webnovel

Di Balik Cermin

Awan dan Langit adalah dua saudara kembar yang terpaksa terpisah oleh sebuah keegoisan orang tua mereka. Di perburuk dengan menghilangnya ingatan Awan tanpa tahu penyebabnya. Membuat Langit mencari cara agar Awan kembali mengingatnya. Sebuah badai datang menghantam hidup Awan ketika dia terjebak di dalam dunia yang tidak dia ketahui setelah Awan memukul cermin. Di dunia Awan tempati sekarang, semua orang begitu aneh dan penuh dengan tipu muslihat. Hanya telpon dari Langit yang berbeda membuatnya sedikit tenang sekaligus janggal, pasalnya Langit ada di dua tempat yang berbeda dengan sifat bertolak belakang. Di satu sisi Langit mencari keberadaan Awan di mana-mana dan entah kenapa satu persatu temannya ikut menghilang. Lalu ada Sain yang sudah lebih dulu terjebak di dunia cermin, satu-satunya yang bisa Awan percayai walaupun sifatnya benar-benar buruk. Lalu ada pertukaran darah malah membuat keadaan semakin rumit. Bisakah mereka keluar dari dunia di dalam cermin? Dan menghindari orang-orang di dalam cermin untuk keluar ke dunia nyata?

White_Black033 · Fantasy
Not enough ratings
192 Chs

Noda

Awan melangkahkan kakinya menuju gerbang keluar ia terdiam sebentar memandang langit yang kehilangan warnanya kali ini. Langit di atas sana mulai kelabu dengan gumpalan awan yang tak kalah kelabu, awan yang besar di atas sana seolah ingin terkoyak untuk menumpahkan muatannya. Awan merasa dirinya sekarang mirip dengan awan, sama-sama kelabu. Ia ingin menangis lagi sekarang juga namun ia tidak bisa membiarkan orang tahu bahwa ia lemah.

Maka yang Awan lakukan sekarang adalah menutupi semuanya dengan senyuman. Menganggap hari ini sama seperti kemarin, mencoba melupakan mimpi buruk yang tiba-tiba datang tadi pagi. Awan merasa hina. Dan kotor.

Sakit rasanya berpura-pura tidak terjadi apa-apa, namun di dalam hatinya dia terluka sampai Awan merasa mustahil untuk di sembuhkan. Namun dengan semua hal yang terjadi atas dirinya Awan bersyukur pada Tuhan tidak menimpakan mimpi buruk ini pada Langit, biarkan Awan yang menanggungnya. Awan akan berusaha sebisa mungkin menahan luka sebesar apapun pada dirinya tapi dia tidak akan bisa menahan rasa sakit jika luka itu terjadi pada Langit. Tidak akan bisa. Awan merasa bukan hanya wajah mereka serupa tapi Awan benar-benar merasakan ada sesuatu pada dirinya dan Langit.

"Awan?" Seseorang memanggil Awan yang sedang berlari ke arahnya. Awan bingung ketika teman satu kelasnya ini memberikan kunci motor kepada Awan.

"Ini punyaku?"

"Iya, Aku kan tadi pinjem motor kamu." Tanpa terima kasih orang itu langsung meninggalkan Awan begitu saja. Menimbukan tanda tanya di benak Awan. Ia ingat betul saat berangkat ke sekolah Awan tidak membawa motor , dia naik kendaraan umum untuk sampai ke sekolah bersama Langit. Lalu, kapan dia meminjamkan motor. Kejanggalan lagi-lagi terjadi ejak dia berpindah dari gang kecil ke atap sekolah.

Sapaan dari teman Awan masuk ke indera pendengarannya, menanyakan hal apa yang terjadi pada wajahnya. Awan tidak bisa berbohong, maka yang dia lakukan hanya diam sambil tersenyum dan meninggalkan mereka untuk menuju motornya di parkiran.

Ketika Awan sudah menaiki motor kesayangannya, hujan turun dengan keras menghujam tanah. Manik mata Awan mulai berkeliaran di area parkir mencari seseorang yang tidak pernah suka dengan hujan, ketika Awan menangkap sosoknya ia turun dari motor. Membuka jok dan mengeluarkan satu set jas hujan. Ia berjalan cepat menuju orang itu.

Tanpa basa-basi Awan langsung meraih tangan Langit dan memberikan jas hujan pada Langit.

Langit terdiam, tampak terkejut tiba-tiba Awan muncul di hadapannya yang langsung memberikan jas hujan pada dirinya.

"Pakai aja, Aku tahu kamu nggak suka hujan." Setelah mengatakan itu Awan langsung meninggalkan Langit dengan cepat tanpa memberi kesempatan Langit untuk menolak. Awan meninggalkan sekolah dengan motornya menerjang hujan dengan mengenakan pakaian kejuruan tipis membalut tubuhnya.

.

Awan mengendarai motor dengan perlahan menikmati setiap tetes air hujan membasahi tubuhnya. Di balik helm Awan menangis kencang hingga tenggorokannya menjadi sakit. Tidak peduli pada orang yang akan melihat dan mendengarnya, Awan tetap menangis. Membiarkan hujan membasahi tubuh, dan Awan berharap noda hina itu menghilang dari tubuhnya.

