webnovel

Kenyataan

Seorang remaja, tampak sedang menuruni tangga dengan tergesa gesa.  Bibir itu ia majukan beberapa senti pertanda sedang kesal.

Sembari menghentak hentakkan kaki, ia berjalan ke sofa. Dimana, terdapat seorang wanita berkepala tiga sedang duduk menikmati film horor.

"Eh, Deva.. Sini sayang duduk," ucap wanita itu saat tak sengaja melihat kedatangan Deva.

Remaja yang di panggil Deva itu langsung mendudukkan dirinya di sofa, samping wanita itu.

Ada hal aneh dari Deva hari ini. Ia hanya diam berfokus pada tayangan televisi tanpa banyak protes. Padahal, anak itu akan sangat cerewet jika menonton film horor begini. Nisa kan jadi khawatir takut anak itu kenapa napa.

"Deva kenapa nak?" tanya Nisa memfokuskan dirinya pada remaja itu.

"Rendi, di-"

"Dia kenapa? Kamu di apain sama Rendi, bilang sama tante," potong Nisa dengan cepat.

Deva menghela nafas panjang. Tantenya itu memang sangat over protective padanya, lebih sayang dia dari pada Rendi yang notabenya anak tante Nisa sendiri. Tapi Deva senang kok, itu tandanya banyak orang yang menyayanginya. Dan ia harap tak akan ada yang berubah.

"Rendi masa tidur tante, padahal kan Deva mau main."

Nisa mengangguk paham, ia sudah tahu penyebab anak itu sedari tadi hanya diam.

"Yaudah main sama tante aja," ujar Nisa, hal itu membuat Deva langsung tersenyum senang. Senyum manis sama persis ibunya.

"Yaudah ayo tan," ajak Deva dengan penuh semangat.

Nisa pasrah, mereka berdua akan naik ke kamar Deva namun langkahnya terhenti saat melihat jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Suaminya akan segera sampai. Dirinya juga harus memasak untuk makan malam.

"Kenapa tan? Kok berhenti?" Heran Deva menatap Nisa.

"Deva, mainnya di tunda dulu ya. Soalnya ini udah sore, bentar lagi om Gilang pulang. Dan tante belum masak, gak papakan sayang," kata Nisa tak enak. Ia takut membuat Deva kembali sedih.

"Tapi kan ada maid dan koki tante. Kenapa harus tante yang masak."

"Kamu kan tau sendiri, papa mu itu gimana. Mana mungkin Deva di biarkan makan kecuali masakan tante," jawab Nisa dengan sedikit kesal.

Deva mengangguk membenarkan ucapan Nisa. Entah apa maksud papanya, padahal kan sama saja baik bibi atau pun tante Nisa yang memasak. Semuanya aman, sehat dan tentu saja sangat enak. Meskipun selama hidupnya ia hanya pernah memakan masakan dari mama dan tantenya saja.

"Yaudah tan, Vero main sendiri saja."

"Tante janji setelah makan malam, tante temani Deva main tapi jam 10 harus tidur ya."

Deva mengangguk dan membiarkan Nisa pergi ke dapur. Melaksanakan tugasnya sebagai ibu rumah tangga.

Dengan langkah malas, Deva menaiki kamarnya. Dia bosan di kamar sendiri. Sedangkan Rendi dia tengah mengarungi alam mimpi yang indah dari realita.

"Ngapain ya?" gumamnya.

"Kok tiba tiba kangen papa mama sih."

Orang tua Deva sedang berada di prancis karena kakek dan neneknya dari pihak ayah yang menyuruh mereka datang dan beberapa hari ini, ia di temani oleh Nisa dan keluarganya. Nisa sahabat dekat Ara, mamanya Deva.

"Ngapain ya? Bosan!" ucapnya, sambil memejamkan matanya berpikir.

Sampai akhirnya satu ide muncul di otak cerdasnya. Dengan langkah cepat, ia berjalan ke kamar yang tak jauh dari kamarnya. Ia membukanya perlahan, tapi sebelum masuk ia harus memastikan tak ada seorang pun yang melihatnya.

Deva duduk di atas kasur sambil berpikir dimana ia harus mencari kebenaran atas apa yang di ucapkan oleh salah seorang temannya.

Di sekolah tadi, seorang siswa yang memang sering kali mengganggunya. Siswa itu dengan seenaknya mengatakan jika ia bukanlah anak kandung Vero dan Ara, dengan alasan wajahnya tidak mirip dan Deva yang tak pantas mendapatkan semua kemewahan itu. Dan apa yang ucapkan olehnya semakin membuat Deva emosi. Karena terlalu marah, Deva tak sengaja meninju wajah siswa itu hingga jatuh ke lantai.

