15 Perasaan Tidak Nyaman

Sudah dua hari Dika tidak menemui Yita. Hari ini akhirnya ia pun mengunjungi sahabatnya itu di rumah Bu Neni. Sore yang terasa begitu hangat, setelah sang surya menyinari bumi dengan teriknya.

Yita sudah duduk bersebelahan dengan Dika di teras rumah. Sementara Bu Neni berada di dalam, sedang beristirahat, begitu pula dengan Ina.

"Kamu ke mana aja, Ka?" Ada rasa rindu ketika tak bertemu sehari saja dengan pemuda yang selalu ada untuk Yita itu.

"Ada beberapa hal yang harus kuurus." Dika menjawab sembari melempar senyum ke arah gadisnya. "Kamu terlihat sedikit kurus," tambahnya setelah mengamati wajah Yita selama beberapa saat.

"Aku tidak bisa tidur nyenyak sejak berada di sini, Ka. Rasanya seperti dibayangi-bayangi sesuatu," ungkap gadis itu mengakui. Jika berbicara dengan Dika, hampir tak ada yang disembunyikannya. Sebegitu percaya kepada pemuda yang satu itu.

"Apa yang kamu pikirkan?"

"Banyak. Rumahku, Bunda, Ina, rentenir itu. Aku merasa beban hidup yang diberikan kepadaku teramat sangat berat, Ka." Yita menatap Dika dengan perasaannya yang hancur. Ingin sekali menghambur ke dalam dekapan pemuda itu, tetapi ia masih punya rasa segan.

"Kamu percaya saja akan hal ini, bahwa segala kesulitan akan bisa terlewati, apabila kita sabar menghadapinya." Kata-kata itu memang sungguh sangat bijak. Namun, belum terlalu mampu untuk membuat Yita merasa tenang, setenang-tenangnya. Dika lalu mengulurkan tangan dalam keadaan menengadah. "Kemarikan tanganmu," pintanya.

"Untuk?" Yita bertanya sembari meletakkan tangannya di dalam genggaman hangat Dika. Jemari saling mengisi sela masing-masing.

"APa yang kamu rasakan?" tanya Dika, membuat dada Yita merasakan gelenyar berbeda.

"Aku …." Wajah gadis itu sampai menghangat hingga tak mampu untuk mengatakan apa pun jua.

"Ingatlah akan satu hal ini. Aku selalu ada di sisimu, untuk menggengam tanganmu dan takkan pernah melepaskannya. Jangan pernah merasa sendirian, Yita. Apa pun yang kamu butuhkan katakan kepadaku. Kita akan mengupayakannya bersama-sama." Padika berbicara dengan begitu meyakinkan. Meski dirinya juga tidak tahu apa yang akan dilakukan untuk membantu Yita saat ini. Hubungan yang kurang harmonis dengan kedua orang tua membuatnya merasa tidak begitu dapat diandalkan.

Yita menggeleng. "Kamu sudah ada di sisiku saja, sudah cukup membuatku tenang, Ka."

Beberapa lama mereka hanya saling diam, sambil terus saling berpegangan tangan. Hingga tak lama, Pak Danu pun datang dan berdehem beberapa kali. Yita dan Dika buru-buru melepaskan tangan yang tadinya saling berpagut.

"Ada apa ini? Sore-sore sudah berpegangan tangan tidak jelas seperti ini," sembur Pak RT sambil berlalu.

Dika hanya mengangguk dan meminta maaf sekali, tetapi tak diindahkan oleh Pak Danu. Kemudian tidak lama, terdengar lelaki itu berbicara kepada Bu Neni, mengatakan persoalan yang baru saja ia lihat.

"Sebaiknya pulang dulu saja, Ka." Yita menyarankan dan disetujui oleh Dika.

"Aku akan hubungi kamu, lebih baik kita bertemu dan mengobrol di luar saja," bisik Dika sebelum pulang. Bukan ingin bertindak sebagai pengecut, tetapi Dika justru tak ingin Yita mendapat masalah karena kehadirannya.

"Iya. Mari berbalas pesan. Terima kasih sudah datang."

Yita tak mengantar Dika hingga pagar. Gadis itu langsung masuk ke dalam dan menemui Bu Neni. Meminta maaf dan menjelaskan bahwa yang mereka lakukan tidak lebih dari sekedar saling mengalirkan energi positif saja.

