webnovel

Pulang Kampung

Hari Sabtu pukul empat sore Ely sudah sampai di flat. Sengaja pulang cepat, karena akan ada rencana lain setelahnya. Keynan sudah berada di rumah saat gadis itu tiba. Sepertinya seharian ini tidak melihatnya di tempat kerja. Entah dia yang ada kerjaan di luar, atau memang tidak ada kerjaan.

"Gue mau pergi sebentar!" Ely menyeret koper kecil keluar kamar. Terlihat Keynan tengah bermain games di ruang tengah.

"Ke mana, El?" tanyanya tanpa menoleh.

"Pulang. Besok anniversary pernikahan Ibu sama Bapak, jadi gue mau ngasih kejutan sama mereka."

Kali ini Keynan menoleh menatap Ely. Games yang baru dimainkan dia pause. "Lo mau pulang ke Solo?"

Ely menggeleng.

"Lalu?"

"Kan sekarang mereka tinggal di Bandung!"

"Lah katanya Solo?" Lelaki itu berdiri, kemudian berjalan menghampiri Ely. Satu tangannya merapikan rambut yang jatuh menutupi keningnya.

"Ah, lo gak nyimak. Kan udah dibilang kalau Solo hanya tempat tinggal sementara. Cuma beberapa tahun doang di sana, tapi tetep kembali ke Bandung. Kan rumah kami di Bandung."

"Di komplek yang dulu itu?"

"Bukan. Rumah kami yang di sana udah dijual," jawab Ely. Ponsel yang tadi digenggam segera ia masukan ke dalam tas kecil. "Gue cuma dua hari. Minggu sore udah balik."

"Ikut!" Keynan berlari ke ruangan di sebelah kamar Ely. Hanya selang satu menit dia sudah keluar lagi dengan membawa dompet, ponsel dan ransel kecil.

Ely melihat penampilannya dari atas ke bawah. Lelaki itu hanya memakai celana pendek, juga kaos warna kuning yang biasa ditambah kacamata hitam. Masih tampan seperti biasa, hanya saja Ely tidak yakin dia akan betah jika ikut bersamaku di rumah yang sempit itu.

Dia melangkah santai melewati Ely yang masih diam karena melihat penampilannya. "Ayo!"

"Lo serius mau ikut? Dengan penampilan seperti ini?"

Keynan melihat kakinya, lalu kaos yang dikenakan. "Kenapa emang? Ini meski cuma bentuk kek gini harganya setara dengan skincare lo loh!"

Ely mendengus sebal. "Bukan itu, Jangkrik! Gue juga tahu kalau semua pakaian yang lo beli itu mahal, gak ada apa-apanya dibandingkan dengan yang gue pakai. Tapi, Al, kalau lo pake itu ke kampung, yang ada lo gak bakal nyusahin."

"Kok?"

"Ya jelas! Emang lo gak mikir, kalau orang-orang pasti ngenalin lo?"

Lelaki dua puluh delapan tahun tersebut menggaruk kepalanya. "Gue lupa! Semenjak sama lo, gue berasa jadi orang biasa sih, El."

"Emang sebelumnya apa? Orang-orangan sawah?"

"Ya, kan, gue model, El. Tampan, kaya dan disukai wanita."

"Cih!" Gadis itu memutar mata bosan. Tidak perlu diperjelas kali, semua orang juga tahu. Mereka memang mengidolakan Keynan, bahkan di beberapa sosial media ada kumpulan fans Keynan yang membentuk suatu grup.

Dia kembali masuk ke dalam, kali ini ditambah dengan jaket kulit di bagian luar dan juga masker. Tak lupa topi warna navy dengan merek terkenal dia bawa juga.

Ely membawa uang cash yang lumayan di dalam koper, kalau ada Keynan setidaknya lebih tenang karena jika ada apa-apa di jalan, dia pasti akan menyelamatkannya. Seharusnya begitu, tapi entah nanti di lapangan jika ada kejadian tak diharapkan, apakah Keynan akan melindungi istrinya ini, atau malah kabur lebih dulu.

Mereka meninggalkan Jakarta dengan taksi online yang sudah ia pesan lewat aplikasi. Keynan awalnya memaksa untuk memakai mobilnya saja, tapi Ely rasa itu akan menyulitkan mereka nanti jika terjadi hal-hal yang di luar kendali. Seperti dikejar fans-nya mungkin.

Sejak beberapa saat lalu, ketika Keynan membelanya di depan Jhon, dia terlihat jarang keluar dan bersama dengan lelaki menyebalkan itu. Bahkan beberapa kali memergoki dia yang sengaja mengabaikan panggilan dari pacarnya tersebut. Ah, lumayan, pekerjaan Ely menjadi lebih ringan kalau Jhon tidak mepet Keynan everytime.

"El, lo bawa makanan gak?" Keynan memegang perutnya.

