1 Prolog

Bagi sebagian orang, makhluk tak kasat mata atau yang biasa yang di sebut demit, hantu, setan, jin, dan sebagainya, masih sangatlah tabu. Tapi ada juga sebagian orang percaya, bahwa "Mereka" benar-benar ada dan bahkan pernah melihatnya secara langsung. Memang sampai sekarang terkadang hal mistis tidak digubris oleh sebagian orang. Tapi gangguan dari mereka tidak dapat di pungkiri, entah itu di tempat angker, rumah sendiri, atau bahkan dari niatan jahat orang sekalipun. Ilmu hitam misalnya, yang pasti memakai jasa mereka untuk mengerjai orang demi memuaskan hasrat sakit hatinya.

Bahkan. Ada juga beberapa manusia yang memiliki kesensitifan six sense atau yang biasa kita sebut Indra Ke Enam, dari kelebihannya ini, orang yang memiliki six sense mampu melihat, merasakan, bahkan berkomunikasi dengan makhluk astral. Makhluk tak kasat mata. Kesensitifan manusia berbeda-beda. Ada yang mampu melihat, ada yang tajam di pendengaran, ada yang tajam dalam rasa, tidak semua indra keenam itu harus bisa melihat secara langsung dengan mata, tapi bisa juga melalui batin yang terbuka.

Namaku Nimas, usiaku 28 tahun. Sejak kapan six sense di tubuhku ini mulai terbuka dan aktif? Hmmm Aku rasa sejak kecil, baru sadar ketika memasuki usia belasan tahun, dan kian kesini makin tajam. Meskipun begitu aku tidak mau di juluki dengan julukan yang aneh-aneh, indigo misalnya. Argh, tidak nyaman julukan itu. Aku lebih suka mengalihkan saat merasa ada sesuatu yang tidak enak dirasa ataupun di penglihatan. Bagi orang, memiliki kesensitifan bathin itu keren. Bisa lihat sesuatu yang tidak semua orang bisa lihat. Hemh, sayang sekali pemikiran seperti itu adalah pemikiran yang salah kaprah.

Banyak juga orang yang menginginkan mata bathin terbuka, bahkan mereka memaksakan diri ke "Orang pintar" demi mendapatkan kesensitifan bathin. Kenapa? Buat keren-kerenan? Kenapa kalian sudah diberikan hidup yang nyaman tapi malah memilih jalan yang kelam. Bersyukurlah kalian memiliki bathin yang tertutup. Hidup nyaman, mau kemana aja dan kapan aja enjoy tanpa harus merasa terteror oleh mereka yang ingin berinteraksi, dalam bentuk, bau dan wujud yang terkadang bikin ga selera makan. Ugh.

Mungkin dari tulisanku ini kalian akan paham. Bagaimana tidak enaknya jika sehari-hari harus mengalihkan diri dari para makhluk halus yang selalu mengganggu. Kisah aku buka dari pengalaman pertamaku bersinggungan dengan dunia astral, dimana kala itu mama pernah mengalami satu kejadian yang masih membuat dirinya bergidik merinding saat ia menceritakan kisah ini padaku. Saat itu usiaku belum genap 40 hari, masih bayi merah.

Aku lahir di kota Wonosobo jawa tengah, di sini masih daerah pegunungan, meskipun masih banyak persawahan dan hutan, tapi desaku bukan desa plosok kok. Pada suatu siang, mama berniat untuk buang air besar. Maklum, rumah jaman dulu jarang ada yang memiliki WC di rumah. Mandi, cuci baju dan piring, masih harus di sungai. Di desaku ada sebuah sumber mata air yang sangat jernih, di sanalah para warga memakai sumber air tersebut untuk kebutuhan air sehari-hari. Ada sebuah pohon petai cina dan juga pohon cengkeh di atas sumber air tersebut, samping kanannya persawahan, dan samping kirinya aliran sungai kecil.

Di aliran sungai kecil itulah yang di jadikan untuk buang air besar, tenang saja. Jarak antara mata air dan sungai agak jauh, jadi aman tidak tercemar kok. Di aliran sungai kecil terdapat sebuah gorong-gorong yang tidak terlalu besar sebenarnya, tapi jaman dulu tempat itu terkenal angker juga seram.

