1 BERHENTI JADI PENGANGGURAN

Rayner Miller merebahkan diri di kasur dengan menjuntaikan kepalanya ke sisi luar ranjang. Dia melihat jam di dinding, semua barang dilihatnya dengan cara terbalik karena kepalanya berada di bawah saat ini.

Tik ... Tik ...Tik!

Bunyi yang dihasilkan jarum detik terdengar lebih keras dari biasanya, dia merasa sepi dan bosan.

"Argh! Bosan ini membunuhku!" Ray beranjak dari kasur, kepalanya pusing karena sudah berbaring dengan posisi terbalik cukup lama.

Ia beranjak dari kasur, kemudian menyalakan musik keras-keras. Setelah itu, Ray memperhatikan dirinya di cermin, "Well, aku cukup tampan. Hmm, tidak ... tidak! Aku terlalu tampan." Dia melepaskan kacamata.

Ray memicingkan mata menatap ke cermin, "Sial! Aku bahkan tak bisa melihat bayanganku sendiri." Ia kembali mengenakan kacamatanya.

"Kuharap suatu hari ada laba-laba mutasi genetik yang menggigit lelaki tampan dan pintar sepertiku. Aku bisa menjadi Spiderman." Ray mengedip sebelah mata sambil menekan telapak tangannya menggunakan jari tengah, persis seperti gerakan Peter Parker saat mengeluarkan jaring laba-laba.

Musik yang diputarnya sampai pada ritme menghentak, Ray meliukkan tubuh. Ia bergerak seperti Justin Bieber saat show di atas panggung.

"See ... you good!" Ray menggerakkan pinggul dan bahunya berlawanan arah sambil bersenandung riang. Lebih tepatnya dia berusaha riang.

Dark Ocean Team sudah tiga bulan diskorsing. Setiap hari Ray dilanda kebosanan. Menonton Netflix sampai puas, melihat situs hot movie dan menjadi member premium tanpa membayar. Ia memasuki situs itu dengan mudah.

Bahkan ia juga menyadap ponsel teman satu timnya hanya demi membunuh kebosanan, hanya sekedar ingin tahu apa yang mereka lakukan dengan waktu luang.

Ray terus menari lagu demi lagu. Ia melangkah ke dapur mengambil whiskey dari lemari kabinet. Memasukkan es ke dalam gelas lalu menuangkan whiskey ke dalamnya. Ia menyesap minumannya, musik masih mengalun keras memecah kesunyian. Ray sudah mendesain apartemennya kedap suara, sehingga suara sekeras apapun tidak akan keluar.

Ray mengedar pandangan ke seluruh ruangan. Ia menghela napas panjang. Apartemen ini dimilikinya dua tahun yang lalu, saat ia mendapatkan bonus akhir tahun. Bukan apartemen mewah, hanya sebuah apartemen kelas menengah.

Dia masih harus membayar cicilan dua tahun lagi. Ini apartemen pribadi, bukan untuk bekerja seperti yang biasanya disediakan saat mereka menjalankan misi.

Ray tidak terlahir dari keluarga kaya. Dia hanyalah anak seorang petani gandum yang memiliki kepintaran di atas rata-rata, hingga dia mencoba ikut tes beasiswa di universitas terbaik. Beruntungnya dia lulus.

Ia cemas akan kehilangan apartemennya karena tidak mampu membayar cicilan. Dia memiliki uang tabungan, tapi setiap hari digunakan tanpa pemasukan? Semuanya akan habis tidak lama lagi.

"I Love you and I don't wanna let you go." Ray mendesah kesal memikirkan apartemennya kemungkinan akan dilelang.

"Mungkin aku bisa mengajar, aku lulusan terbaik dengan hasil cum laude." Ray menyesap whiskey. Ia melangkah ke ruang tengah. Tempat itu ruang kerjanya.

Ray memandangi tiga layar LED besar menempel di dinding terkoneksi dengan tiga komputer, "Hello, Baby. Sayang sekali kalian harus menganggur." Ray memandangi seperangkat komputer canggihnya dengan perasaan sedih.

Ray duduk di kursi putar ruang kerjanya, "Keraskan musiknya!" ucap Ray nyaring. Musik secara otomatis menaikkan volumenya. Perangkat di apartemen Ray sudah didesain mengenali perintah suara. Siapa yang mengaturnya? Tentu saja dirinya sendiri.

Tidak! Tidak sedramatis itu. Alat itu sudah ada di pasaran. Dan bukan dia yang menciptakannya.

Ray berselancar di dunia maya, melihat informasi terbaru dari situs berita online. Saat itu dia melihat ada iklan yang tiba-tiba muncul menawarkan jasa pengiriman barang cepat dan private. Satu kurir hanya untuk satu pengiriman barang. Barang yang mereka bawa adalah misi rahasia utuk kurir itu.

