webnovel

Ayah yang Diktator

Keesokan harinya, ketika Dio telah rapi dengan seragam serta almamater warna hitam SMA-nya, kedua orang tuanya telah berada di meja makan didampingi oleh Jhon Berry yang berdiri di samping ayah Dio.

"Selamat pagi, Tuan Muda." Sapa Jhon menundukkan kepala sedikit.

"Pagi, Sayang anak ganteng Mama. Sini, sarapan dulu." Mama berdiri dari kursinya dan menarik pelan tangan sang putra yang masih berdiri dekat anak tangga sambil melihat ke arah sang papa, sementara sang Sebastian, sang papa tak bereaksi sama sekali, tetap menikmati sarapan paginya.

"Tambah kopinya, Jhon!" perintah Sebastian.

"Baik, Tuan."

Donna, sang istri melihat suasana yang sangat kaku dan dingin pagi ini. Dia masih kesal dengan tindakan sang suami yang semena-mena memberhentikan Dio untuk pergi ke sekolah dan menggantinya dengan home schooling. Tapi dia tak tega melihat bagaimana hancurnya perasaan Dio jika ia tahu papanya sampai hati memperlakukan dia seperti robot.

"Makan dulu, ya. Mama ambilkan makanan kesukaan kamu, ya Sayang." Donna menyendokkan nasi goreng sosis kesukaan Dio, namun belum selesai ia memenuhi piring Dio, sang suami tiba-tiba bersuara. "Mulai sekarang sekolah kamu di rumah."

Tangan Donna langsung gemetar, Dio sangat terkejut mendengar ucapan sang papa.

"Apa maksud Papa? Sekolah di rumah? Home schooling? Sejak kapan Dio home schooling, Pa?" tanya Dio bagai rentetan kembang api.

"Sejak hari ini. Papa sudah bicara dengan kepala sekolah kamu dan beliau langsung mengizinkan. Memang ya, kalau anak pintar semuanya akan dimudahkan." Tawa sang Papa langsung menggema ke seluruh ruang makan.

Dio mengepalkan tangannya kuat-kuat hingga kedua bola matanya seolah akan keluar. Mama langsung menggenggam tangan sang putra dengan senyum dan telapak tangannya yang hangat. Menggelengkan kepalanya sekilas, Dio mengerti apa maksud gelengan kepala sang mama, tapi dia tetap tak bisa menerima jika sang papa terus-menerus ikut campur akan masa depannya! Masa depan yang telah ia rencanakan sejak awal memasuki dunia SMA, kecintaannya akan dunia musik klasik tak bisa terbendung oleh apa pun dan siapa pun. Mengira sang papa akan mendukung karena telah memberikan fasilitas padanya, ternyata itu hanyalah akal-akalan sang papa agar ia tetap menjadi boneka kesayangan sang papa.

"Kenapa kamu melihat Papa seperti itu, Dio? ga terima? Papa hanya mengikuti 'insting' Papa." Senyum Sebastian sambil mengelap mulutnya dengan napkin.

Dio terdiam, tak ingin debat dengan sang papa, namun hati dan pikirannya tak tenang jika ia tak mendengar sendiri dari mulut papanya.

"Insting Papa yang seperti apa hingga memutuskan secara sepihak pendidikan Dio?" tanya Dio masih dengan kepalan kuat tangannya.

"Hah! Kamu lucu sekali, Dio. Baru kemarin kamu bilang sama Papa ini adalah waktu yang tepat bagi kamu untuk menentukan sikap dan mengambil keputusan. Papa pun juga sama! Akan mengambil sikap dan keputusan ... sesuai keinginan Papa!" ucap Sebastian datar namun tegas.

"Papa nggak berhak menentukan masa depan Dio! Dio punya hak asasi untuk diri Dio sendiri! Kenapa Papa selalu turut campur dalam masa depan Dio!"

"'Dio-" Mama yang melihat Dio tak bisa menahan emosinya, segera memeluk putranya sambil menahan air mata. Tak ingin ayah-anak bertengkar, akhirnya Mama mengambil sikap dan berkata sambil memeluk Dio. "Sudah, Pa! Hentikan semua omong kosong ini! Kenapa Papa selalu saja menjadi orang yang egois? Dio anak kita satu-satunya, harapan keluarga ini. Biarkan dia memilih jalannya. Takdir anak dan orang tua akan berbeda, Pa."

"Mama selalu membela Dio karena Mama mendukungnya, kan? Biarpun kau tak tahu seperti apa jalan yang akan ditempuh oleh Dio nantinya! Aku, kita yang sudah makan asam garam harusnya lebih paham dan memberikan dia arahan yang tepat, bukan malah menjerumuskannya!"

