webnovel

Dia Anakmu, Mas!

"Gugurkan! Dia bukan anakku!" "Apa?" "Kau tururti... Atau kita cerai!"

Pusparani_Surya · Urban
Not enough ratings
4 Chs

Ketiga

"Apa?" Bapak menatap tak percaya pada menantunya, laki-laki yang memintaku untuk menjadi istrinya tiga bulan lalu. Aku hanya menarik napas dalam, entah apa yang ada di dalam benak bapak mendengar pernyataan Mas Imron.

"Iya, Pak. Saya tidak mengakui bayi yang ada di rahim Suci, dia bukan anak saya!"

Tubuh renta bapak terhempas ke belakang, bersandar lemas pada sandaran sofa. Aku mendekat, dan mengusap tangan bapak dengan mata yang mulai memanas. Semalam saat Mas Imron dengan lantang menolak kehadiran anaknya, hatiku tidak sesakit saat melihat bapak seperti sekarang.

Aku tak sanggup melihat bapak sedih.

"Suci... Katakan, kenapa Suamimu tidak mengakui janin yang ada di rahimmu? Apakah--apakah selama dua bulan ini kamu belum pernah melayaninya? Belum menjadi istri sepenuhnya?" kalau dalam keadaan biasa, aku pasti malu mendengar pertanyaan bapak. Tapi saat ini, aku harus membicarakan hal yang aku anggap tabu.

"Suci... Sudah menjadi Istri Mas Imron seutuhnya, Pak. Lahir bathin. Semua hak Mas Imron sudah Suci berikan, tepat di malam pernikahan kami," jawabku dengan jelas, walau pelan aku yakin bapak bisa mendengarnya.

Bapak menarik napas panjang, menghembuskan dengan sedikit tersengal, wajahnya memucat.

"Lalu apa penyebab Suamimu tidak mengakui bayi dalam kandunganmu?"

Mas Imron memalingkan muka, jelas dia sangat tidak nyaman dengan pertanyaan bapak.

"Bapak bisa tanyakan langsung pada Menantu Bapak itu, apa alasan dia menolak benihnya?"

"Dia bukan anakku!"

"Apa alasannya Imron?! Kenapa kamu bisa berpikiran seperti itu?" suara bapak meninggi, wajah bapak memerah karena amarah, sungguh bapak tidak terima anaknya dihina serendah itu, "Apa kamu pernah melihat Suci berzina dengan lelaki lain? Hingga menghasilkan bayi di dalam perutnya? Sampai-sampai kamu tidak mau mengakui anaknya? Begitu?"

Mataku terpejam mendengar semua pertanyaan bapak untuk Mas Imron. Sakit. Sakit sekali mendengarnya. Mas Imron adalah lelaki kedua yang menjamah ragaku, laki-laki kedua yang memberiku kenikmatan surga dunia. Tapi kenapa dia dengan tega menolak hasil dari percintaan kami? Menolak buah cintanya?

"Saya tidak bisa mengatakan alasannya, Pak. Hanya saja, saya menolak mengakuinya. Dan kalau Suci tetap mempertahankan kehamilannya, dengan terpaksa saya akan menceraikannya,"

"Apa?! Ed*n kamu Imron! Menyesal aku memberikan restu padamu! Dengar, kalau kamu memang sudah tidak menginginkan Anakku, maka aku! Aku yang renta ini dengan tangan terbuka menerimanya kembali! Jangan kamu pikir, aku akan meminta Suci melakukan ide gilamu itu!" bapak benar-benar Marah karena perkataan Mas Imron, rahangnya mengetat, dengan mata membelalak penuh amarah, pada laki-laki yang berstatus suamiku itu. Aku sudah tidak sanggup menahan desakan air mata yang terus berjatuhan, tersedu meratapi nasib yang tak ku sangka akan seperti ini.

"Suci! Putuskan pilihanmu! Apa kamu akan menuruti permintaan gila Suamimu itu?!" bapak menunjuk Mas Imron yang terus tidak mau melihatnya, menghindari beradu pandang denganku, atau pun bapak.

"Tidak, Pak. Anak ini anak Suci, dia hadir dari hasil hubungan halal. Sah menurut agama dan negara, walaupun kehadirannya ditolak oleh ayahnya sendiri!"

Mas Imron menggeleng. Dia menolak keputusanku.

"Suci tolong ikuti permintaanku, aku akan tetap menjadi Suamimu kalau kamu mau mengikuti perkataanku!" Mas Imron menatapku dengan pandangan penuh harap, namun dengan tegas aku menolak.