Terbesit ide Ray. Bagaimana jika dia membuat iklan jasa investigasi swasta? Ia segera membuat halaman web The Five Bothers Investigation. Dia membuat iklan melayani jasa penyelidikan atas permintaan pelanggan.

Ray menyebarkannya ke semua jejaring sosial dan halaman pencarian. Jika ada yang membutuhkan, tinggal 'klik' mereka akan segera terhubung langsung dengan situs yang dibuat Ray.

Dia juga sudah mengatur program jika ada seseorang yang menghubungi, sistem akan melakukan tanya-jawab mendasar dengan klien.Bahkan hingga tarif yang harus dibayar bila ada yang berminat menggunakan jasa mereka.

Jika klien setuju dan 'menekan' jawaban 'setuju' maka otomatis akan langsung tersambung ke ponsel Ray. Sehingga dia tidak perlu menjawab pertanyaan iseng atau penasaran dari orang-orang, ataupun dari klien yang sebenarnya tidak mampu membayar.

Ray mengatakan lebih dulu, pembayaran 50% di depan saat Dark Ocean tim setuju untuk menangani kasus, 50% sisanya saat hasil dan bukti penyelidikan diserahkan kepada klien. Harga itu tidak termasuk biaya penginapan, tiket pesawat jika di luar kota.

Biaya yang diminta untuk kebutuhan transportasi dan juga akomodasi akan ditagihkan pada klien. Sungguh! Itu bukan uang yang sedikit, tapi si Dolphin berjanji uang kembali jika kasus tidak dapat dipecahkan.

Ray tersenyum saat memberikan garansi uang kembali, dia yakin itu tidak berlebihan. Anggota Tim Dark Ocean adalah sekumpulan orang-orang terbaik dalam penyelidikan. Mereka menyusup tanpa terdeteksi.

"Kita lihat keberuntungan kita teman-teman!" Ray yakin mereka akan kembali beraksi. Mereka terbiasa bekerja dengan aksi yang memacu adrenalin, bekerja seperti orang normal kebanyakan tentu akan terasa membosankan.

***

Ray menikmati mentari pagi di balkon apartemen. Segelas kopi ekspresso dan roti isi menemani paginya. Dia memperhatikan anak-anak berlarian di taman di sekitaran apartemen. Ia tersenyum memperhatikan mereka.

"Mungkinkah aku akan memiliki mereka nanti?" Ray tersenyum sinis kepada dirinya sendiri.

Ia tidak pernah memikirkan hal itu. Selama ini dia terlalu sibuk dengan kasus yang harus dipecahkan. Pikirannya selalu teralihkan. Dia tidak punya waktu untuk memikirkan memiliki kekasih. Ray selalu saja fokus pada apa yang ia kerjakan. Ya, walaupun terkadang konsentrasinya juga bisa pecah karena kerena sesuatu hal.

Ray lelaki normal. Terkadang dia ingin merasakan hangatnya berada di antara kedua betis wanita. Sesekali Ray pergi minum-minum di kelab malam. Bertemu wanita menarik, menghabiskan malam bersama. Namun, hal itu terlewat begitu saja. Tidak ada yang berkesan. Hanya pelepasan kebutuhan tanpa emosi mendalam. Pekerjaan adalah hal paling menarik baginya.

Ia beranjak masuk saat dia mendengar ponselnya berbunyi, ada notifikasi pesan masuk. Dia membuka pesan itu lalu tersenyum, Ray membuat janji temu dengannya siang ini di restoran mewah. Dia sangat senang, ia dan timnya tidak akan pengangguran lagi. Mereka bisa beraksi lagi, berburu lagi. Ia bisa merasakan adrenalin kembali berpacu di dalam darahnya.

"Aku hidup untuk ini," ucap Ray di dalam hati penuh rasa optimis.

Ray segera bersiap, dia mengenakan setelan jas terbaik yang dimilikinya. Ia mematutkan diri di cermin. "No! Aku terlihat seperti pengiring pengantin!" ucapnya sambil mendesah kesal.

Dia mengganti pakaian. Kaos T-shirt ketat berwarna hitam, celana jins biru cerah. Jaket berwarna hijau lumut, tentu saja tidak lupa kacamata membingkai wajahnya yang tampan.

Ray memperhatikan bayangan dirinya di cermin, iris abu-abu miliknya yang diwarisi sari sang ibu berbinar terang. Kontur rahangnya yang tegas menambah kesan gagah dan maskulin. Ia mempunyai bibir merah alami terlihat menggoda seperti buah ceri matang, ditambah lagi alis tebal melengkung indah, memperindah keningnya yang lebar.

