webnovel

Demonia

Aku telah melihat dan merasakan sebuah kisah yang sangat menyedihkan. Siapapun yang menyaksikannya pasti setuju bahwa para dewa pantas dikutuk... Merasa dunia pantas dihancurkan... Membuat manusia tidak pantas dilindungi... Ini bukan kisah para pahlawan yang menaklukan kejahatan, melainkan salah satu tragedi yang terjadi pada suatu masa kehidupan.

Yohanlie · Fantasy
Not enough ratings
18 Chs

Ch 1 [Silly Adventurers I] : Monster dan Monster Kecil

Salah satu dari ingatan yang telah kulihat

Mengenai perjumpaan sang Raja Iblis dengan manusia untuk pertama kalinya.

Pegalaman yang mengajarkan, bahwa manusia adalah makhluk yang sangat menyedihkan.

Tahun 1880 kalender Etena, 25 tahun lalu sebelum pertarungan kami melawan Raja Iblis Nidhog ke II. Raja Iblis generasi I telah berhasil dikalahkan. Bangsa iblis tercerai berai beserta lenyapnya kerajaan iblis Demonia. Manusia bersorak sorai merayakan kegembiraan, para pahlawan disambut bak juru selamat, pesta besar-besaran digelar.

Sementara itu, tak seorang pun sadar, sebuah jiwa mengembara tanpa arah dari reruntuhan istana iblis. Setelah cukup jauh, ia mulai menakhlikkan sel-sel kehidupan, menghubungkannya menjadi jaring-jaring tipis, menjalinnya perlahan-lahan, hingga terbentuk lah tulang, organ-organ, kulit, rambut, bagian-bagian lain, sampai akhirnya tercipta sebuah tubuh anak berusia lima tahunan.

Tanpa mengenakan sehelai kain, anak itu melangkah bingung di dalam hutan rimba raksasa. Asing dengan sekitarnya, kesadarannya masih meraba-raba, tanpa tahu mengapa dirinya hidup.

***

Dua tahun kemudian.

Hutan Bamboo, tempat yang berhiaskan pepohonan raksasa, keagungannya memaksa nyali pupus seketika. Langit-langitnya diselimuti dedaunan rimbun, menyisakan sedikit celah bagi cahaya untuk mengintip. Di bawah bayang-bayang rimba, dua orang berlari sekuat tenaga. Kedua manusia bodoh yang tidak mengetahui batas kemampuan mereka, bermain-main dengan maut, para serigala yang tak kuasa menahan lapar sedang mengejar mereka.

Salah satunya Janette, pemanah wanita berambut emas, wajahnya elok, mata bulat dengan bulu lentik menjuntai. Gerakannya lincah didukung pakaian berupa kain tipis lengan pendek kebiruan, pelindung terbuat dari kulit membungkus sebagian tubuhnya mencangkup bahu, sebelah dadanya sampai ke punggung bagian kanan. Tangannya terikat kencang oleh balutan perban. Celananya pendek ketat namun tebal, dipadu sepatu kecil pada kaki mulusnya. Di belakang Janette, pria berambut jabrik berponi runcing yang tampak kuat mengikuti sambil sesekali menebas para serigala yang mencoba menerkam.

"Din! Jangan pedulikan mereka! Fokus saja untuk melarikan diri!!" Janette menyempatkan diri memarahinya meskipun ia sendiri sibuk melompat diantara pepohonan.

Berbeda dari gadis itu, Din tidak bergerak ringan seperti tupai. Ia berlari lurus, tapi tidak cukup cepat. Mungkin karena baju besi membuat langkahnya cukup berat, meski begitu, sebenarnya bisa saja dia mengacuhkan para serigala di belakangnya, namun itu tidak dia lakukan.

"Tidak! Aku lebih baik mati daripada membiarkan serigala-serigala ini memakanmu Janette," tanggap Din dengan nada menggoda. Sikapnya terlalu santai dalam situasi mencekam.

"Ayolah. Jangan bermain-main, kamu tahu kan kalau aku dapat berlari kencang melebihi mereka!"

Alih-alih tersenyum melihat tingkah wanita yang disukainya, matanya berkata lain, seolah dirinya tenggelam dalam pikiran. Nyatanya mereka sedang melakukan misi bunuh diri. Kerabat mereka kabarnya berada di hutan ini. Disekap di sarang seekor makhluk legenda, buas, menakutkan, yang konon adalah tangan kanan dari sang raja iblis. Katanya juga, makhluk itu dapat menghabisi ratusan prajurit, meluluh lantakan satu kota sendirian.

Sejak masuk ke tempat ini, sesekali Din terlihat melamun, tidak fokus dalam menghadapi taring-taring yang kelaparan. Berusaha melarikan diri dari hal yang dipikirkannya, ia kembali mengoceh, "aku membayangkan kita berdua melawan sosok iblis raksasa, dan kini kita malah sedang kewalahan menghadapi anjing-anjing lapar. Sialan!"

