webnovel

Di Balik Cermin

Awan dan Langit adalah dua saudara kembar yang terpaksa terpisah oleh sebuah keegoisan orang tua mereka. Di perburuk dengan menghilangnya ingatan Awan tanpa tahu penyebabnya. Membuat Langit mencari cara agar Awan kembali mengingatnya. Sebuah badai datang menghantam hidup Awan ketika dia terjebak di dalam dunia yang tidak dia ketahui setelah Awan memukul cermin. Di dunia Awan tempati sekarang, semua orang begitu aneh dan penuh dengan tipu muslihat. Hanya telpon dari Langit yang berbeda membuatnya sedikit tenang sekaligus janggal, pasalnya Langit ada di dua tempat yang berbeda dengan sifat bertolak belakang. Di satu sisi Langit mencari keberadaan Awan di mana-mana dan entah kenapa satu persatu temannya ikut menghilang. Lalu ada Sain yang sudah lebih dulu terjebak di dunia cermin, satu-satunya yang bisa Awan percayai walaupun sifatnya benar-benar buruk. Lalu ada pertukaran darah malah membuat keadaan semakin rumit. Bisakah mereka keluar dari dunia di dalam cermin? Dan menghindari orang-orang di dalam cermin untuk keluar ke dunia nyata?

White_Black033 · Fantasy
Not enough ratings
192 Chs

Bertemu

Selamat Membaca.

Langit duduk pada kursi di teras, menunggu dan berharap. Matanya mengamati perkarangan rumah, tidak banyak hal yang berubah sejak dia meninggalkannya beberapa tahun ini. Hanya cat pagar yang sedikit berkelupas dan hilangnya bunga-bunga kesayangan ibunya. Langit tersenyum kecut ketika dia mengingatnya. Hari-hari yang mereka lewati dahulu, bagai sebuah mimpi yang terasa nyata namun ternyata adalah bagian halusinasi.

Bagaimana hidup Awan dan Langit di permainkan karena hal yang dia anggap sepele. Dan detik-detik saat itu semuanya berubah, kebahagiaan direnggut dari dirinya. Hari berlalu dengan hidupnya yang kelabu, dan di tekan untuk menciptakan warna-warna yang Langit tahu dia tidak mampu.

Lalu jarak mempertemukan kembali, menarik harapan Langit yang dia kira telah sirna. Tapi sekali lagi semesta mempermainkannya. Awan melupakannya, seperti hari-hari bahagia mereka tidak pernah terjadi. Dan Langit hanya orang asing bagi Awan.

Langit menghela napas dan mengusap wajahnya, dia mendongak mengetahui hari mulai beranjak gelap. Jantung Langit mulai berdetak cepat saat deru mobil datang mendekat dan berhenti di depan pagar besi, seseorang yang telah lama Langit tidak lihat keluar dari mobil berjalan membuka gerbang. Namun aktivitasnya terhenti saat dia melihat ke arah Langit yang tanpa sadar berdiri tegak, kakinya seolah terpaku di lantai tak bisa lari dari sana. Mereka sama-sama membeku.

Pria akhir tiga puluhan itu menatap tak percaya dengan iris hitamnya pada Langit. Langit meneliti beberapa perubahan dari pria itu dalam diamnya. Kemeja lusuh dengan banyak lipatan di sana-sini menempel pas di tubuhnya. Rambutnya yang acak membingkai wajah pucat yang di tumbuhi bangkit berpasir, kantong mata dengan noda hitam di bawah matanya terlihat jelas dari tempat Langit berdiri. Rahangnya yang kokoh turun tercipta karena keterkejutannya, dan Langit pun terkejut dengan perubahan kecil ini.

Mereka berdua bergeming menatap dengan pikiran masing-masing. Apakah Langit datang ke sini adalah sebuah kesalahan? Langit hanya diam, ia tidak tahu harus melakukan apa. Langit sebenarnya merindukan orang ini, bagaimanapun dia memperlakukan Langit dan kakaknya. Langit menutup matanya perlahan bersiap untuk menerima amarah.

Kecanggungan mereka pecah dengan tiba-tiba saat Langit merasakan rasa hangat membungkus tubuhnya. Tangis Langit tumpah seketika itu juga, jika boleh jujur Langit sebenarnya yakin bahwa orang ini tidak benar-benar membenci mereka pasti ada sesuatu hal lain yang terjadi yang Langit tidak ketahui. Langit hanya membenci keadaan yang membuatnya menyalahkan ayahnya. "Ayah?"

"Sudah lama nggak bertemu. Ayah sangat merindukan, Langit." Ayahnya, Raihan. Melepas pelukannya dan menatap Langit dengan mata yang berkaca. Langit ingin menjawab bahwa dia juga merindukan ayahnya, namun bukan itu tujuan dia kemari.

"Ayah Kakak mana?" tanya Langit. Sejak tadi dia terus berharap bahwa Awan bersama Raihan.

"Awan seharusnya sudah pulang dari tadi. Mungkin dia di dalam. Ayok Langit masuk." Raihan meraih bahu Langit untuk menuntunya masuk, namun segera di tepis dengan Langit dengan pelan.