"Aku siap!" ucapnya sambil tersenyum optimis. Dia memasang ankleboot berwarna putih di kedua kaki. Tidak lupa Ray membawa tas ransel berwarna hitam untuk membawa laptop kesayangannya.

Setelah satu jam perjalanan, Ray tiba di sebuah restoran tempat dia membuat janji temu dengan klien. Setelah ia memasuki pintu masuk, Ray menanyakan nomor meja reservasi mereka kepada waiter. Pelayan laki-laki itu segera mengantarkan Ray kepada seorang lelaki berumur yang telah menunggunya.

"Halo. Selamat siang," sapa Ray mengulurkan tangannya sambil tersenyum manis.

"Selamat siang." Laki-laki itu menjabat tangan Ray. Dia memandangi lelaki muda di depannya. Ia tidak menyangka jika detektif yang akan mengurusi kasusnya semuda ini. Dia pikir akan ada lelaki berpakain parlente khas bos detektif seperti di film action.

"Mr. Dolphin?" tanya lelaki itu menyakinkan dirinya sendiri. Bukan dia yang membuat janji temu dengan si lelaki yang bernama Dolphin ini, asistennya yang mengatur pertemuan mereka.

"Yes, Sir. I'm Dolphin." Ray tersenyum.

"Well, Mr. Dolphin. Kau di luar ekspektasiku."

Dexter memanggil waiter untuk memesan menu makan siang mereka. Ray juga memesan makanan yang dia mau.

"Sir Dexter, jangan khawatir. Pekerjaan kami akan melebihi ekspektasimu," janji Ray dengan tenang dan yakin.

"Kuharap juga begitu, buat aku terkesan," ucap Dexter dengan santai, tapi terdengar menyepelekan.

Ray melihat ketidak percayaan dalam sikap Dexter, "Tenang, Sir. Garansi uang kembali." Ray optimis.

"Okay." Dexter mengangguk pelan sambil menjembikan bibir. Ia menyerahkan amplop cokelat tebal.

Ray tersenyum menerima pembayaran pertamanya.

"Aku ingin tanda terima untuk uang ini, jadi aku bisa menuntut jika kalian gagal." Dexter masih belum bisa memberikan kepercayaan penuh pada lelaki muda di depanya.

"Tentu," ucap Ray. Dia membuka tas lalu mengambil invoice yang sudah ia siapkan sebelumnya."

"Silakan, Sir Dexter jelaskan masalahnya." Ray mengambil perekam suara lalu meletakkan di atas meja.

Waiter datang membawakan pesanan mereka, pembicaraan itu berhenti sejenak. Ray dan Dexter menyesap minuman mereka.

"Waktu itu, aku liburan bersama istriku selama sebulan. Suatu hari kami bertengkar hebat, aku keluar dari villa kami. Dia berteriak-teriak meminta pulang.

Aku berkata kepadanya, pulanglah kapan pun kau mau. Aku kesal lalu pergi ke kelab malam. Aku bertemu seorang gadis dan pergi bersamanya.

Aku tidak kembali ke villa kami. Aku menyukai gadis itu lebih banyak dari yang kukira. Kupikir semuanya akan berakhir satu malam saja saat aku kesal. Namun, aku salah. Aku menyukainya terlalu banyak.

Meskipun aku kembali kepada istriku, tapi perasaanku tidak pernah kembali dan tidak sama lagi.Gadis itu memikat hatiku.

Kami berdua kembali ke negara ini, tapi aku tetap berhubungan dengannya lewat telpon. Karena tidak sanggup lagi membendung perasaan, aku memintanya untuk datang ke negara ini. Dia pun setuju. Aku memberikan apartemen dan mencukupi semua kebutuhannya.

Satu tahun kami bersama, dia hamil. Aku sangat bahagia. Sudah sepuluh tahun aku menikahi istriku, tapi kami masih belum memiliki anak. Aku mencintainya. Sangat-sangat mencintainya. Terlebih lagi dia mengandung anakku.

Suatu hari aku datang ke apartemennya membawakan hadiah untuk ulang tahunnya. Aku datang tanpa memberitahu lebih dulu.

Betapa terkejutnya aku saat melihat seorang laki-laki di dalam sana. Aku menanyakan siapakah orang itu? Dia mengatakan teman. Bagaimana bisa teman bertelanjang dada. Aku sangat cemburu dan merasa dikhianati. Lelaki itu sepantaran dengannya, sementara usiaku dua kali lipat dari usianya.

Kami bertengkar, aku mengatakan anak yang dikandungnya bukan anakku. Dia mengatakan bahwa anak itu anakku. Entahlah, aku tidak bisa mempercayainya. Aku pergi meninggalkannya dan tidak pernah lagi datang dan menolak berhubungan dengannya.