Donna yang tak terima perkataan Sebastian melepas pelukannya dari Dio dan berdiri berhadapan dengan Sebastian.

"Paman Jhon, bawa Dio keluar dari ruang makan! Suruh dia tunggu di ruang tamu keluarga!" perintah Donna.

Sekilas melirik Sebastian, Jhon belum juga beranjak. "Paman Jhon! Kenapa masih berdiri di sana? Apa kau tak dengar apa yang kuperintahkan?" Donna mulai meninggikan suaranya.

"'Bawa Dio, Jhon!"' sahut Sebastian memerintahkan.

"Baik, Tuan Besar."

Dio yang masih kesal, melihat ke arah Sebastian dengan penuh kebencian. Jhon yang telah mengasuh Dio sejak kecil sangat paham jika ia adalah anak yang terlahir dengan hiperakusis, di mana seseorang akan mulai pusing dan emosi bila mendengar suara atau bunyi berisik serta gaduh hingga membuat psikis penderitanya terganggu, dan Dio adalah anak yang memiliki hiperakusis. Karena itulah, Donna segera "mengevakuasi" putranya dari ruang makan.

"Tuan." Jhon memberikan sepasang earphone pada Dio.

"Aku tak mau! Biarkan aku pergi menghirup udara segar sebentar, Paman." Ucap Dio melepas tas ransel dan almamaternya. "Kau juga boleh ikut jika tak percaya!" Dio melirik Jhon yang telah memasang ekspresi was-was.

"Ah, b-baik, Tuan Muda.

***

Di ruangan lain di kediaman Regazka, Donna dan Sebastian saling duduk berhadapan dan berseberangan. Keduanya saling menatap tajam tak bicara selama beberapa menit. Sebastian yang tampak tenang, memutari cangkir kopi keramiknya dengan pelan sambil melirik ke arah sang istri. Sementara Donna, menyilangkan kedua tangannya laksana bos yang tengah menginterogasi anak buahnya.

"Apa yang mau kau bicarakan, Donna? Waktuku tak banyak, sebentar lagi aku harus berangkat."

"Kau memang tak punya perasaan, Sebastian! Bisa-bisanya kau lakukan hal bodoh itu di depan Dio! Apa kau tahu bagaimana kerja kerasnya dia agar bisa diterima oleh teman-temannya? Apa kau tahu rasanya dikucilkan dari pergaulan karena kelebihan yang kau miliki? Apa kau tahu itu, Sebastian?"

"Tidak," sahut Sebastian santai.

Donna makin kesal! Ia hampir menggebrak meja makan, namun ia urungkan dan hanya mengepalkan tangan menahan emosi yang benar-benar mendidih di ubun-ubunnya.

"Kau seorang ayah, tapi kau tak tahu apa pun tentang putramu! Sebenarnya apa yang kau harapkan waktu Dio lahir, hah?! Apa kau beharap memiliki seorang anak laki-laki sama seperti kau memiliki dunia? Itukah yang kau pikirkan?"

"Iya!" sahut Sebastian tanpa ragu.

"SEBASTIAN!"

"DONNA!"

Keduanya sama-sama teriak dan tak ada yang mengalah. Donna yang semakin kesal dan Sebastian yang mulai kehilangan kesabarannya, akhirnya menggebrak meja makan dengan sangat kencang hingga membuat Donna terdiam sesaat.

"Apa karena kau telah melahirkan Dio, jadi kau merasa hebat, hah? Apa karena kau telah mengandungnya, jadi sekarang kau bisa seenaknya menginjakku, hah!" Sebastian mendelikkan matanya.

"Ya! Aku berhak atas semuanya! Perjuanganku, pengorbananku antara hidup dan mati saat melahirkan Dio, jadi semuanya ... ya, aku yang berhak! Sedang kau? Apa hakmu? Ketika kau tahu Dio mengidap hiperkusis, selama dua tahun kau tak pernah mau menimangnya, menggendongnya, melihatnya pun tidak! Tapi setelah kau tahu Dio jenius, kau langsung menyanjungnya, membanggakannya, seolah kaulah yang paling banyak berkorban! Sadar Sebastian ... sadar, kau itu bukan apa-apa jika tanpa Dio! Dio penyelamatmu, Dio yang menjadikanmu seperti sekarang, apa kau lupa itu, hah?" Donna menyeringai hingga membuat Sebastian ingin melayangkan tamparan untuk sang istri.

