webnovel

DEUXIEME AMOUR

Leonard Fidel Christiano, si pemburu berdarah dingin terbiasa mematahkan hati banyak wanita hanya dengan satu kedipan mata. Nyatanya, dikalahkan oleh pemilik siluet abu – abu yang telah berhasil memporak – porandakan Dunia-nya. Pertemuan singkat namun sangat berkesan membuatnya bertekuk lutut. Sialnya, masa kelam Calista memenjarakannya diantara mawar berduri. Menyeretnya memasuki kehidupan penuh pesakitan. Perjalanan cinta yang tak mudah membuat Leonard harus merelakan perusahaannya demi menyelamatkan Calista dari cengkeraman Jozh. Ditengah usahanya, Casandra-mantan kekasih Leonard-datang sebagai pengacau. Casandra punya seribu cara untuk menyingkirkan Calista dari hidupnya. Sanggupkah Leonard menyelamatkan Calista? Sanggupkah Leonard merengkuh kembali cintanya? Sanggupkah Leonard memeluk wanita pujaannya? So, ikuti terus perjalanan cinta Calista dan Leonard yang di warnai dengan derai air mata. HAPPY READING!! Warning 21+

Yezta_Aurora · Urban
Not enough ratings
270 Chs

Bab 03

Pagi ini ketika semua orang sudah berada di ruang makan hanya Calista yang tak terlihat batang hidungnya. Tanpa di suruh Bi Minah langsung melenggang ke kamar Calista.

"Non, sudah waktunya sarapan."

"Saya sarapan di kamar saja Bi. Tolong Bibi bawakan saya kue dan segelas susu." Sahut Calista dari dalam kamar mandi.

Di saat sedang mengantarkan menu sarapan untuk Calista, Dreena pun langsung menghentikan. Dreena ingin mengantarkan langsung pada putri tercinta. Ada banyak hal yang ingin Dreena bicarakan dengan Calista.

"Calista." Panggil Dreena dari ambang pintu.

Merasa tak ada jawaban segera membuka handle pintu namun Calista tak juga ada di dalam kamar. Dreena pun di buat bertanya – tanya, kemana Calista? Tak lama kemudian terdengar sayup - sayup suara isak tangis dari dalam kamar mandi.

Dreena bergegas membuka pintu dan betapa terkejutnya melihat putri tercinta terduduk lemas sedang memegangi kedua sikunya di bawah guyuran air shower. Entah sudah berapa lama di biarkannya dalam posisi seperti itu sampai wajahnya pucat dan bibir yang mulai membiru.

"Calista." Teriak Dreena kemudian langsung mematikan keran shower. Memeluk erat tubuh putri tercinta yang menggigil kedinginan. Dreena langsung menyelimutinya dengan selimut tebal, membimbingnya menuju ranjang.

"Tolong tinggalkan Calista Ma."

"Tapi sayang."

"Ma, please."

Satu hal yang Dreena yakini pasti telah terjadi sesuatu pada putri tercinta. Sebelum melenggang meninggalkan kamar lebih dulu membisikkan sesuatu yang mampu membuat Calista terperenyak.

"Ma." Panggil Calista ketika Dreena beranjak meninggalkan kamar.

"Terima kasih sudah menyayangi hingga menerima Calista kembali ke rumah ini setelah sekian lama Calista pergi," ucapnya dengan suara bergetar. Air mata yang coba di tahannya sedari tadi akhirnya tumpah sudah. Kini tangisnya pecah dalam pelukan ibunya.

"Kenapa tidak pernah kembali ke rumah ini lagi Calista. Apa suami mu yang melarang? Mama, Papa sangat merindukan kepulanganmu terutama kakak mu, Calvino, yang selalu bersikeras menjemputmu ke London akan tetapi Papa selalu melarang dan Mama tak tahu apa alasan Papa mu melakukan itu."

"Jadi kak Calvin sudah-" Tahu semuanya. Apa itu artinya Mama juga tahu semuanya?

"Apa yang ingin kamu katakan sayang? Sudah apa?"

Dreena semakin di buat khawatir ketika Calista memegangi kepalanya dan tak lama kemudian hilang kesadaran. Panik, itulah yang di rasakan Dreena sehingga langsung memanggil suaminya.