"Roti sih ada, tapi cuma satu." Gadis itu membuka koper kecil itu, lalu mengeluarkan satu kantong plastik berwarna hitam. "Tadi rencana sih buat persediaan gue doang, kan gak tahu kalau lo mau ikut."

Tangan Keynan membuka sedikit koper yang ada di depannya, dan detik itu juga dia menoleh sambil melotot. "Lo gila!" bisiknya.

Ely cuma meringis kemudian menyilangkan telunjuk di depan bibir.

"Udah gak usah bicit!" Ia kembali menutup resleting koper berwarna hitam tersebut.

Keynan mendekatkan wajahnya, lalu berbisik di telinga. "El, lo gak berniat mau mancing perampok, kan? Ngapain lo bawa uang tunai sebanyak itu?"

"Ini tabungan gue selama ini, Al. Yang lainnya juga udah gue transfer langsung ke rekening Ibu. Cuma dua belas juta doang kok."

"Kenapa gak lo masukin ke bank aja? Bawa secukupnya."

"Gak ada waktu. Udah lo diam aja," balas Ely sekaligus mengakhiri percakapan bisik-bisik mereka.

Keynan mengusap wajahnya yang berkeringat. Dia lalu mengambil sebotol air mineral dan meneguk isinya.

Ely kembali mendekatkan wajah ke telinga Keynan. "Kalau ada rampok kan gue punya lo. Gak mungkin kan, lo ninggalin gue dan biarin hasil kerja keras gue selama ini diambil gitu aja sama orang?"

"Gak mungkin sih, tapi akan gue kasih se-elonya nanti kalau perampok itu mau ngambil duit ini."

Ely mencubit pinggang Keynan. Rasain!

Lelaki berkaos kuning itu tertawa menghindari cubitan dari Ely.

Sampai di Bandung sekitar pukul sepuluh malam, itu juga karena Keynan memaksa untuk berhenti dulu di rest area. Padahal Ely sudah tidak sabar untuk bertemu dengan Ibu dan Bapak.

Suasana rumah sudah sepi, wajar, ini sudah tengah malam. Setelah membayar taksi yang mengantar mereka ke kampung, ditambah tip karena perjalanan jadi makin lama, akhirnya Ely bisa duduk di kursi kayu yang sering Bapak pakai ketika menunggu Ibu pulang dari pasar.

"Ini rumah lo?"

Ely memejamkan mata, mengabaikan pertanyaan Keynan. Lagian kalau bukan rumah Ely, ngapain juga tengah malam ke sini. Pertanyaan yang sama sekali tidak membutuhkan jawaban.

"El, orang tua lo masih ngenalin gue gak, ya?" tanyanya lagi.

"Gak bakal! Gue aja yang sering main sama lo gak ngenalin, apa lagi Ibu sama Bapak."

Keynan menghela napas. "Padahal gue pengen peluk mereka kalau seandainya mereka masih kenal gue."

"Peluk aja gak apa-apa. Ibu gak bakal nolak kok dipeluk sama orang ganteng."

"Eh, apa?" Keynan mendekat, dia duduk di sebelah Ely. "Tadi bilang apa?"

Ely mencoba mengingat, kemudian memalingkan wajah ke samping. "Gak ada siaran ulang!"

"Lo ngakuin kalau gue ganteng, kan? Akhirnya! Setelah sekian lama."

"Diem!"

Ely menyandarkan tubuh ke belakang, saat itu, terdengar suara langkah kaki yang semakin mendekat. Telinga semakin dibuka lebar, mendengarkan langkah kaki sedikit di seret dan sesekali menginjak daun kering. Jantung rasanya sudah tidak karuan, berdoa dalam hati semoga bukan setan yang datang.

"Loh!" Suara seorang wanita terdengar.

Mata memicing, melihat ke arah suara itu. Pencahayaan dari bohlam lima watt menyulitkan Ely untuk menebak siapa orang tersebut.

"Kunaon tos wengi aya di dieu? Aya naon?"

Ibu. Iya itu suara Ibu. Dengan segera, Ely berdiri dari kursi dan mendekat ke arah orang yang berdiri di depan teras. "Ibu!" Ia memeluk erat tubuh wanita yang melahirkannya tersebut.

Tangannya menepuk punggung dan mengelus kepala Ely. "Teteh, aya naon?"

"Ibu tos timana? Muhun, abdi sono ka Ibu." Ely mengamit lengannya dan kami naik ke teras bersama-sama.

"Dari pengajian di mushola RT sebelah. Iyeu saha? Mangga kalebet." Pintu dibukanya, ternyata tidak ada orang di dalam. Entah di mana Bapak dan adik-adik.

"Iyeu Alfa, Bu. Emut henteu?" Ely meletakkan oleh-oleh yang kemarin sempat kubeli ketika di Jakarta.

"Alfa anu kapungkur tatanggi urang tea? Meni kasép?"

Ely tertawa.

Keynan menggaruk kepalanya bingung. "Saya gak tahu artinya."