1 Kilas Problem

-

Renata berdiri di sudut dinding, dengan air mata yang terus mengalir dari kedua matanya yang membengkak. Wajahnya yang cantik juga terlihat pucat, dengan sebuah warna kemerahan seperti bekas tamparan yang terpampang di pipi kanannya.

Kedua tangannya juga terlihat mengepal dengan bergemetar di sisi tubuh, sebagai sebuah pertanda bahwa wanita itu sedang berada dalam kondisi yang tidak baik-baik saja sekarang ini.

"Aku mohon, tolong lepaskan aku, Aaron …." gumamnya. Suaranya terdengar begitu lirih dan serak, mungkin akibat dari dirinya yang terus berteriak untuk memohon ampun sedari tadi.

Sedangkan laki-laki yang dia ajak bicara hanya terdiam, dengan tatapan kedua mata yang terus memandang lurus ke arahnya. Dan laki-laki itu adalah Aaron.

Aaron mendudukan dirinya pada salah satu sofa yang menghadap langsung ke arah Renata, dengan jarak sekitar dua meter. Laki-laki itu terlihat menggenggam erat sebuah gelas yang ada di tangan kanannya, yang berisi cairan berwarna keemasan.

"Aaron!"

Tiba-tiba Renata berteriak keras, sembari menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Saat melihat laki-laki yang sedang berada di depannya sekarang itu, seperti akan melemparkan gelas yang ada di genggamannya ke arahnya. Dan …. brak!

Gelas itu meluncur begitu saja ke arah kaki Renata, dengan serpihan kecil yang menusuk ke dalam telapak kaki milik wanita itu. Sontak, hal itu membuatnya berjengit kaget dan merintih kesakitan.

"Hahaha … kau takut, Renata?"

Aaron mengatakan hal itu sembari tertawa keras, tanpa memperdulikan ekspresi ketakutan pada wanita yang sedang berdiri di depannya.

Napas Renata terdengar semakin memburu, setelah mendengar suara pecahan gelas yang cukup memekakan telinganya itu. Lalu, perhatian wanita itu langsung terfokuskan pada darah yang membasahi lantai, yang berada tepat di bawah kakinya. Ternyata, ada cukup banyak darah yang menetes dari kedua kakinya, akibat terkena tusukan dari serpihan gelas yang dibanting itu.

"Apakah kau merasa kesakitan dengan luka itu, Renata?" tanya Aaron lagi. Namun, lagi-lagi Renata mengabaikannya, karena pertanyaan itu tentunya tidak membutuhkan jawaban apa pun darinya.

Kemudian, Renata terlihat mendongakan kepalanya, lalu memberanikan diri untuk menatap sosok yang sudah membuatnya kesakitan selama seharian ini. Namun, sakitnya fisik yang ia rasakan, tidak lebih parah dari sakit yang hatinya rasakan atas semua kejadian yang sedang menimpanya itu.

"Ke—kenapa kau melakukan semua ini kepadaku, Aaron?"

Akhirnya, pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Renata. Pertanyaan yang sedari tadi ingin dilontarkan olehnya, tapi terhalang oleh rasa takut yang terus menghantui perasaannya dan seolah-olah memintanya untuk tetap diam.

Namun, entah karena alasan apa, tiba-tiba Aaron malah tertawa keras sampai wajahnya terlihat memerah. Dan ekspresi yang laki-laki itu tampilkan, berhasil membuat keberanian Renata yang tadi muncul, kembali menghilang.

Beberapa detik setelah itu, suasana pun kembali hening dengan Aaron yang mulai bangkit dari sofa tempatnya duduk.

"Kau bertanya tentang apa alasanku melakukan semua ini kepadamu, Renata?" ucap Aaron, kembali mengulangi pertanyaan yang Renata berikan kepadanya beberapa saat yang lalu itu.

Renata terdiam, beberapa detik setelahnya, wanita itu pun akhrinya menganggukan kepalanya dengan lemah.

Aaron tersenyum miring melihatnya, lalu berjalan mendekat ke arah Renata. Dan hal itu membuat wanita yang sedang berdiri di depannya itu mencoba untuk berjalan menjauh, tapi urung ketika kakinya terasa begitu sakit saat digerakan. Sampai akhirnya, wanita itu memilih untuk pasrah, saat Aaron sudah benar-benar berada di depannya.

"Aku melakukan ini semua, karena kamu adalah alasannya, Renata. Karena kamu, karena kamu orangnya …." ucap Aaron. Dengan suara yang terdengar begitu lembut dan berbeda dari suaranya beberapa saat yang lalu, yang lebih terdengar seperti sebuah ancaman.

Renata memejamkan matanya erat, saat jari-jari panjang nan besar milik Aaron menyentuh area wajahnya dengan lembut. Dalam hati, wanita itu ingin sekali berteriak dan berlari sejauh-jauhnya, tapi keadaaan dan tubuhnya tidak mengizinkannya untuk bisa melakukan itu sekarang ini.

