webnovel

Rasa Apa Ini?

Jerold memposisikan diri seperti sedang memeluk Arabela dari belakang. "Tutup satu matamu, Queen."

"Kenapa harus?" tanya sang wanita.

"Agar targetnya bisa terlihat dengan jelas, Sayang. Coba bandingkan, melihat dengan dua mata dan melihat dengan satu mata yang tertutup, lebih baik mana?" jelas Jerold.

Arabella langsung melakukan apa yang diucapkan oleh Jerold. Matanya ia pejamkan sebelah, mengincar target bidik di hadapannya dengan jarak dekat sebagi pemula.

"Pegang kuat-kuat penuh dengan keyakinan. Lepaskan satu tembakan dengan percaya diri ke arah titik yang sudah disiapkan."

Dor!

Arabella refleks melemparkan pistol di tangannya, wanita itu gemetar. Ini benar-benar bukan dirinya.

"Queen! Tindakanmu itu berbahaya! Bagaimana jika itu melukai rekanmu atau bahkan dirimu sendiri nantinya?" tegur Jerold dengan nada serius.

Arabella berjongkok sembari memegangi kedua telinganya. "Aku takut Jerold. Rasanya seperti aku sedang melakukan dosa besar yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya."

Jerold mengikuti Arabella, ia tarik tubuh wanita yang tengah bergetar itu. Jerold berikan sedikit pelukan hangat agar Arabella merasa lebih tenang.

"Ssst..., its oke. Tapi, tolong jangan diulangi melepaskan pistolmu begitu saja. Itu sangat berbahaya. Aku juga sudah berkali-kali mengingatkan untuk mundur, tapi kamu terlalu keras kepala."

Arabella tidak bisa menjawab ucapan Jerold yang mana memang benar adanya seperti itu.

"Aku memang takut, tapi aku tidak akan mundur. Jika akhirnya aku tidak mampu menjadi seperti kalian, yang terpenting izinkan aku meminjam pistol kalian untuk melakukan satu tembakan tepat di dahi anak perempuan itu! Aku ingin mereka tahu bagaimana menderitanya aku kehilangan calon anakku!" gumam Arabella.

Jerold melepaskan pelukannya. "Kalau kamu tidak sanggup melakukan ini, lalu dengan apa kamu akan membayar Jayden?"

"Dengan apa pun, apa pun yang dia minta. Termasuk jika dia menginginkan aku menjadi teman tidurnya. Aku sudah tidak peduli lagi tentang harga diri dan sejenisnya. Yang terpenting, Qianno dan Nancy harus tahu betapa menderitanya aku kehilangan anakku."

Jerold diam, ia melihat jelas kesakitan di mata Arabella. Dikhianati seperti ini membuat wanita cantik dan rapuh menjadi segila ini. Lalu, apakah seseorang di sana juga merasakan hal yang sama seperti Arabella?

Jerold menatap dinding berwarna abu dan hitam di belakang sang wanita. Ia dapat melihat seorang wanita yang wajahnya sekilas mirip dengan Salsabilla Asya mengenakan kaus pendek dan celana jeans sedang mencampur adonan kue di dapur. Sayup-sayup Jerold mendengar suara nyata wanita itu.

"Tapi aku tidak suka mengerjakan hal-hal seperti ini. Lebih baik aku menembak bersama dengan kalian, itu lebih menyenangkan."

Jerold berkedip saat jemari Arabella mengusap pipi pria itu.

"Kamu menangisi apa?" tanya Arabella.

Jerold salah tingkah, bisa-bisanya ia melamun saat bersama dengan wanita lain.

"Maaf, aku ada urusan sebentar. Bisa aku pergi?" tanya Jerold.

Arabella mengangguk walau pun sebenarnya masih banyak yang ingin ia tanyakan pada pria itu.

Jerold dan Jayden sering menatapnya intens. Menelusuri wajahnya dengan jemari mereka. Sebenarnya ada apa dengan kedua pria itu?

***

"Bisakah kamu melepaskan Asya?"

Jayden langsung membalikkan tubuhnya satu mendengar permintaan adiknya. "Apa maksudmu, Jer? Aku bahkan tidak pernah meminta dia untuk tetap berada di sini. Dia di sini karena keinginannya."

Jerold mendekati kakaknya. Pria itu mencengkeram kerah kemeja yang Jayden kenakan. "Lepaskan dia, Jayden. Jangan lagi, aku mohon. Jangan biarkan obsesi gila kita menyakiti orang lain lagi. Sudah cukup!"