Bukankah wajar jika wajah mereka bisa saja tak mirip. Apakah karena hanya perihal wajah, siswa itu berpikir dirinya bukan anak kandung.

Itu bukanlah bukti yang cukup kuat untuk membuktikannya.

Dan karena itulah, Deva ingin membuktikannya, setidaknya ada hal yang akan membuktikan ia anak kandung atau bukan. Dan apa pun hasilnya Rayhan akan menerimanya.

Deva mulai mencari di laci, lemari. Semua yang kiranya tidak terkunci. Namun sayang, sampai 30 menit, ia belum bisa menemukannya.

"Apa mungkin bukan di kamar ini?"

Deva kemudian pergi ke ruang kerja Vero. Ini pertama kalinya ia datang tanpa pemiliknya. Biasnya, ia memang malas ke ruangan seperti ini.

Deva mencari di atas meja, yang terdapat banyak sekali kertas yang Deva tak mengerti apa itu. Namun nihil, Deva tak menemukan apa pun terkait dirinya.

Sambil mencari, tak sengaja lengannya menyenggol tumpukan kertas hingga jatuh ke lantai. Ia langsung saja memungut kertas kertas itu dan berharap papanya tak menyadarinya.

Di tengah kegiatannya memungut kertas yang berserakan, tak sengaja atensi remaja itu melihat sebuah kotak yang terletak di kolong meja kerja ayahnya.

Deva mengernyit bingung.

"Mengapa ada kotak di sini?... Aneh."

Karena penasaran, Deva meraihnya, hanya ingin memastikan apa isi kotak itu hingga berada di ruang kerja Vero.

Kotak persegi yang mirip sebuah peti, namun permukaannya yang lebar. Bentuknya unik dan itu membuat Deva semakin ingin membukanya.

"Kayaknya aku pernah liat ini deh?" gumamnya sambil memperhatikan kotak itu.

Deva bersyukur karena kotaknya tak di kunci. Dia membukanya dan menemukan sebuah surat yang sepertinya dari dokter.

Deva membacanya dengan teliti dan sangat serius.

Deg!

Jantungnya seakan copot saat di dalam surat itu di katakan bahwa Ara, ibunya ternyata tak bisa memiliki anak atau dengan kata lain, ia mandul.

Deva menjatuhkan tubuhnya ke lantai. Hatinya menjadi sangat sakit, ketika tahu kenyataannya.

"Mama gak bisa punya anak. Lalu aku?...Kiara?... Kami anak siapa?!" ucapnya sambil terisak.

Bagaimana bisa dirinya lahir jika ibunya tidak akan bisa memiliki anak. Apa sebenernya? Fakta apa yang baru saja ia ketahui.

Deva menghapus air matanya dengan kasar lalu meraih kembali kotak itu. Ia mengambil sebuah handuk kecil yang sepertinya itu adalah miliknya ketika bayi. Deva ragu, apa ia harus mengambil surat itu atau tidak, ia sangat takut jika itu kembali membuat hatinya sakit.

Tapi rasa penasarannya semakin besar. Ia harus mengetahui semuanya.

Dengan tangan bergetar, ia membaca surat itu.

Kembali, rasa sakit ia rasakan bahkan ini dua kali lipat sakitnya dari yang tadi. Mengapa takdirnya begitu kejam mengetahui fakta dirinya yang sebenarnya.

'Siapa pun yang menemukannya tolong rawat anak ini. Tapi, jika kalian tak bersedia bisa kalian buang atau bunuh saja anak tak berguna ini. Kelahirannya hanya membawa petaka untukku, pacarku tak ingin bertanggung jawab dan berselingkuh dengan wanita lain, aku di usir oleh orang tua ku. Hidupku menderita atas kelahirannya yang tak pernah di harapkan. Ku harap ia segera mati."

Jantungnya seakan berhenti berdetak saat itu juga, membaca kalimat yang di tulis dalam surat itu, membuat air mata Deva semakin deras, ia terisak dengan bergetar membaca tulisan ibu kandungnya.

Deva memegang dadanya yang begitu sakit, apa kesalahannya?! Hidupnya saja tak di inginkan oleh orang tua kandungnya.

"Ja..di aku hanya anak pungut.. Hiks.. Anak yang tak seharusnya melihat dunia.. Tapi mengapa aku harus lahir jika semaunya seperti ini."

"Mengapa takdir ku, sekejam ini, mengapa dunia mempermainkan ku.. Di saat aku merasa menjadi anak yang paling bahagia justru di situlah letak kesalahanku.. Fakta yang sebenarnya membuat ku merasa menjadi anak paling tidak beruntung, yang menjadi beban untuk semua orang," Deva meraung pilu.

