1 KARYAWAN BARU

MATAHARI sudah berada tepat di atas ubun-ubun kepala. Pemuda bertubuh sedikit kurus itu keluar dari ruangan Fakultas Ekonomi. Sesekali mengusap dahi dengan lengan nya, peluh terasa bercucuran. Setelah itu semua mahasiswa berhamburan meninggalkan kelas nya masing-masing.

Pemuda itu terus berjalan menyusuri lorong kampus. Menuruni setiap anak tangga, hingga sampai di parkiran. Menyalakan motor Beat merah hitam nya dan melaju keluar gerbang. Dia melambaykan tangannya pada penjaga kampus yang tersenyum padanya.

Motor itu membawanya ke sebuah Rumah Makan Khas Sunda. Bangunan nya cukup klasik, seperti di bangun pada tahun 90-an. Dia memarkirakan motornya lalu berjalan masuk ke dalam bangunan itu.

"Selamat siang." Sapanya kepada karyawan lain.

Kemudian, Ia masuk ke salah satu ruangan di lantai dua dan duduk di sebuah bangku lengkap dengan meja dan komputer. Mengeluarkan berkas di dalam tas yang sedari tadi di gendongnya. Dan mulai mengerjakan sesuatu.

"Kopinya, Mas." Seorang Ibu tua, membawa baki dan menyuguhkan secangkir kopi di mejanya.

"Terima kasih."

"Ada yang lain?" Tanyanya kemudian.

"Cukup bu, Padahal tidak perlu merepotkan. Saya bisa membuatnya di Pantry."

"Sudah menjadi pekerjaan Saya."

Ibu tua itu berlalu dengan baki di lengannya. Masuk kedalam Pantry dan melanjutkan pekerjaannya.

Seseorang menepuk pundaknya dari belakang dengan nafas terengah-engah.

"Pak Darwis belum datang kan?" Tanyanya dengan suara terbata-bata.

"Kamu terlambat lagi." Bukan pertanyaan tapi sebuah pernyataan. Pemuda itu menggelengkan kepalanya.

Dia tersenyum kecil lalu duduk kursi sebelah pemuda itu.

"Sudah berapa kali kamu terlambat?" Terdengar suara pintu terbuka dan suara seseorang dengan nada sedikit tinggi.

Teman dari pemuda itu sepertinya mendengar suara petir tepat di belakangnya. Dia berdiri sekuat tenaga, walaupun badan nya terasa lemas. Membalikkan badannya perlahan, dan terlihat seorang lelaki paruh baya. Menggunakan baju kemeja coklat, lengkap dengan jas hitam yang melekat di tubuhnya.

"Ke ruangan Saya sekarang!." Hardiknya sambil melangkahkan kaki nya.

"Sial."

Pemuda itu hanya bisa menggelengkan kepala, melihat sahabatnya itu akan menghadapi sebuah masalah besar.

"Bakti, kamu juga ikut ke ruangan Saya." Lanjut lelaki paruh baya itu ketika berada di ambang pintu.

Pemuda itu tertegun. Tapi dia berjalan dengan santai. Seolah ada yang memberi tahu nya tidak akan terjadi apa-apa.

Namanya Bakti Ramadhan. Dia seorang mahasiswa Fakultas Ekonomi. Untuk membayar biaya kuliahnya, Ia Bekerja di perusahaan Food and Rice sebagai Staff Administrasi. Karena kebaikan Bos nya, Ia diperbolehkan masuk kerja siang karena pagi-paginya harus masuk kuliah.

Bakti dan Sahabatnya itu kini sudah duduk di ruangan yang mereka panggil Pak Darwis, salah satu pimpinan atau Supervisior disana. Ruangannya cukup besar, lengkap dengan meja kerja, sofa, dan juga Ac yang membuat suasana menjadi segar.

"Akbar, jadi sudah berapa kali kamu terlambat?" Tanya Pak Darwis memulai percakapan, tanpa berbasa-basi.

"Sudah sering, Pak." Jawab Bakti spontan. Ia merasa ada yang menginjak kakinya.

"Tidak seperti itu Pak." Tukas Akbar.

"Sudah sering." Pak Darwis mengulang perkataan Bakti. "Kamu tidak pernah melaporkan nya kepada saya." Mata Pak Darwis tertuju kepada Bakti.

"Biar saya jelaskan Pak." Kata Akbar mencoba membela dirinya.

"Saya tidak berbicara dengan kamu."