Mama ingin buang air besar, sedangkan aku masih tertidur pulas. Mau ninggalin di rumah sendirian, takutnya nangis karena tidak ada yang jaga. Mbah Putri sedang di sawah, Tetangga? Sebagian dari mereka juga sibuk bekerja di sawah dan ladang. Sedangkan ayahku, ia merantau di kota. Akhirnya mama memutuskan untuk membawaku bersamanya.

Mama terpaksa menggendong dan mengajakku ke sungai, beliau berjongkok sambil memelukku erat. Tapi dari situlah, hal yang tidak di sangka pun terjadi. Setelah membawaku ke sungai, badanku mulai demam. Panas, wajah berubah pucat, rewel. Mama belum mendapatkan firasat apa-apa saat itu. Mama menyiapkan obat yang telah di berikan oleh ibu bidan, setelah minum obat aku baru bisa tidur nyenyak. 2 hari rewel, bahkan hanya sedikit minum ASI.

Malam ke 3, disinilah hal diluar nalar mulai terjadi. Saat Mama tidur, dia mulai bermimpi. Mimpi yang terasa begitu nyata. Dalam mimpi itu, Mama kembali ke sungai dimana tempat ia buang air besar waktu itu, tapi anehnya aku sudah tidak ada di gendongannya. Dalam mimpi itu Mama panik, benar-benar terasa panik. Beliau mencariku di area sungai, tak lama kemudian, Mama mendengar suara bayi menangis.

Mama bergegas mengikuti suara tangisan bayi, semakin dekat suara berasal dari gorong-gorong yang terletak tepat di pinggir sungai. "Tidak... Nimas!" Teriak Mama bergegas mendekati gorong-gorong.

Saat itu, Mama melihatku menangis di dalam gorong-gorong tanpa mengenakan pakaian atau kain sehelaipun, yang lebih mengejutkan lagi, lubang gorong-gorong itu tertutup seperti selaput tipis mengitari tubuhku. Mama mencoba mengambil aku di dalam gorong-gorong itu, tapi Mama malah terpental.

"Nimas!" teriak Mama terisak. Tak lama kemudian, di hadapannya datang satu sosok berwarna hitam legam berbulu, tinggi, besar, taring yang menceruat dari mulut lebarnya, kuku panjang, dan mata merah menyala melotot ke arahnya.

Mama gemetar, sosok itu menghalangi mama supaya tidak bisa mengambilku. Baru saja sosok mengerikan ingin menyerang Mama, ia terperanjat bangun dengan peluh yang membasahi sekujur tubuhnya.

Mama langsung melihatku yang masih tertidur di sampingnya, firasatnya mulai tidak enak. Sampai pagi Mama tidak bisa tidur lagi. Usai bermimpi semalam, aku sudah tidak menangis lagi, tidak bergerak, juga tidak membuka mata. Bibirku semakin membiru, badanku dingin, seperti tidak memiliki aliran darah. Meskipun masih bernafas, tapi nyawa serasa sudah diujung tanduk. Mama sudah berfikir yang tidak-tidak karena kondisiku yang kritis.

Setiap di periksakan ke bidan hanya diberi obat yang sama, karena merasa ada sesuatu yang tidak beres, Mama memutuskan untuk meminta seseorang pergi ke rumah pakde Parso yang letaknya di desa sebelah untuk datang kerumah. Pakde memang di kenal sebagai tokoh spiritual yang bisa menyembuhkan dengan media doa. Setelah bertemu pakde, mama menceritakan semua detailnya.

Pakde memeriksaku, wajahnya sangat serius saat melihat kondisiku sudah seperti bayi yang tidak memiliki kehidupan. Hanya terlihat dada kecilku yang memompa nafas semakin lemah.

"Apa letak sungai itu jauh dari sini?"

"Tidak begitu jauh kang, kenapa?" tanya mama penuh dengan kecemasan.

"Antar aku kesana sekarang!"