Jayden menyentak tangan Jerold. "Cukup! Jangan membicarakan omong kosong denganku. Aku yakin kamu juga menyadari dan memikirkan hal yang sama sepertiku, kan? Jangan munafik, Jer."

Jerold mengacak rambutnya kasar hingga berantakan. Pria itu melemparkan tubuhnya pada sofa di kamar sang kakak. "Iya, aku memikirkan hal yang sama denganmu. Tapi, Jay, aku sadar jika Asya tidak boleh terluka. Dia datang karena luka berharap mendapatkan obat. Kita tidak boleh melukainya lebih dalam dari apa yang pernah dia rasakan."

Jayden menyusul adiknya, menyalakan korek api pada batangan rokok di sela jarinya. "Aku tidak sedang mencoba untuk melukai dia, Jer. Justru aku memberikan tempat tidur yang nyaman.  Makanan layak dan pelatihan bela diri yang akan sangat berguna untuknya nanti."

"Nanti? Nanti kapan? Apa dia akan pergi nanti? Nanti, setelah dia terjatuh. Nanti, saat dia mulai jatuh cinta lagi di rumah ini? Nanti, dia akan pergi dengan luka yang lebih parah dari sebelumnya? Pikirkan itu, Jay!" seru Jerold geram.

"Cukup Jerold! Jangan melewati batas! Aku tidak akan pernah membiarkan Queen jatuh cinta padaku apalagi padamu. Dia akan tetap fokus pada ttujuanny," ucap Jayden penuh dengan penekanan.

"Siapa yang bisa menjamin itu, Jay? Kamu bukan Tuhan, kamu tidak bisa mengendalikan perasaan orang lain."

Jayden terkekeh keras. "Aku punya seribu cara untuk membuatnya tidak akan pernah memikirkan untuk mencintaiku. Aku hanya butuh dia, sebentar saja."

Jerold berdiri, pria itu mendorong dada kakaknya dengan jari telunjuknya. "Kalau begitu lakukan sesuka hatimu. Aku berjanji akan membuat Asya jatuh ke pelukanku dan membawanya pergi dari sini. Aku akan mencoba melupakan semua kenangan yang pernah terjadi di dalam rumah ini. Dia harus jadi milikku."

Jayden tertawa mengejek mendengar ucapan sang adik. "Otak bodohmu itu jangan terlalu dipelihara, Jerold. Kamu punya tanggungan lain di rumahmu yang kamu tinggalkan beberapa bulan ini. Urusi itu dulu."

Jayden berjalan keluar, menabrak batu Jerold keras. "Ayo bersaing, atau bertaruh. Asya tidak akan jatuh cit a padamu."

"Lihat saja nanti!" seru Jerold.

Jayden hanya membalasnya dengan tawa. Pikirannya sedang kacau, sepertinya ia membutuhkan hiburan saat ini.

"Queen!" teriak Jayden hingga seisi rumah mungkin saja dapat mendengarnya.

Beberapa orang langsung menghentikan aktivitasnya beberapa detik. Para pekerja lama menatap miris ke arah Arabella, sedangkan pekerja baru hanya bisa menatap Jayden heran.

"Ini pertama kalinya father Jay telihat begitu intim dengan wanita," ucap slaah satu pekerja baru di rumah mewah itu.

Sang pekerja lama langsung melotot, "Hush, jangan membicarakan hal seperti itu. Kalau sampai Father mendengar, habis riwayatmu. Jangan pernah mengungkit soal ini lagi."

Para pekerja langsung  menundukkan pandangan begitu Jayden menatap ke arah mereka dengan dingin dan mengintimidasi.

"Ada apa?" tanya Arabella. "Bisakah memanggilku dengan normal? Telingaku tidak tuli."

"Jangan marah-marah, aku hanya sedang memerlukanmu," jawab Jayden santai.

"Katakan apa keperluanmu? Aku sedang tidak ada waktu untuk berbasa-basi denganmu. Aku muak melihat wajah aroganmu itu!" seru Arabella.

Jayden mengusap-usap bibir Arabella dengan perlahan lalu mulai menekannya sedikit keras dengan beberapa kali gerakan. "Rasa apa ini?"

Arabella mengernyit heran, "Apa? Lipbalm yang aku pakai?"

"Bibirmu Queen..."