Calista langsung di larikan ke rumah sakit dan saat ini sedang dalam penanganan dokter. Sementara Dreena dan juga Bramantara menunggu di luar ruang perawatan. Calvino yang baru saja mendapat kabar bahwa Calista masuk rumah sakit segera membatalkan meeting. Melajukan mobil dengan kecepatan tinggi tak lagi memedulikan keselamatan diri sendiri.

"Bagaimana keadaan Calista Ma?"

"Masih di tangai dokter."

Calvino sama sekali tak bisa tenang, terus sama berjalan mondar – mandir sambil menopang dagu. Setelah pintu terbuka segera berlari menghampiri dokter menanyakan keadaan Calista. Dokter segera menjelaskan bahwa Calista harus banyak istirahat dan di jauhkan dari hal – hal yang bisa membuatnya stress mengingat kandungannya sangat lemah.

"Kandungan? Jadi putri ku hamil?" Lirih Dreena. Ia sangat terkejut mendapati Calista hamil berbeda dengan Bramantara dan juga Calvino yang sudah tahu hal ini sejak awal.

"Apakah kita boleh masuk?" Tanya Calvino dengan tak sabaran.

"Pasien masih harus istirahat total. Hanya satu orang yang boleh masuk."

"Mama saja yang masuk. Tapi ingat Ma jangan menanyakan apapun pada Calista." Nasihat Calvino. Sebagai seorang ibu, Dreena tentu sudah paham bahwa telah terjadi hal buruk pada putri tercinta mengingat sikap Bramantara dan juga Calvino yang tak seperti biasanya.

Dreena pun segera melayangkan tatapan penuh pertanyaan pada Bramantara. Menghujani suaminya dengan tatapan tajam, menuntut penjelasan, segera. Tak ada pilihan lain akhirnya Bramantara menjelaskan tentang kejadian sebenarnya. Semua seperti yang Bramantara perkirakan karena tubuh Dreena langsung limbung setelah mendengar penjelasannya.

Tak ingin terjadi hal buruk pada ibunya, Calvino meminta ayahnya untuk menenangkan ibunya sementara ia masuk ke dalam ruang perawatan Calista. Lenata yang juga ada di sana segera mendekat kemudian memeluk erat Dreena.

"Tante Dreena harus kuat demi Calista."

"Apa kamu juga tahu kejadian ini?" Ucap Dreena dengan bibir bergetar karena bercampur suara isak tangis. Dengan ragu akhirnya Lenata mengangguk.

Setelah di rawat 2 hari akhirnya pihak rumah sakit mengijinkan Calista untuk pulang. Awalnya semua berjalan baik – baik saja sampai akhirnya Jozh datang dan mengguncang emosi Calista. Karena pertengkaran hebat kaki Calista terkilir sehingga jatuh dari tangga.

Calista segera di larikan ke rumah sakit. Sepanjang perjalanan tak henti - hentinya menjerit kesakitan karena kontraksi pada kandungannya. Calvino yang saat itu sedang berada di luar Negeri segera mengatur penerbangan ke Indonesia.

Sesampainya di rumah sakit langsung berlari melewati sepanjang koridor menuju ruang perawatan Calista. Menghampiri ibunya yang sedang duduk di kursi panjang dengan di temani ayahnya.

"Apa yang terjadi Ma? Gimana ceritanya Calista bisa jatuh dari tangga?"

Tak sanggup berkata – kata hanya air mata yang terus mengalir membasahi pipi. Tak lama kemudian tangis Dreena pecah di pelukan putranya. Jemari kokoh Calvino terulur mengusap punggung ibunya dengan penuh rasa sayang. Tatapannya mengunci pada ayahnya menuntut jawaban, segera.

Melihat pintu ruang operasi terbuka Calvino segera berlari menghampiri. Menghujani sang dokter dengan ribuan pertanyaan. Bukannya mendapat penjelasan justru ia diminta segera menemui dokter di ruangannya. Satu hal yang bersarang dalam benak Calvino saat ini, pasti sudah terjadi sesuatu yang buruk pada Calista.

"Semua yang terjadi sudah menjadi kehendak Tuhan, kami seluruh tim dokter sangat menyesal karena tidak bisa menyelamatkan janin Ibu Calista."

Bagaikan tersambar petir di siang bolong itulah yang di rasakan Calvino saat ini. Seketika wajahnya yang tampan di selimuti amarah memuncak. Bramantara dan juga Dreena pun di buat bertanya – tanya akan tetapi mereka memilih bungkam karena tak ingin melihat Calista terguncang.