Pakde meminta mama untuk mengantarnya menuju sungai dan gorong-gorong yang ada di mimpi mama. "Iyah, sekarang juga kamu harus menyiapkan sapu jerami, telur ayam kampung, juga beras kuning. Nimas perlu ditebus"

Deg... "Apa?" Semakin gemetar mama mendengar penjelasan itu. Dengan doa dan harapan, mama langsung mencari bahan-bahan yang di sebutkan pakde tadi. Sesampainya di sana pakde meletakkan sapu jerami, telur ayam kampung, dan juga beras kuning. Beras yang di campur parutan kunyit, yang di letakkan di atas daun pisang. Lalu terlihat bibir pakde komat kamit yang entah membaca doa, atau berkomunikasi dengan penunggu yang ada di sana. Tak lama kemudian, bangun lalu mengambil 3 kerikil dari sungai.

Pakde kembali ke rumah bersama mama yang berjalan di belakangnya, tangan kirinya seperti menggenggam sesuatu tapi tak terlihat. Sedangkan tangan kanannya kerikil dari sungai yang diambilnya tadi. Sesampainya di depan rumah, pakde berhenti, terdiam sambil memejamkan matanya.

Duaaakkk... Batu kerikil yang ia bawa tadi di lemparkannya ke pintu rumah sambil berkata. "Nimas pulang!" Daaakkk batu kedua di lemparkan ke pintu lagi, "Nimas pulang!" suaranya semakin tinggi. Dan yang ketiga kali pakde melakukan hal yang sama, hanya saja, pada lemparan batu dan panggilan ke 3, aku yang sedang di pelukan mbah putri langsung tersentak kaget diiringi dengan tangisan kencang.

Mendengar tangisku mama langsung berlari menghampiri, beliau langsung memelukku. Wajah bayi tidak lagi pucat, kulit mulai terlihat wajar, biru di bibir lambat laun menjadi merah lagi. Mama menangis sambil memelukku dan bersyukur karena aku masih di beri keselamatan. Semua orang bernafas lega.

"Ingat, kau harus hati-hati, iyah! Usia bayi masih sangat rawan. Banyak dari makhluk dedemit yang suka dengan bau darah yang segar dan murni. Jangan kau ulangi lagi, apalagi membawa bayimu ke tempat yang singlu (angker) dan rawan"

"Iya kang, aku kapok dan ga akan mengulanginya lagi. Apa Nimas baik-baik saja sekarang?"

"Alhamdulillah, sudah tidak apa-apa." pakde menyeruput teh tawarnya.

"Sebenarnya apa yang terjadi kang? Kenapa ada penebusan??" tanya mama yang masih kurang paham.

"Sukmanya di ambil sama makhluk yang kamu lihat di dalam mimpi itu, dan mengurungnya. Oleh karena itu dilakukan penebusan. Jika kita terlambat satu hari saja, aku ga tau apa anakmu bisa selamat atau tidak"

Penjelasan pakde membuat mama terkejut. "Bau dari aura bayimu sangat manis di penciuman mereka, banyak yang akan tertarik padanya nanti. Tapi, aku harap ini hal yang wajar karena semua bayi masih murni" ucap pakde menatapku lekat. Ekspresinya menyiratkan sesuatu.

"Maksud kakang?" mama memelukku erat.

"Ah, tidak. Semoga anakmu sehat setelah ini ya. Aku pamit pulang dulu" pakde tau mama itu orangnya panikan dan penakut, ia memilih diam dan tidak menjelabar terlalu banyak supaya mama tidak banyak pikiran.

Mama mengangguk lalu mengantar pakde sampai pintu keluar. Tidak ada kejelasan detail dari ucapan pakde, meskipun dalam benak mama banyak sekali pertanyaan. Tapi tidak berani bertanya lebih jauh lagi. Yang terpenting saat itu adalah, aku sehat, dan baik-baik saja.

Cara yang di lalukan pakde kalau ditempatku namanya ucing-ucingan, salah satu syarat untuk menyembuhkan orang dewasa/anak-anak yang kesrimpit atau yang biasa kalian sebut kesambet di suatu tempat. Jaman dulu masih banyak yang melakukannya, tapi sekarang, semakin bergantinya jaman, hal semacam itu sudah tidak ditemukan lagi. Kecuali di pedesaan yang benar-benar plosok.

avataravatar
Next chapter