"Maaf, Mas! Sekuat kamu menyangkal kehadiran anak ini, seperti itu juga keputusanku untuk mempertahankan bayi kita," kuusap air mata yang berjatuhan di pipi, menekan sesak yang semakin menghimpit dada. Kalau tak salah lihat, aku bisa melihat kesedihan di mata Mas Imron.

Tapi apa penyebab dia terus menolak kehamilanku?

"Baiklah, karena kamu tidak mengikuti perkataanku, dan bersikeras melanjutkan kehamilanmu, hari ini juga aku... Imron--"

"Mas! Jangan mengambil keputusan saat kamu tengah diliputi amarah!" Aku mencoba menahan Mas Imron melanjutkan kata-katanya. Kata-kata yang dapat aku tebak apa, kata yang sangat tidak ingin wanita mana pun dengar. Talak!

"Kamu tidak bisa menceraikan wanita yang sedang hamil Imron! Sedangkal itukah pengetahuan agamamu? Hingga kamu akan menceraikan Istri yang jelas-jelas tengah mengandung anakmu?" hardik bapak keras, rupanya bapak juga sudah bisa membaca kemana arah pembicaraan menantunya itu.

"Baik, kalau begitu saya akan menunda proses perceraian kita sampai kamu melahirkan. Tapi ingat, Suci! Aku tetap menolak kehadiran bayi itu. Pikirkanlah, sekali lagi. Sebelum janin itu bertambah umurnya, dan kamu tidak bisa menggugurkan kandunganmu!"

"Dasar ed*n! Cukup Imron! Kalau kamu tetap tidak mengakui anak dalam kandungan Suci, tak apa. Kami akan tetap menerima dia dengan baik, dia tetap Cucuku. Darah dagingku juga!" bapak berdiri setelah mengatakan itu, "Karena kamu sudah mempunyai niat untuk bercerai dari Suci, maka aku tidak sudi melihatmu ada di rumah kami lagi, silahkan keluar dari sini. Dan mengenai perceraian kalian, aku akan mengurusnya setelah masa nifas Suci nanti. Ku beri kau waktu satu hari untuk keluar dari rumah ini."

Bapak berlalu dengan langkah gontai, aku hanya bisa menatap bapak dalam buram air mata yang masih berjatuhan.

Mas Imron terlihat menundukkan kepala, dia terlihat semakin kacau. Bahkan seperti berat menerima keputusan bapak. Aku semakin yakin, ada sesuatu yang disembunyikan suamiku itu.

Suami? Masih berhakkah status itu kusematkan padanya? Sedangkan tadi dengan lantang dia akan menjatuhkan talaknya atasku.

"Suci... Kamu masih punya kesempatan untuk berpikir. Aku... Aku sangat mencintaimu, Suci. Gugurkan anak itu, kita masih bisa bersama!" Mas Imron masih mencoba membujukku, namun tentu saja hal itu tidak dapat aku lakukan, aku tidak mungkin membunuh anakku sendiri, walau aku yakin dia. Masih berbentuk segumpal darah.

"Dan membuatku menjadi pembunuh, Mas? Pembunuh anakku sendiri? Anak kita?"

"Dia bukan anakku, Suci! Berapa kali aku tegaskan?!"

"Lalu apa alasanmu yang sebenarnya, Mas? Apa?" Mas Imron mengusap rambutnya kasar, kehilangan kata untuk menjelaskan, "Jujur padaku, Mas! Apa yang sedang kamu sembunyikan sebenarnya? Kamu tau aku tidak berselingkuh, tapi kenapa kamu tidak menerima kehadiran anakmu?"

"Aku sudah berusaha mempertahankan rumah tangga kita, Suci. Tapi kamu memilih abai dari perintah Suamimu, dan karena Bapak sudah meminta aku pergi, maka maaf. Aku akan pergi dari rumah ini,"

"Itu bukan jawaban yang aku minta, Mas!"

Sakit! Dua kali rumah tanggaku hancur. Dulu karena kehadiran orang ketiga. Kini, karena alasan yang aku tau disembunyikan oleh suamiku. Kesalahan apa yang sudah aku buat, hingga aku mengalami semua ini?

Mas Imron tetap bungkam, berdiri dan melangkah lunglai menuju kamar kami... Maksudku, kamarku. Karena sebentar lagi kamar itu hanya akan menjadi kamarku lagi. Dengan sepi dan dingin, yang akan kembali menemaniku di sepanjang malamnya. Ternyata hanya dua bulan kehangatan itu menyelimuti, setelah dua tahun lamanya aku menjanda.

Ya, Allah... Ku terima semua suratan takdirmu.