1 Awal Pertemuan

"Edgar, kamu bisa bekerja dulu di tempat Om Dewantara."

"Apa, Pa? Tapi kenapa? Bukannya aku akan jadi pewaris perusahaan kita?"

Evan Mahendra, seorang pria berusia lima puluh tahun itu melepas kacamata yang bertengger di pangkal hidungnya sedari tadi. Dia menghela napas pelan, sembari terus menatap Edgar Sebastian, putra semata wayangnya.

"Perusahaan kita lagi nggak baik, Edgar. Sedang banyak kerugian yang kita alami. Semalam Om Dewantara yang menawarkan sama Papa, kalau kamu harus bekerja di sana untuk beberapa bulan. Karena rencananya, Om Dewantara akan memberi modal kepada perusahaan kita. Dan kami juga akan menjalin kerja sama."

Edgar mengacak rambutnya dan mendengkus. Dia tidak habis pikir, mengapa ayahnya bisa memiliki pemikiran seperti itu. Padahal secara logika, mereka bisa kembali maju tanpa membutuhkan bantuan siapapun. Apalagi sampai harus bekerja di perusahaan lain. Meski Dewantara adalah teman baik Evan, namun bisnis tetaplah bisnis.

"Pa, apa Papa nggak khawatir kalau aku kerja di tempat mereka? Apa Papa nggak takut, kalau nanti Om Dewantara justru berbuat licik sama perusahaan kita?"

Evan hanya tertawa seperti tanpa beban. "Kamu nggak usah takut, Edgar. Papa dan Om Dewantara sudah menyusun rencana, agar bisa menjadi perusahaan industri nomor satu di negeri ini."

Ahh ... Edgar sudah tidak bisa berkata-kata lagi. Dia hanya menuruti apa yang diminta Evan untuk bekerja di perusahaan milik keluarga Dewantara.

Pertemanan Evan dan Dewantara terjalin sejak lima tahun yang lalu. Keduanya sama-sama berasal dari orang biasa yang sukses di waktu yang tepat, di mana anak-anak mereka sudah dewasa dan siap untuk menjadi penerus.

Edgar yang masih belum menerima sepenuhnya segera angkat kaki dari kediamannya yang megah. Lelaki itu ingin menenangkan pikiran, agar tidak memiliki pemikiran negatif kepada sang ayah.

Keputusannya untuk tidak meneruskan sekolah di luar negeri karena ingin meneruskan perusahaan keluarga. Namun, Evan justru memiliki rencana lain, yang di mana Edgar sendiri tidak tahu seperti apa rencana yang akan dimainkan.

"Tolong beri saya wine." Dan di sinilah Edgar berada sekarang.

Tempat hiburan malam yang setiap harinya dipenuhi oleh orang-orang frustasi dan ingin membebaskan pikiran mereka. Dentuman musik yang memekakkan telinga membuat Edgar menoleh pada dance floor yang dipenuhi tubuh manusia yang tengah berlenggak lenggok.

Sebagai seorang pria yang normal, Edgar bersiul pelan, melihat puluhan bokong yang menari. Lelaki itu tersenyum penuh arti sambil menggeleng.

"Lo kenapa sih dugem tiap hari, hah? Lo nggak takut digrepe-grepe sama cowok?"

Kemudian tatapannya fokus pada dua orang gadis yang tengah bertengkar di tengah-tengah dance floor. Kedua mata Edgar menyipit, memperjelas penglihatannya.

"Lau, lo nggak tahu rasanya dugem, kan? Dugem itu bagus buat kesehatan mental lo."

"Lo jangan ngaco, Sarah. Ayo kita balik, lo tidur di apartemen gue aja, ya. Gue khawatir lo bakal digebukin sama nyokap lo."

"Permisi?"

Wanita dengan dress berwarna merah itu mengangkat wajah. Dahinya mengerut dan melangkah mundur, tatkala melihat pria yang tidak dia kenali berdiri di depannya.

"Siapa, ya?" tanya wanita itu, sambil menopang tubuh temannya yang sudah mabuk.

"Maaf, nama saya Edgar. Tadi saya liat, kalau Mbak-nya sedang kesusahan. Apa perlu saya bantu?"

Tidak ada jawaban untuk beberapa saat. Wanita dress merah itu memperhatikan penampilan Edgar dari ujung kaki hingga ujung kepala. Jika dilihat dari penampilan, pria itu tidak terlalu buruk dan tidak terlihat seperti orang jahat. Tapi ....