"Ayah tahu kan kalau Kakak nggak ingat Aku. Dia lupa Aku."

Sudut bibir Raihan turun ketika dia baru menyadarinya. "Benar."

"Ayah coba lihat di dalam rumah, apa Kakak udah pulang. Cepet yah!" Langit berdiri tidak sabar, Langit akan menjadi lega ketika dia melihat kakaknya baik-baik saja. "Sejak pagi Kakak menghilang di sekolah."

Mata Raihan melebar tercengang. "Apa? Di sekolah? Kalian satu sekolah?"

Langit tak mengerti dengan pertanyaan ayahnya. Bukannya ayahnya seharusnya sudah tahu, atau ayahnya akan memarahi Langit? "Iya."

Wajah Raihan mengeras, dia sepertinya menahan amarah. "Tapi, Ibumu bilang kamu di luar kota. Ayah sudah mencari kamu kemana-mana."

Pikiran Langit menjadi bercabang dia tidak tahu harus percaya kepada ibunya atau ayahnya. "Ayah nanti saja. Kakak bisa jadi ada di dalam."

Raihan seperti ingin protes tapi dia lanagsung membuka kunci pintu dan mereka bergegas masuk. Seperti dugaan Langit di dalam rumah pun tidak banyak yang berubah, hanya saja foto-foto mereka yang hilang dari dinding bercat putih itu. Hanya ada lukisan-lukisan abstrak yang menempel di dinding.

Raihan dan Langit bergegas ke lantai atas untuk mengecek Awan. Namun ketika mereka membuka pintu kamar Awan tidak ada Awan di sana. Raihan menjadi panik, dia memanggil-manggil Awan ke setiap sudut rumah namun tidak ada jawaban.

Langit menyarankan untuk menelpon Awan yang sebenarnya harus mereka lakukan sejak tadi. Raihan dan Langit menunggu sambungan tersambung, tapi Awan tidak menjawab. Tidak menyerah, Raihan menghubungi Awan kembali kali ini Awan mengangkatnya dan membesarkan suara, Awan bersuara pelan dan tampak lelah membuat Langit dan Raihan mengkhawatikannnya.

Tangan Langit menjadi dingin menunggu setiap detik mendengar dengung suara Awan di ujung sana.

"Hallo, Ayah. Kenapa telpon. Aku kan di rumah." Raihan dan Langit tercengang mendengarnya, jelas mereka baru saja berkeliling ke penjuru rumah mencari Awan namun hasilnya nihil. Awan tidak berada di mana pun.

"Dimana? Tadi Ayah cari Awan nggak ada." tanya ayahnya tak sabar. Menatap bolak-balik antara Langit dan ponselnya.

"Ayah coba ke atas, Aku sejak satu jam yang lalu di kamar." Raihan dan Langit berjalan cepat ke kamar Awan namun dia tidak menemukan Awan di sana. Hanya kamar kosong dengan jendela yang tertutup rapat.

Tangan Langit mulai dingin , lalu

Ayahnya kembali berbicara. "Awan jangan main-main sekarang. Ayah udah di kamar, kamu nggak ada."

Terdengar bunyi grasak-grusuk di telpon. "Ayah Aku beneran, Aku di kamar. Tadi kita habis makan malam yah."

Raihan dan Langit terdiam mencerna setiap perkataan Awan yang tidak masuk akal. "Awan Ayah baru pulang. Ayah ada di dalam kamar kamu yang kosong."

Awan terdengar panik di ujung sana. "Aku di kamar Yah, nggak ada Ayah di kamar."

Mereka diam cukup lama, lalu Awan kembali berbicara dengan berbisik, "Ayah ada di luar kamar Aku?"

Sambil menelpon, Raihan memfoto kamar Awan yang kosong dengan tanggal di keterangan fotonya dan mengirimkannya kepada Awan.

Awan semakin panik membuat Langit frustasi tidak dapat membantu dengan semua kejanggalan yang terjadi, membuat Langit merasa semakin tidak berguna. "Ayah? Ayah Aku di mana? Ayah Aku di mana?"

Raihan juga menjadi panik dia mondar-mandir di kamar Awan karena tidak bisa melakukan apapun. Bagaimana mungkin satu orang berada di tempat yang berbeda "Awan tenang. Jangan tutup telponnya Ayah di sini."

Awan kembali berbisik sangat pelan di telpon, kecemasan Awan merambat ke arah Raihan dan Langit menciptakan rasa sesak di dada Langit. "Ayah masuk ke kamarku, tapi kenapa Ayah nggak pegang ponsel."

"Ayah Aku di mana? Siapa mereka?" Seketika sambungan terputus.

"Apa yang barusan terjadi, Ayah?" Langit mengguncang lengan ayahnya meminta jawaban, walaupun dia sendiri tahu ayahnya sama-sama tidak mengetahui.

Raihan hanya diam. Tidak menanggapi perkataan Langit.

"Ayah, Kakak di mana?" tanya Langit sekali lagi.

"Ini tidak masuk akal."

Bersambung...