"Kenapa kalian tidak pernah mengatakan jika aku bukan anak kandung kalian ma..pa. Aku tidak pantas ada disini hiks.. hiks.. Mengapa kalian harus menolongku, aku hanya anak haram yang tercipta dari kesalahan.. Hiks.. Maafkan Deva yang selama ini nakal, gak nurut sama mama, papa. Jika Deva tahu ini dari awal, Deva gak akan pernah nyusahin kalian."

"Deva sayang dan sangat berterima kasih pada papa dan mama. Jika bukan kalian mungkin Deva udah gak ada.. Tapi kenapa Deva nggak bisa terima takdir ini hiks.. Maafin Deva jika egois."

Nisa yang berniat mengajak Deva untuk makan malam, di kejutkan dengan suara isak tangis seseorang. Dan suara itu berasal dari ruang kerja Vero.

Nisa memutuskan mendekat saat melihat ruangan itu pintunya terbuka sedikit. Nisa membatu di tempatnya, saat melihat Deva yang menangis sambil memeluk handuk bayi dan sebuah surat di genggamannya.

Nisa tahu surat itu. Dan yang kini sedang terjadi pada Deva adalah anak itu sudah tahu yang sebenarnya. Rahasia yang mereka jaga selama belasan tahun.

Nisa mendekat langsung membawa Deva ke dalam pelukannya. Ia tak tega melihat anak tak bersalah ini begitu hancur mengetahui siapa dirinya yang sebenarnya.

"Nak tenanglah. Deva, jangan nangis nak, ada tante disini."

"Tan..te hiks." Deva membalas memeluk Nisa dengan begitu erat, yang is butuhkan sekarang adalah penjelasan.

"Jangan nangis ya nak. Deva anak kuat kan," ucap Nisa mengusap pelan punggung Deva, menguatkan.

"Tante kenapa takdir Deva se menyedihkan ini.. Apa salah Deva."

"Deva gak salah, mereka yang salah. Hapus dulu air matanya, kita duduk di sofa baru tante ceritain semuanya."

Anak itu menurut langsung menghapus air mata di pipinya, menyisakan isa kan pilu yang membuat siapa pun yang mendengar akan ikut menangis.

Nisa menuntun Deva duduk di sofa, kali ini ia harus jujur pada anak itu. Deva sudah remaja jadi dia sudah harus tahu semuanya, meskipun ia belum mendapat persetujuan dari Ara dan Vero tapi tak masalah, Nisa lah yang akan menjelaskannya nanti.

"Deva memang bukan anak kandung papa dan mama Deva tapi Deva adalah harta terbesar bagi mereka berdua," ucap Nisa mulai bercerita.

"Kenapa? Deva kan hanya anak pungut," ujar Deva, anak itu sudah lebih mendingan.

"Jadi dulu tuh papa dan mama Deva saling mencintai tapi banyak sekali rintangannya. Saat mereka sudah menikah, orang yang paling menentang pernikahan mereka adalah kakek dan nenek dari pihak papa kamu. Karena mereka merasa mama kamu gak setara dengan keluarganya, dan gak pantas menjadi pendamping Vero."

"Hingga akhirnya, mereka ngasih kesempatan buat mama kamu, yaitu dengan mama kamu harus melahirkan seorang putra sebagai pewaris masa depan. Tapi ternyata mama kamu gak bisa punya anak, dan di situlah mama kamu sangat sedih dan hancur. Berkali kali ia mencoba untuk berpisah dari papa kamu, tapi Vero sama sekali tidak ingin melepas mama kamu.

Hingga akhirnya, saat perjalanan pulang dari rumah sakit. Tak sengaja mereka menemukan kamu, bayi mungil yang menangis meminta pertolongan dari orang orang yang berlalu lalang, tapi seorang pun yang berniat menolong mu. Saat pertama kali melihat mu, Ara dan Vero tak ingin melepas mu, mereka sangat menyayangimu hingga sekarang.

Karena kamu jugalah, mereka tidak jadi berpisah. Ibu kamu tidak pernah sesedih dulu, yang ada hanyalah senyuman yang selalu terukir di wajah cantiknya. Dan tante sangat bersyukur, karena kamu Deva, mengembalikan senyum Ara yang hilang selama beberapa tahun. Makasih sayang."

"Apa itu benar?" tanya Deva yang masih ragu akan kebenaran ucapan Nisa.

"Tante akan menceritakan semuanya dari awal, kamu dengerin baik baik ya nak."

Deva menganggukkan kepalanya, ia kini memfokuskan pada apa yang akan di ceritakan Nisa.

Flashback On.

Di sekolah Victorian indonesian high school. Seorang remaja tampan tengah berlari mengelilingi lapangan, ia terus  berlari meskipun sudah lelah. Itu hukuman untuknya yang telat datang.