"Kau telah banyak membuang waktuku Donna! Aku tak tahu apa yang kaubicarakan! Dio menyelamatkanku? Omong kosong macam apa itu? Kau benar-benar udah gila!" Sebastian akhirnya pergi meninggalkan Donna dan menghampiri Dio yang sedang berjalan di taman ditemani Jhon.

"Dio!" panggil Sebastian dengan nada agak

memerintah. Namun Dion hanya diam dan berjalan seperti ia tak mendengar panggilan sang papa, meski sebenarnya ia telah mematikan earphone bluetooth-nya.

"Tuan Dio, Tuan Besar memanggil Anda." Jhon berbisik ke Dio dan dia tahu jika Dio telah mematikan earphone-nya.

"Tch, bocah ini!" Sebastian segera menghampiri Dio, Jhon yang berada di samping Dio segera menarik ujung almamater Dio dan memintanya melepas earphone-nya.

"Kamu ga denger Papa manggil-manggil kamu apa?" tanya Sebastian dengan nada emosi.

"Tuan Besar, maafkan Tuan Muda. Tadi dia-"

"Aku tak bicara denganmu, Jhon! Kembali ke tempatmu!" perintah Sebastian.

Jhon tak bisa menolak keinginan majikannya. Dengan berat hati, lelaki paruh baya itu meninggalkan Dio di tengah kecemasan dan ketakutannya. Donna melihat dari balik tirai ruang tamu, wanita terus memperhatikan sang suami jika nanti dia akan bertindak di luar kendali, Donna segera bisa menanganinya. "Nyonya Besar." Jhon menundukkan kepalanya.

"Menurutmu, apa Sebastian akan bertindak di luar kendali, Paman?" tanya Donna khawatir.

"Saya rasa Tuan Besar tak akan sampai hati menyakiti darah dagingnya sendiri, Nyonya. Bahkan seekor macan terganas pun, tak akan sampai hati mengoyak dan memakan darah dagingnya sendiri. Permisi, Nyonya Besar."

Donna merasa sedikit tenang dengan ucapan Jhon, namun entah kenapa hati kecilnya merasa ada sesuatu yang janggal dari sang putra, tapi ia tak bisa menanyakannya pada Dio secara langsung, karena Dio adalah anak yang pemalu dan sensitif.

"Dio-" lirih Donna.

"Apa yang mau Papa bicarakan?" tanya Dio memalingkan wajahnya.

"Oh, jadi begitu ya, pelajaran moral yang kau dapat di sekolah! Memalingkan wajah ketika orang tuamu sedang bicara, iya!" Sebastian lagi-lagi meninggikan suaranya.

"Jika ada hal yang ingin Papa katakan, katakan saja. Dio tak ingin membuang waktu Papa!" tegasnya.

"Bagus kalau kau paham! Mulai hari ini, kau akan bersekolah di rumah, Papa tak mengizinkan kamu berada di luar rumah, kecuali jika Jhon menemani! Dan mulai detik ini juga, semua komunikasi kamu dan teman-temanmu akan Papa PUTUS! Paham! Dan satu lagi, malam ini teman Papa akan ke rumah, kau harus menyambutnya! Dia akan membawamu ke MIT!" Sebastian membalikkan badannya, bersiap masuk ke dalam rumah sebelum ia mendengar celetukan Dio, "Kenapa Papa tak pindahkan saja rumah ini ke tengah Sungai Hudson dan sekaligus membangun Alcatraz ala Papa? Bukankah itu jauh lebih efisien, Pa dari pada Papa melakukan semua hal yang Papa tadi katakan, kurasa apa yang baru saja kukatakan ada benarnya, bahkan sangat benar," ucap Dio dengan santai. Sementara Donna hanya tersenyum mendengar ucapan putranya.

"Kau ingin Alcatraz? Akan Papa bangunkan untukmu jika itu membuatmu puas, Dio." Sebastian melempar senyum mengembang sambil berlalu masuk ke rumah. "Anak pintar memang luar biasa! Tapi sekalinya menunjukkan kebodohan, itu akan menjadi aib besar baginya!" ujar Sebastian saat melewati Donna yang masih berdiri di ruang tamu.

'Apa menurutmu tembok Alcatraz bisa membendung harapan dan cita-cita seseorang, Sebastian? Kau salah! Semakin tinggi impian, maka akan semakin kencang angin bertiup, tapi di situlah letak kunci keberhasilan sesungguhnya! Seorang nahkoda akan mengikuti instingnya, melalui angin dan gelombang. begitu pula dengan Dio-ku ... dia akan menjadi seseorang yang hebat suatu saat nanti!'