Mendadak, sergapan serigala muncul dari balik pohon, Din mendecikan lidah. Sementara anak panah Janette berhasil menangkap mereka di udara, hantaman pedang pria bawel menyingkirkan setiap penghalang jalan. Hal ini terus berlangsung selama beberapa kali. Tak satupun serangan serigala berliur mampu melukai mereka. Aksi melarikan diri tidak berlangsung lama, stamina yang menipis membuat mereka kewalahan. Dengan nafas tersengal-sengal, bersandar pada pohon besar, mereka menghadap ke arah delapan serigala yang mengepung.

"Janette, sepertinya ini adalah akhir dari kisah kita berdua, aku akan menghadapi mereka sendirian. Kamu pergilah dari hutan ini! " katanya terengah-engah. "Sebelum itu aku akan mengatakan sesuatu! Aku mencintaimu... "

"Kamu bicara apa sih! Aku sebal dengan sikapmu yang selalu bercanda disaat genting! Fokus saja menyelamatkan Juan."

Din terdiam sejenak. Penolakan dari Janette membuatnya tampak terpukul, tapi dirinya pulih dengan cepat. "Kalau begitu, aku membatalkan niatku untuk pasrah. Kita akan keluar dari tempat ini, setelah itu aku akan menyatakan ulang perasaanku." Lagi, celotehnya tidak dianggap penting oleh Janette.

Pimpinan dari kelompok serigala, tidak terlalu sabar untuk diam menunggu kedua pasangan itu melakukan aksi drama. Ia segera memberikan aba-aba pada bawahannya untuk menyerang. Din menyambut dengan teriakan penuh gelora, menerjang dengan senjata penjagal besar. Sementara Janette memanah dari jauh. Meski terlihat santai, setiap tebasan pedang Din membelah lawan-lawannya tanpa ampun. Di lain sisi, Janette dapat membidik dengan tepat, hingga para anak panah bersarang di setiap kepala para serigala. Kombinasi keduanya mampu mengalahkan ketujuh serigala.

Hanya pemimpin serigala yang tersisa. Ukurannya paling besar, tidak heran mengapa para serigala lain tunduk bertekuk lutut kepadanya. Bahkan Din yang tadinya santai kini terlihat tegang. Serigala itu bergerak secepat kilat melompat lalu menumpu dari satu batang pohon ke batang lainnya, membuat mata lalai, sampai menghilang dari pandangan, serangan berikutnya tidak akan bisa diperkirakan. Berpacu dengan waktu, bola mata kedua petualang bergerak liar ke setiap sudut hutan mencari di mana gerangan sang musuh.

"Janette!!" teriak Din telat memperingatkan. Taring yang terbuka jatuh dari dalam sela-sela daun pohon. Rupanya serigala yang satu ini bisa memanjat pohon.

Taring-taring berliur siap menghancurkan tengkorak Janette, mungkin akan jadi hal terakhir yang dilihat gadis itu. Waktu terasa bergerak pelan, semua aksi yang melintas di benaknya hanya berakhir pada hasil yang sama, kematian. Lalu, sesuatu menyambar tubuh pemimpin serigala, meninggalkan Janette yang masih kikuk.

"Oi oi!! A... apa-apaan ini... tidak ada yang bilang ukurannya sebesar itu!" Ungkap Din menyatakan keberatan terhadap kenyataan.

Sosok raksasa buas dengan panjang mencapai empat meter, tingginya hampir tiga kali tinggi orang dewasa. Postur tubuhnya seperti seekor kucing. Taring-taringnya menembus tubuh hingga kepala pemimpin serigala yang sudah tidak bernyawa, matanya tajam berkilau menunjukan sisi ganas namun cerdas. Terlebih lagi ekornya berdiameter sebesar paha manusia dewasa, senjata yang ampuh untuk menghantam musuh-musuhnya. Makhluk legenda yang mereka cari sejak masuk ke hutan ini, seekor liger.

Ia memandang rendah ke arah makhluk kecil lemah yang berdiri dengan kedua kaki. Melepaskan tubuh serigala mati begitu saja, menunjukan betapa tinggi statusnya dalam rantai makanan dengan mengaum keras, menggetarkan rongga-rongga tubuh, melumpuhkan keberanian.

"Kita benar-benar berada dalam masalah kali ini...," gumam Din gemetar. "Janette, lari! Aku akan menghadang makhluk ini!" teriaknya tanpa melihat ke arah Janette.

Liger mencuri kesempatan, mengibaskan ekor besar seolah cambuk. Dengan kemampuan terlatih, Din berhasil menghindar. Rupanya tak ada kesempatan bagi Din untuk menyerang, cakar yang sama besar dengan pedangnya siap merobek. Meski berhasil menangkis, tubuhnya terlempar beberapa meter. Beberapa serangan lainnya berhasil dia atasi, sebisa mungkin mengulur waktu agar rekannya bisa melarikan diri.