Menepuk pelan pundak ayahnya penuh arti kemudian berjalan mendekati Calista, melayangkan kecupan sayang di sepanjang kening.

"Bagaimana kandunganku? Apa yang dokter katakan?"

Mengulas senyum menenangkan. "Jangan fikirkan hal lain dulu, fokus saja pada kesembuhanmu!"

"Tapi … "

"Sudah lah Calista."

"Tapi aku harus memastikan bahwa kandunganku baik – baik saja."

"Calista, please. Fokus pada kesehatanmu dulu. Jangan fikirkan hal lain."

"Aku tahu pasti ada yang kakak sembunyikan kan?"

Tak kuasa terus di desak oleh Calista, Calvino beralasan harus kembali ke kantor. "Calvin ke kantor dulu ya Pa, Ma." Kemudian mengunci tatapan Calista. "Jangan memikirkan banyak hal. Nanti kakak kesini lagi." Ucapnya sebelum membuka handle pintu. Bramantara pun segera menyusul Calvino karena ia sadar pasti ada yang putranya sembunyikan.

"Calvin, tunggu!" Yang di panggil langung menolehkan wajahnya. Bramantara segera menyeret Calvino menjauh dari sana. Mencecar putranya dengan berbagai pertanyaan membuat Calvino tak dapat lagi mengelak. Semua seperti yang Calvino perkirakan karena ayahnya langsung terguncang setelah mendengar berita tersebut.

"Adik mu harus tahu hal ini."

"Pa, jangan beritahu Calista dulu. Aku yakin mentalnya tak akan kuat menerima kenyataan ini Pa."

"Tapi Vin, kita tak bisa menyembunyikan kenyataan ini dari adik mu."

"Terserah Papa saja." Setelah itu langsung melenggang menuju kantor. Bukan karena tak peduli akan tetapi ia tak bisa melihat kehancuran adik tercinta. Marah, itulah yang Calvino rasakan saat ini.

Berhari – hari di suguhi dengan tetesan airmata membuat kesabaran seorang Calvino Luz Kafeel mengikis. Tak kuasa melihat kehancuran adik tercinta, ingin rasanya melenyapkan Jozh saat ini juga. Berkali – kali Dreena dan juga Bramantara coba meyakinkan putra tercinta supaya jangan bertindak gegabah.

Satu bulan telah berlalu akan tetapi Calista tak pernah bisa menghilangkan rasa trauma dari kejadian mengerikan tersebut. Kehilangan janin tentu saja sangat mengguncang mentalnya sehingga lebih sering menyendiri dan selalu menghindari obrolan dengan keluarga.

Pagi ini Calvino berencana mengajak Calista ke kantor untuk mengikis kesedihan di hati wanita yang sangat di sayanginya itu.

"Kamu harus ikut ke kantor, Calista."

"Untuk apa?"

"Akan lebih baik jika kamu bisa membantuku menyelesaikan pekerjaanku di kantor, Papa Mama ke Dubai untuk urusan bisnis dan aku tak tenang jika harus meninggalkanmu sendirian di rumah."

"Aku sedang tak ingin ke mana pun lagi pula ada Bi Minah."

"Sudah lah jangan banyak alasan cepat ganti bajumu." Sambil mendorong bahu Calista ke kamar.

"Tapi kak … "

"Kakak tidak suka penolakan Calista sayang!" Sambil mendorong Calista masuk.

"Jangan lama – lama!" Seru Calvino dari luar. Sementara menunggu Calista bersiap Calvino memainkan ponsel sedang mengirim pesan pada Lenata. Hubungan keduanya makin dekat semenjak kedatangan Lenata ke rumah.

Mendengar langkah kaki mendekat segera menolehkan wajahnya. Bibir Calvino mengulas senyum puas mendapati adik tercinta mau memoles lagi wajahnya dengan make-up, meskipun hal itu tak dapat menyembunyikan wajahnya dari kesedihan.

"Nah gini dunk. Mana senyumnya?" Sembari mencubit gemas pipi Calista.

"Berjanjilah untuk selalu tersenyum, jangan ada lagi air mata. Kau pantas bahagia sayang." Lalu mengusap lembut puncak kepala kemudian membimbing Calista menuju mobil kesayangan.