Awan jijik hingga rasanya ingin muntah. Ketika seperti ini tidak ada yang tahu bahwa sekarang dia lemah dan rapuh. Awan harus apa setelah ini, sulit rasanya berpura-pura kembali. Satu-satunya cara yang bisa ia lakukan adalah memasang topeng yang lebih tebal dari sebelumnya dan mengokohkan kembali dinding tinggi yang ia bangun di dalam dirinya hingga semua orang tahu bahwa Awan baik-baik saja. Awan sudah terlalu biasa dalam kepalsuan di seluruh dunia kelabunya. Jadi untuk kali ini seharusnya bukan masalah lagi bagi dirinya.

Setelah sampai di rumah dan memastikan tidak ada lagi jejak-jejak air mata di wajahnya, Awan mengetuk pintu dan langsung masuk ke dalam rumah. Sepi. Seperti biasanya, di sore ini ayahnya pasti belum pulang ia akan selalu pulang sore menjelang magrib atau di saat malam. Tapi kali ini tidak, entah ada apa ayah Awan pulang lebih cepat dari biasa.

"Kenapa basah semua? Ayah sudah masukan jas hujan di motor kamu kemarin." Raihan, ayah Awan mendekati Awan dan memberikan handuk pada Awan.

Awan menerimanya, ia cukup tahan dengan udara dingin dan rasa dingin. Oleh karena itu ia bisa bertahan menghadapi Langit.

"Aku pinjemin jas hujannya sama temen Aku. Soalnya dia gak suka hujan sama gak tahan dingin." Sambil berbicara tangan Awan sibuk mengelap tubuhnya yang basah. Awan benar-benar tidak bisa berbohong, kecuali pada dirinya sendiri.

"Kalau mau nolong orang pikirin juga diri sendiri. Itu kenapa wajahmu?"

Awan diam sebentar mencari alasan. "Habis berantem yah. Biasa laki-laki."

"Lain kali kamu jangan berantem atau cari gara-gara dengan orang kalau untuk membela diri gak masalah, jadi laki-laki jangan lemah. Fokus belajar aja jangan sampai nilai kamu turun. Yaudah mandi habis itu turun makan bareng Ayah." Raihan berbalik meninggalkan Awan untuk kembali ke ruang keluarga dengan televisi yang masih menyala. Awan terdiam, ayahnya tidak tahu saja, Awan memang merasa lemah. Awan membuka sepatunya dan mulai berjalan ke lantai atas menuju kamarnya.

"Awan!" Sebelum menaiki tangga Raihan kembali memanggilnya.

"Mata kamu merah. Habis nangis?"

"Iya, Yah."

"Kalau kamu punya masalah cerita sama ayah. Nggak seharusnya laki-laki nangis." Awan hanya tersenyum dan kembali menaiki tangga untuk segera sampai ke kamarnya. Topengnya telah terpasang sempurna.

Setelah sampai di kamar ia langsung mengunci pintunya, membuka semua pakaiannya dan meraih cutter di laci meja belajar.

Awan langsung melesat ke kamar mandi, mengalirkan air dingin ke dalam bathtub dan membaringkan tubuhnya di sana. Menikmati Air dingin yang membalut tubuhnya meredakan rasa menyengat yang begitu menusuk dari luka-luka lamanya yang belum sembuh.

Hari sebelum hari ini sudah berat di lalui Awan, di tambah hari ini rasanya semakin terasa berat. Perempuan dan laki-laki yang melukai fisik serta batinnya tadi pagi terngiang di pikiran Awan. Awan rasanya membenci dirinya sendiri yang begitu lemah hingga tak mampu melawan tiga orang itu. Bahkan rasa sakit di bagian bawah tubuhnya masih terasa sampai sekarang. Betapa kotornya dia, pelecehan dan kekerasan yang terkadang menimpa perempuan kali ini menimpa dirinya yang merupakan seorang laki-laki. Bagaimana bisa Awan menghadapi dunia dan bagaimana dunia memandang dirinya, bahkan untuk bercerita pada ayahnya ia terlalu malu dan takut.

Menangis pun tak mampu lagi Awan lakukan. Ia memukul-mukul dadanya membiarkan rasa sakit dan sesak mencengkramnya. Tidak cukup rasa sakit ini melukai batinnya Awan menambah dengan menggores pahanya, agar rasa sakitnya semakin terasa lengkap. Darah yang mengalir dari pahanya adalah pemandangan yang biasa bagi Awan. Selain tangan, paha, dan dada hanya itu yang bisa ia lukai agar dunia tidak mengetahui apa yang terjadi pada dirinya. Awan sudah lama menjadi pecandu luka, bahkan kali pertamanya Awan lupa.

Setelah cukup tenang Awan bangkit dari bathtub dan membilas dirinya sekali lagi dengan air. Ia meraih handuk dan keluar dari kamar mandi.

Setelah berpakaian Awan mencari tabung obat yang biasa dia simpan di dalam lemari pakaian namun kali ini Awan tidak menemukannya. Dia membongkar pakaiannya namun tetap tidak berhasil dia temukan. Dimana? Awan ingat betul dia menaruhnya di sana.

Suara ayahnya memanggil Awan dari bawah. Awan bingung harus bagaimana, dia tidak menemukan obatnya. Maka dengan terpaksa Awan turun ke bawah menemui ayahnya di meja makan. Namun ketika turun dia mendengar suara lain di sana. Suara yang dia kenal dengan sangat baik, memenuhi pendengarannya.

"Langit?" Di sana, duduk Langit di meja makan sedang berbincang dengan Ayahnya dengan pakaian rumahan. Tampak sama sekali tidak terkejut dengan eksistensi Awan di rumahnya.

Terima Kasih banyak telah membaca.