Kemudian, Aaron terlihat memajukan wajahnya, dengan membiarkan dahi miliknya menempel pada dahi milik wanita yang sedang terkurung oleh tubuhnya itu.

"Kau membuatku kesakitan atas semua ucapan yang kau berikan kepadaku dulu, Renata. Dan apakah setelah bertahun-tahun kita pergi dari masa lalu itu, lalu kau berpikir kalau aku bisa melupakan kenangan menyakitkan itu begitu saja?" ujar Aaron lagi.

Deg!

Renata merasa dadanya begitu sesak, seperti ada sesuatu yang menusuk dan menghimpit hatinya dengan begitu keras. Dan wanita itu memilih untuk semakin memejamkan matanya, tanpa berani untuk membukanya sedikit pun.

"Buka matamu, Renata. Apakah kau tidak mau melihat sosok laki-laki yang pernah kau khianati ini, Sayang?"

Aaron mengatakan hal itu sembari mengusap bekas kemerahan yang ada di wajah Renata dengan jari-jarinya yang panjang. Kemudian, sedikit menekannya, hingga membuat wanita itu mendesis lirih karena rasa sakit yang dialaminya.

"Buka matamu, Renata, dan lihatlah aku sekarang," perintah Aaron lagi. Suaranya masih terdengar begitu lembut, meskipun setiap perkataaan yang keluar dari mulutnya malah terdengar begitu menyakitkan bagi Renata.

Dengan gerakan perlahan, Renata pun akhrinya memberanikan diri untuk membuka kedua matanya. Kedua telapak tangannya yang ada di sisi tubuh pun masih terlihat mengepal, sebagai tumpuan keberaniannya sekarang ini.

Aaron terdiam, dengan tatapan mata yang terus memandang lurus ke arah kedua manik milik Renata yang perlahan terbuka. Hingga akhirnya, tatapan keduanya saling bertemu, dengan sebuah pancaran perasaan yang sama-sama sulit untuk dijelaskan.

"Lihatlah laki-laki yang kau khianati dan tinggalkan dulu ini, Renata. Lihatlah laki-laki yang kau campakkan ini, Renata, lihatlah …."

Renata melihatnya. Wanita itu jelas bisa melihat perasaan menyedihkan, yang muncul dalam kedua mata elang milik laki-laki yang ada di depannya sekarang ini. Ya, salah satu laki-laki yang hatinya pernah menjadi tempat berlabuh untuknya dan rumahnya untuk pulang.

"Kau meninggalkanku karena laki-laki itu, laki-laki yang memiliki banyak harta dan menurutmu lebih baik dariku. Waktu itu kau mengatakannya soelah-olah aku hanyalah laki-laki miskin biasa, yang tidak mungkin pantas untuk bersanding dengan hatimu, bukan?"

Jari telunjuk milik Aaron terlihat mengusap kelopak mata milik Renata dengan lembut, saat laki-laki itu telah menyelesaikan ucapannya.

"Maaf, Aaron, maafkan aku dan masa lalu itu …."

Renata mengatakan hal itu sembari menggapai telapak tangan milik Aaron dengan kedua tangannya. Menggenggamnya erat, kemudian mengusap kulitnya dengan lembut. Tatapan kedua matanya jelas masih terarah pada sosok tinggi tegap, dengan ketampanan yang masih melekat dalam ingatannya selama ini.

Aaron tersenyum miring, kemudian laki-laki itu malah menjauhkan wajahnya dari Renata. Berdiri dengan posisi tegak, kemudian menghempaskan tangan wanita itu dengan kasar.

"Maaf? Kau meminta maaf atas kesalahanmu yang mana, Renata? Atas perkataanmu yang begitu menyakitkan dulu, atas pilihanmu yang lebih memilih laki-laki itu dibanding diriku atau atas dirimu yang tiba-tiba menghilang dan menghindar tanpa alasan dariku, Renata?" ucapnya. Dengan nada suara yang kembali terdengar meninggi dan penuh dengan penekanan.

Mendengar pertanyaan itu, Renata pun terlihat menggelengkan kepalanya dan mencoba untuk berjalan mendekat ke arah Aaron. Dan sepertinya, wanita itu tidak lagi memperdulikan rasa sakit yang menyerang telapak kakinya sekarang ini.

"Jangan seperti ini, Aaron. Aku mohon …." ucap Renata sembari merintih. Kedua tangannya berusaha untuk menggapai tangan Aaron lagi, tapi laki-laki itu dengan terang-terangan menolaknya.

Aaron tersenyum miring, kemudian kembali berkata, "aku akan mengajukan sebuah pertanyaan, Renata, dan kau harus menjawabnya dengan jujur. Apakah sekarang kau masih mencintaiku, Renata?"

Deg!

Renata terdiam, dengan pertanyaan yang baru saja dilontarkan oleh Aaron kepadanya. Pertanyaan itu begitu sulit baginya, hingga membuat hatinya terasa berdenyut nyeri, dengan sesuatu yang lagi-lagi menusuk dadanya tanpa ampun.

"Ma—maaf …."

Brak!

-

avataravatar
Next chapter