Beruntungnya, Bu Neni paham dengan situasi yang sedang dihadapi oleh Yita, sehingga ia tak mempermasalahkan hal tersebut.

***

Setelah beberapa masa berlalu, akhirnya police line itu pun dilepas juga. Yita tidak sengaja berjalan ke arah rumahnya, baru saja pulang dari mengantar Ina kembali ke sekolah. Gadis itu tak punya pilihan selain mengembalikan Ina untuk sekolah di tempat biasa, sebab mengurus surat pindah sekolah pun ia masih tak mampu, belum lagi masalah biaya.

Di dekat pagar terlihat beberapa polisi yang masih berdiri. Ada satu orang yang juga sangat dikenal oleh Yita; Bagas. Polisi tampan dan baik hati itu menoleh ke arahnya.

"Yita." Satu tangannya terangkat untuk mendekati gadis yang saat ini mengikat rambut panjang dan indahnya ke belakang. Sementara poni dibiarkan menutupi dahi.

"Rumahmu sudah bisa ditinggali lagi. Kami telah selesai melakukan penyelidikan." Dengan senyum yang sangat manis, Bagas memberitahu.

"Apa yang didapat dari rumah ini, Kak? Kenapa sangat lama sekali diberi garis berwarna kuning itu?" Manik mata Yita menangkap gulungan police line yang beberapa lama membuatnya tak bisa pulang ke rumah.

Bagas tak menjawab. Ia hanya tersenyum lalu menepuk pundak Yita pelan. "Kalau ada apa-apa denganmu, segera beritahu Kak Bagas, ya. Boleh disimpan nomornya." Polisi tampan itu malah menawarkan diri untuk saling bertukar nomor.

Semula Yita merasa tidak memerlukannya. Namun, ingat bahwa Yohanes, si Rentenir jahat itu pasti akan mengintai mereka lagi. Akhinya, gadis itu pun menyimpan deretan angka yang akan menghubungkannya dengan Bagas.

"Coba kamu kirimkan pesan ke nomor itu, biar Kak Bagas bisa dengan mudah menyimpannya."

Yita pun melakukan hal yang diminta oleh Bagas.

"Kak, kalau seandainya ada apa-apa, Kak Bagas benar akan segera datang membantuku?" Sorot mata Yita berharap sekali, membuat Bagas merasa perlu mengetahui sesuatu yang dirasakan oleh Yita saat ini. Ia kemudian mengajak gadis itu untuk masuk ke dalam mobilnya yang terparkir di depan rumah sang gadis.

Yita tidak menolak. Ia benar-benar membutuhkan bantuan sekali rasanya. Entah kenapa, ada saja hal yang terasa di dalam dada. Seperti sebuah kecemasan.

"Ada apa, Yita?" Bagas mulai bertanya di saat mereka sudah sama-sama berada di dalam kendaraan milik sang polisi.

Gadis itu bingung awalnya untuk mengatakan, tetapi akhirnya ia pun mengucapkannya juga.

"Aku takut sama Yohanes, Kak."

Dahi Bagas mengernyit. "Yohanes … si Rentenir?"

Yita mengangguk. "Dia pasti akan datang kalau tahu kami sudah kembali tinggal di rumah ini."

"Kalau begitu, jangan dulu. Tidak mengapa jika kamu dan Ina tinggal lebih lama di rumah Tante Neni. Nanti Kak Bagas yang akan mengatakannya."

Gadis itu menggeleng. Bu Neni memang tidak akan keberatan, tetapi dirinya yang sudah merasa tidak nyaman. Terlebih ketika sikap Pak Danu sudah mulai berubah setelah melihatnya dan Dika saling berpagut tangan di depan rumah miliknya.

"Aku juga tidak mau terlalu merepotkan Bu Neni. Tak apa, aku dan Ina tinggal di rumah saja, tetapi kalau ada apa-apa aku akan segera hubungi Kakak." Sungguh, kondisi yang saat ini sedang dialami Yita sangat tidak mengenakkan sekali.

Gadis itu memang sangat ingin sekali kembali tinggal di rumah, tetapi bila ingat Yohanes, ia menjadi ketakutan sendiri. Selain itu, sosok rentenir jahat tersebut juga telah mengusiknya sejak kematian sang ayah beberapa bulan lalu. Yita takut, Yohan pasti menginginkan sesuatu darinya, melebihi surat rumah yang masih dipertahankan itu.

***Next>>>

avataravatar
Next chapter