"Kenapa Mas menawarkan bantuan secara tiba-tiba? Apa Mas punya niat buruk sama kami?"

"Oh, tidak." Edgar menggeleng dengan cepat. "Saya hanya ingin membantu Mbak-nya. Liat, temen Mbak udah nggak sadarkan diri."

Wanita itu sedikit menunduk, memperhatikan wajah temannya yang sudah memerah dengan tubuh yang tak bisa ditegakkan lagi.

Dia meringis pelan. Tubuhnya yang mungil dan kurus mulai kewalahan menopang temannya yang tidak berdaya.

"Jasmin, bangun! Badan lo berat banget, anjir!"

Edgar yang peka langsung menarik wanita mabuk itu ke dalam pelukannya. "Biar saya aja. Kalian bawa mobil?"

Wanita tadi menggeleng. "Saya naik taksi."

"Kalau begitu, kita naik mobil saja aja. Kamu nggak usah khawatir, saya bukan orang jahat. Saya hanya ingin membantu. Mari." Edgar berjalan lebih dulu, sembari menggendong wanita yang sudah tak sadarkan diri tadi dengan gaya ala bridal style. Ini pertama kalinya dia bersikap seperti itu pada wanita yang tidak dikenal.

Tidak tahu mengapa, namun nalurinya merasa bahwa dia harus membantu mereka.

"Mas ... namanya siapa, ya?"

Pria itu sedikit menoleh dan tersenyum. "Nama saya Edgar. Kamu bisa panggil apa aja yang kamu mau."

"Saya Laura," balas wanita di samping Edgar. "Maaf, karena udah nuduh Mas Edgar orang jahat. Dan makasih juga, karena udah nolong kami."

"Tidak apa-apa. Tolong buka pintu belakangnya, Laura."

Laura bergerak cepat memenuhi instruksi Edgar. Dia melihat lelaki itu merebahkan Jasmin di kursi belakang dengan sangat hati-hati.

"Rumah kamu di mana?"

"Di Apartemen Jakarta Residence, Mas."

Edgar mengangguk, dia mempersilakan Laura untuk masuk.

Tidak ada percakapan yang terjadi setelah lima menit perjalanan mereka. Laura yang memang tidak se-terbuka itu terhadap pria, hanya bisa diam sembari memandangi jalanan Kota Jakarta yang masih saja ramai di malam hari.

"Kamu tinggal sendirian?" Hingga pada akhirnya, suara Edgar menginterupsi.

Laura menoleh dan mengangguk samar. "Iya, Mas. Saya tinggal sendiri di sini, karena orang tua saya ada di luar kota," jawabnya. Suara wanita itu terdengar lembut dan enak didengar. Mungkin bisa memikat semua pria yang ada di sekitarnya.

"Oh, gitu. Kamu sering ke bar?"

Kali ini Laura menggeleng. "Kebetulan temen saya lagi ulang tahun," dia menoleh ke belakang, bermaksud menunjukkan temannya pada Edgar. "Dan dia pengin ngerayain ulang tahunnya di bar. Tapi seperti yang kita liat, dia malah mabuk." Wanita itu menghela napas pelan dengan bahu melemas. Pusing sekali memang, mempunyai teman yang suka akan dunia malam.

"Hahaha .... "

Gelak tawa Edgar membuat dahi Laura mengerut bingung. Apa ada yang lucu?

"Namanya juga anak muda, Laura. Apalagi di kota besar seperti ini. Kalau minum-minum atau menikmati dunia malam, itu udah kebiasaan kami. Memangnya kamu sama dia baru temenan?"

"Nggak juga sih, Mas. Saya tahu kalau dia suka minum. Tapi ... kami cuma pergi berdua. Harusnya dia bisa menahan, supaya saya nggak kerepotan."

Seperti itulah asal usulnya. Untung saja Laura tidak terbiasa mabuk atau menari seperti apa yang Jasmin lakukan. Jika tidak, mungkin mereka akan berada di bar sampai besok pagi.

"Terima kasih ya, Mas." Laura melepas sabuk pengaman, setelah Edgar memarkirkan kendaraannya di depan gedung apartemen yang dia tempati.

Edgar keluar lebih dulu, untuk membantu Jasmin dan akan membawanya ke apartemen milik Laura.

"Biar saya antar. Kamu akan kewalahan kalau bawa dia sendirian."

avataravatar
Next chapter