Dia sering mengirim pesan, email dan juga surat menyatakan anak itu adalah anakku. Aku membencinya karena dia menghianatiku, tapi di saat yang sama aku juga masih mencintainya. Namun, aku tak bisa memaafkannya. Aku tutup mata dan tidak peduli. Kabar yang kudengar dia kembali ke negaranya."

"Lalu, apa yang kau inginkan?" Ray mendengarkan dengan baik.

"Aku ingin kalian memastikan dengan bukti, apakah dia anakku atau bukan. Tapi anak itu tidak boleh sampai tahu."

"Kenapa kau baru mencarinya sekarang?"

"Hingga istriku meninggal, kami tidak mempunyai keturunan. Jika dia putraku, aku akan mewariskan semua untuknya. Jika bukan, maka aku akan mewariskan semua hartaku untuk badan amal."

"Kau punya informasi tentang dirinya?"

"Ini datanya." Dexter menyerahkan foto,"Namanya Mekhala Ancali. Aku tidak pernah tau lagi kabarnya sejak lima belas tahun belakangan."

"Tapi dia pernah tinggal di sini, bukan? Harusnya jadi lebih mudah."

"Ya, dia pernah tinggal di sini."

"Kami akan pergi ke sana," ucap Ray menerima data dan foto yang diberikan Dexter.

"Dolphin. Kalian bisa menginap di villa-ku. Aku juga akan ikut ke sana."

Ray menatap dalam wajah lelaki tua di depannya. Pria berusia akhir enam puluhan itu terlihat sedih. Matanya memerah dan berembun. Dia sudah tua, tapi tubuhnya jelas terlihat masih bugar. Dia bisa melihat, Dexter menyimpan segala perasaannya. Rindu. Marah. Cinta. Benci dan harapan. Semua menjadi satu di matanya.

"Dolphin, berapa usiamu?"

"Dua puluh lima tahun."

"Dia dua tahun di atasmu." Dexter tersenyum getir.

"Tenang, Sir. Kami akan mendapatkan kepastian untukmu." Ray berkata dengan yakin.

"Aku harap begitu." Dexter menatap Ray penuh harap.

"Kapan kita pergi, Dolphin?"

"Kapan kau siap, Sir. Kau mau ikut, bukan? Kau mau melihat anaknya atau ibunya?"

Dexter terkejut, ia terdiam karena tak siap dengan pertanyaan Ray. Ia tidak menyangka si Dolphin mengetahui perasaannya.

"Bawa aku melihat mereka. Keduanya."

"Baiklah. Aku akan mengumpulkan orang-orangku segera. Aku akan mengabarimu saat kami siap."

"Okay. Senang bekerja sama denganmu," ucap Dexter.

"Sir, bisa kita makan sekarang? Aku sangat lapar," ucap Ray.

"Oh, hahahaha tentu. Maaf, aku terlalu bersemangat bercerita hingga aku lupa menawarimu makan."

Mereka makan bersama sambil membicarakan hal-hal yang menyangkut Mekhala. Di mana mereka bertemu, apa pekerjaanya. Ray juga meminta surat yang diberikan Mekhala belasan tahun yang lalu jika masih ada, juga emailnya apa masih disimpan. Ray butuh semuanya. Mereka membicarakan lebih terperinci.

Ray pulang dengan perasaan optimis, "Kita bekerja lagi sekarang," ucap Ray.

***

Ray menghubungi timnya dan memberikan kabar mereka mendapatkan pekerjaan. Tentu saja Daniel Snowden si Starfish, Oscar Grant si paus Orca dan Arlo Collins si Octopus sangat senang.

"Halo, Shark sedang cuti. Jangan menggangguku!"

Ray mendesah kesal. Dia mencoba menghubungi Jake puluhan kali dalam beberapa hari terakhir, tapi dia masih belum bisa dihubungi. Ia juga menghubungi nomor telepon di apartemen Jake selalu jawaban itu yang diterimanya. Sedangkan ponselnya, Jake memblokir semua nomor anggota Tim Dark Ocean. Ray mengirim pesan dengan nomor lain.

{Hei Shark! Bangun! Waktu hibernasi sudah habis! Wanitamu menunggu} Ray mengirim pesan

Sayangnya, Jake tidak pernah membalas pesan itu. Ray tahu, Jake ingin menyendiri. Tiga bulan ditinggal Florence membuatnya berantakan. Dia begitu mencintai wanita itu bertahun-tahun. Namun, saat ini dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk membuat wanita itu tetap berada di sisinya. Ray sepenuhnya mengerti perasaan Jake.

avataravatar
Next chapter