Akbar menundukan kepalanya dan merasa hari ini adalah hari terakhirnya bekerja.

"Karena, Saya juga sering terlambat Pak."

Perkataan Bakti seolah tidak dipercaya oleh Akbar. Dia menatap sahabatnya itu yang sedang memperjuangkan dirinya agar masih tetap bertahan disana.

"Baik. Karena kejujuran kamu, dan Loyalitas kamu yang baik untuk perusahaan ini, Saya memberikan kalian Toleransi satu kali lagi. Kalian boleh keluar." Kata Pak Darwis mengakhiri pembicaraan.

"Aku tidak menyangka kamu akan melakukan ini semua, bisa-bisa kita berdua yang dikeluarkan." Ucap Akbar ketika mereka sudah keluar dari ruangan itu.

"Tapi itu tidak gratis lho."

"Nanti Aku traktir."

"Beneran."

"Aku masih tidak percaya kamu seberani itu."

"Itulah gunanya persahabatan."

Akbar berlalu menuju Pantry, dan sebelum Batkti masuk ke dalam ruangannya. Terlihat seorang perempuan dengan rambut panjang teruray, menggunakan Dres berwarna merah berjalan ke arahnya.

"Maaf Mas, Ruangan Pak Darwis sebelah mana ya?" Tanya perempuan itu.

"Kamu lurus saja, nanti belok kanan."

"Terima Kasih."

***

'Mas, kamu jadi antar Aku pulang kan?'

Pesan masuk dalam ponsel Bakti. Di atas sebelas kiri tertulis "My Honey Nabila" Segera Ia menjawab pesan itu.

'Maaf Bil, Mas tidak bisa menjemput kamu hari ini. Mas harus lembur.'

Lima menit kemudian, terdengar suara pesan masuk lagi.

'Ya sudah Aku minta jemput Mas Hadi saja.'

'Maaf ya. Kamu hati-hati di jalan nya.'

'Iya Mas, tidak apa-apa.'

Setelah itu terdengar suara Adzan Magrib berkumandang. Bakti segera merapihkan mejanya dan bergegas menuju Mushola. Selesai solat, Ia melihat perempuan yang tadi ditemuinya. Belum sempat bertanya atau pun berkenalan, Dia sudah bergegas pergi ke lantai bawah.

"Kamu mengenal dia." Tanya Akbar.

"Sepertinya Karyawan Baru."

"Cantik ya."

"Iya."

"Ingat Nabila."

Bakti tersadar dalam lamunannya.

"Memangnya tadi Aku bicara apa?"

"Amnesia."

Mereka kembali ke ruangannya dan melanjutkan pekerjaan agar bisa cepat selesai. Waktu berjalan begitu cepat, sudah jam sepuluh malam. Oultet pun sudah di tutup. Semua Crew operasional sudah pulang. Bakti dan Akbar membereskan berkas-berkas dan kembali merapihkan meja.

"Aku pulang duluan ya." Kata Akbar.

"Traktirannya."

"Nanti saja."

Dalam sekejap bayangannya sudah tidak terlihat lagi.

***

Saat menyalakan motor, Bakti melihat seorang perempuan berdiri di gerbang. Sepertinya sedang mennggu seseorang.

"Kamu, yang tadi kan?" Tanya Bakti memastikan.

"Iya. Aku Karyawan Baru. Staf Operasional."

"Sedang menunggu jemputan."

"Tepatnya Angkutan Umum."

"Sudah malam seperti ini, tidak akan ada angkutan umum. Pulang kemana?"

"Jalan Sunda."

"Mau Aku anterin, rumah ku di Jalan Sandar."

"Apa tidak merepotkan."

"Kalau kamu duduk di depan, baru merepotkan."

Perempuan itu tersenyum kecil mendengar perkataan Bakti.

"Aku hanya bercanda."

Untuk pertama kalinya, Bakti membonceng perempuan selain Nabila. Namun ia hanya berniat untuk menolong. Mereka menembus jalanan malam yang cukup sepi.

"Sepertinya kita belum berkenalan." Kata Bakti dengan nada sedikit tinggi. "Namaku Bakti." Lanjutnya.

"Salsabila, panggil saja Bila."

Motor Beat itu melaju menembus keheningan malam. Di bawah sinar purnama yang terang. Gemingtang bertaburan menghiasi langit, angin malam tertiup seiringan dengan lambayan pohon yang bergerak seirama. Bakti tidak menyadari jika ada sepasang mata yang sedang memperhatikannya.

***

avataravatar
Next chapter