webnovel

Prolog

Mereka adalah sebuah keluarga bahagia yang dulunya hidup dengan tenteram. Meski tak begitu berpunya, tetapi mereka tetap bisa menikmati hidup dengan suka cita. Akan tetapi, itu dulu, sebelum Yita—anak sulung keluarga ini—tidak berhasil lulus untuk masuk ke perguruan tinggi negeri yang diidamkan.

"Pokoknya, Yita harus terus sekolah, Bun." Teja berujar kepada Anindya—istrinya. "Ayah tidak ingin melihat Yita menganggur, dia harus lanjut sekolahnya."

"Tapi, kita tidak punya uang untuk memasukkan Yita ke universitas swasta itu, Yah."

Anindya mengungkapkan hal yang seharusnya disadari oleh Teja sejak awal.

"Ayah akan cari pinjaman. Besok Ayah akan ke bank."

"Tapi, Yah …."

Ucapan Anindya mengambang di udara karena mendengar pintu kamar yang terbuka. Kedua pasang mata itu menatap Yita yang sudah berdiri di ambang pintu.

"Yita sudah memutuskan untuk menganggur saja tahun ini, Yah, Bun."

"Tidak bisa begitu, Yita. Ayah akan mengusahakannya. Kamu tenang saja."

Teja tetap bersikeras. Hingga beberapa hari kemudian, pria yang hanya berprofesi sebagai seorang sopir angkot, membawa uang yang dibutuhkan oleh Yita untuk mendaftar di perguruan tinggi swasta di dekat kediaman mereka.

"Ayah, Yita masih bisa mencoba mendaftar tahun depan." Yita menolak. Ia tak ingin membuat repot orang tuanya dengan keharusan yang tak perlu dipaksakan saat ini juga.

"Ayah sudah mendapatkan uangnya, kamu tidak boleh mengatakan tidak."

"Tapi darimana Ayah mendapatkannya?"

"Itu bukan urusan kamu, Yita. Ini adalah tugas Ayah sebagai orang tuamu."

Yita tak dapat berkata banyak. Ia pun akhirnya mendaftarkan diri di perguruan tinggi tersebut, tepat satu hari sebelum pendaftaran ditutup.

Teja tak ingin mendengar orang-orang berkata buruk terhadap anaknya. Sebisa mungkin ia akan mengupayakan uang untuk terus membiayai Yita hingga tamat, lalu mendapatkan pekerjaan bagus. Sebagai seorang Ayah, Teja punya mimpi besar terhadap kesuksesan anak-anaknya, terutama Yita. Sehingga tak perlu ada lagi yang berkata seperti ini,

"Sudahlah, kawinkan saja Yita dengan lelaki mapan dan sukses, dijamin hidup Yita akan menjadi enak."

Sekali-kali tidak, harga diri Teja seakan telah terinjak mendengar perkataan tersebut. Ia memang hanya seorang sopir angkot, tetapi ia akan membuktikan kepada semua, jika anak-anaknya pasti akan menjadi orang yang sukses, sehingga tidak perlu menikah dengan pria mapan di usia belia seperti sekarang.

*

Tahun pertama kuliah, berjalan dengan normal. Yita masih beradaptasi dengan jurusan yang ia pilih. Banyak kendala, tentu saja. Seharusnya Yita tidak memilih jurusan Sistem Informasi yang berbasis komputer dan teknologi. Padahal ia berbakat di jurusan lain, semisal Psikologi. Yita pandai memahami persoalan orang lain, lalu memberikan saran. Sayangnya, hal itu hanya berlaku untuk orang lain, tetapi tidak bagi orang tuanya sendiri.

Belakangan Yita mulai bisa merasakan kekhawatiran dari gelagat Ayah dan bundanya. Kondisi keuangan keluarga mereka mulai morat-marit. Meski Anindya pun membuka usaha dagang kecil-kecilan di rumah, tetapi tidak dapat menutupi angsuran bulanan kepada rentenir yang selalu datang menagih.

Yita mulai bisa memahami, bahwa keadaan keluarganya saat ini sedang tidak baik-baik saja. Sesuatu yang disembunyikan oleh Teja satu tahun lalu, akhirnya dapat diketahui juga oleh Yita, bahwa uang yang digunakan untuk mendaftar kuliah waktu itu adalah bersumber dari pinjaman yang diberikan seorang rentenir, bernama; Yohan.

"Seharusnya, Ayah tidak perlu meminjam uang segala kepada rentenir celaka itu, Dik."

Satu-satunya sahabat yang sudi berteman dengan Yita tanpa memandang status sosial, hanyalah Padika. Pemuda itu bahkan telah menjadi teman curhat Yita sehari-hari.

"Kamu yakin?"

Yita mengangguk. "Aku melihat mereka datang menagih ke rumah. Ayah dan Bunda sampai menciut menghadapi mereka."

"Kau punya rencana?" tanya Dika kemudian.

"Aku ingin bekerja."

"Kau … pekerjaan seperti apa yang ingin kau lakukan?"

"Entahlah, mungkin pelayan cafe atau sejenisnya. Sesuatu yang bisa dikerjakan paruh waktu. Aku ingin membantu Ayah dan Bunda."

"Aku akan mencoba mencarikan cafe yang baik untukmu."

"Terima kasih, Dika." Yita tersenyum sembari menggenggam jemari sahabatnya itu dengan erat.

*

Selang satu bulan kemudian, berita duka mampir ke keluarga itu. Yita mendapati rumahnya sudah banyak dikunjungi oleh para pelayat. Ia tak pernah menyangka ayahnya akan pergi secepat ini. Mereka bilang, Teja meninggal mendadak saat menunggu angkotnya terisi penuh di terminal.

Akan tetapi, Yita tidak mau percaya begitu saja. Ayahnya tidak mungkin meninggal mendadak atau terserang penyakit jantung seperti yang mereka katakan. Teja selama ini sehat, Anindya selalu menjaga keluarganya dengan makanan baik meski sederhana sekali pun.

"Ayah … jangan tinggalkan Yita!"

Jemari gadis itu meremas tanah kuburan yang masih merah. Ia tak bisa kehilangan tonggak kokoh penopang hidupnya, seperti ini. Yita meraung hingga tubuhnya ditarik oleh Padika ke dalam dekapan. Semua pelayat sudah pulang, termasuk Anindya dan Ina—adik Yita yang masih berusia sepuluh tahun.

"Aku tidak akan membiarkan siapa pun yang telah membunuh ayahku, bebas begitu saja!" Suara Yita nyaris tertahan karena wajahnya terbenam di dada Dika.

"Iya, Yit. Kita akan mencari tahunya bersama."

***Next>>>

Next chapter