masih tertutup, TOK TOK TOK. Ardan membuka kaca jendela mobilnya dan menatap haru wajah wanita partner kerjanya, "turunlah, kita bicara di dalam, apa kau ingin melewatkan kesempatan untuk mengenalnya." Wanita itu menyadarkannya tujuan Ardan ke rumah ini."Terima kasih," hanya kata Ajaib itu yang menggambarkan keinginan hatinya untuk mengucapkan rasa terima kasih yang besar pada sosok Wanita di depannya, dialah yang membesarkan buah hati mereka tanpa dukungan apapun darinya. Ardan keluar dari mobil dan menuju pintu masuk rumah minimalis tempat tinggal putrinya.

"Masuklah pak Ardan, silahkan duduk," Putri sengaja memakai panggilan formal agar Alena tidak curiga, Putri menyilahkan Ardan untuk duduk di sofa di ruang tamu, sedang dia sendiri mencari keberadaan sang anak yang sudah menuju ke belakang namun masih tanpak punggung Alena, Putri pun memanggilnya.

"Alena..., sini sayang, kenalin teman ngajar mama !" Putri mengajak Alena untuk mendekat ke arah Ardan, "Iya mama cantik", Alena senyum senyum sendiri melihat ke layar segiempat di tangan kirinya tanpa menoleh ke arah yang dituju, biasa nak jaman now ya gitu deh, mulutnya menyaut panggilan orang tuanya namun mata dan otaknya masih terfokus pada handphone.

Laki laki di depan Alena sedang menatap gadis muda itu penuh harap, dengan rasa cemasnya bagaimana sikap putrinya jika ketemu dan berada begitu dekat, ingin sekali Ardan memeluk dan berteriak kencang menyerukan bahwa "ayah di sini sayang," halu tingkat dewa dia lupa kalo Putri hanya mengenalkannya sebagai teman ngajar, sangat sakit di ulu hati Ardan.

"Alena sayang, lihat ke depan dong, kamu nanti natap meja lo" Putri menggeleng melihat tingkah absurd sang anak, "Temen mama satu kampus sayang," akhirnya Alena mengantongi HP nya dan menatap wajah laki laki yang tadi datang bersama mamanya.

"Kenalin Om, Alena" gadis muda itu menjabat tangan laki laki yang menurutnya seusia Pak de-nya, lumayan sih kalo misalkan mamanya suka sama nih laki laki boleh juga tampan, ups, Alena ingin tertawa sendiri dengan pemikirannya.

"Om Ardan, panggil Papa juga boleh" entah keberanian dari mana kata mutiara itu muncul begitu saja mewakili rasa yang terpendam dari seorang 'papa' yang merindukan anaknya.

"Ups….., apa om lagi PDKT nih sama mama, kalo gitu Alena undur ke belakang deh takut ganggu urusan orang dewasa. " Alena pun terkikik geli dengan wajah mamanya yang memerah karna merasa tergoda dengan perkataan Alena.

"Alena dak boleh bicara seenaknya gitu sama om Ardan, nanti istrinya marah, mama bisa kena julukan pelakor, " Putri sengaja menegaskan pada Ardan tentang status nya saat ini. "Iya kan pak Ardan" seakan kedua Wanita beda usia itu sedang mengolok olok Ardan, perasaaan ardan sedang sensitive, masih mending mereka bisa menerima kedatangan seorang ardan tidak mengusirnya atas kejadian belasan tahun lalu.

"Kalo memang dibolehin saya memang ingin melamar mama kamu dan menjagamu Alena." Ucap Ardan.

"WHAT," Putri dan Alena serempak kaget dengan ucapan Ardan.

avataravatar
Next chapter