Janette gemetar ketakutan tapi tak terbesit dalam pikirannya untuk melarikan diri. Dia mengarahkan bidikan ke arah liger, mengumpulkan energi sihir pada anak panah dengan kepekatan yang dapat membuat ledakan besar saat mengenai target. Sebelum Janette sempat menembak, sesuatu keluar dari semak-semak pohon, sosok manusia menendang wajah liger, membuatnya terpental cukup jauh.

Siapa gerangan yang dapat menyingkirkan seekor liger dengan mudah?

Pertanyaan itu terjawab, membuat kedua petualang kebingungan. Karena yang berdiri di depan mereka tidak lain hanyalah anak kecil berumur tujuh tahunan, nyaris telanjang, hanya mengenakan jalinan daun pada pinggangnya. Tidak ada kata-kata bahkan kesan apapun yang muncul, mereka hanya menonton diam, Kejadian yang lebih mengejutkan daripada kemunculan monster raksasa, mematikan nalar dua orang itu.

"Lari!" teriak anak itu. Kembali waspada, mereka bertiga segera beranjak sebelum sang liger pulih.

***

"Cukup.. hah.. hah... kita sudah cukup jauh, biarkan aku beristirahat sebentar... aku bukan atlet maraton...," keluh Din dengan nafas tersengal-sengal.

"Aku juga bukan atlet kok...," tanggap Janette mementahkan ucapan Din.

"Baiklah, disini aman," potong si kecil yang baru saja menyelamatkan mereka.

Setelah kembali mendapatkan tenaganya, Din tertarik untuk mengetahui lebih dalam tentang anak yang memiliki kekuatan abnormal di depannya. "Ngomong-ngomong, terima kasih sudah menyelamatkan kita..., tapi kamu kuat sekali? Kamu ini sebenarnya siapa?"

"Aku adalah..." Anak itu memasang muka serius, mengarahkan pandangannya ke arah bawah sambil memegang dagunya dengan jari telunjuk dan jempol. Yang lain, menyimak penasaran.

Lima menit berlalu.

"...."

"Tidak tahu!" Lanjutnya.

"Jawabnya jangan kelamaan!"

Kedua pasangan itu kompak. Membuat si kecil tertawa melihat reaksi spontan mereka. Suasana mencekam mulai mereda, perbincangan dengan si kecil mengendurkan urat-urat syaraf yang menegang. Kini pikiran Din terasa lebih jernih, santai, menjadi Din yang biasanya. Ia melihat ke arah Janette yang juga mulai tenang.

"Ngapain disini?" anak itu bertanya penasaran.

"Aku membantu Janette mencari adiknya. Menurut yang kami dengar, adiknya diculik oleh liger raksasa di hutan ini. Tak kusangka ukurannya benar-benar besar,"

"Kamu sendiri, kenapa bisa ada dihutan ini?" timpal Janette.

"Aku... tidak tahu..." Ucap si kecil yang kemudian diam hanya untuk mendengar perutnya yang berbunyi.

Gadis berambut emas tersebut mengeluarkan sebuah roti dari tas pinggang, membelahnya jadi dua dan memberikannya kepada anak itu. "Nih makan," serahnya.

"Aku juga mau dong," Din mencoba bersikap manja. Dengan wajah terlihat sebal, Janette melempar setengah rotinya ke muka pria itu.

"Kalian dekat...."

"Tentu saja, setelah ini kami akan menikah loh," canda Din sambil melihat ke arah orang yang disukainya.

"Untuk apa?"

"Hidup bahagia, memiliki anak dan membesarkannya bersama," lanjutnya.

"memiliki anak? Ah, memiliki anak. Bagaimana cara membuatnya?" Si kecil yang tidak pernah tahu proses reproduksi menanyakan hal yang umum dilakukan setiap anak.

Din mencoba menjelaskan prosesnya sambil memasang gestur jorok ditangan. Janette yang marah memukulnya dengan busur. Anak kecil itupun tertawa terbahak-bahak.

"Kalian lucu..." komentar anak itu dengan senyum polos.

Menatap wajah si kecil, memunculkan rasa simpati dalam hati Din. Seorang anak, meski teramat kuat, sendirian di dalam hutan tanpa keluarga yang memberikan kasih sayang. Itulah yang dipikirkan Din saat melihatnya, mengingatkan dirinya pada seseorang. Akhirnya setelah terdiam sejenak, pria itu melanjutkan pembicaraan.

"Hei , jika kami berhasil menyelamatkan adik Janette, kamu mau ikut bersama kami?"

"Uhm!" Dia mengiyakan sambil mengangguk dengan mulut terisi makanan.

"Dengan begitu kita bisa berpetualang bersama dan mungkin setelah kami menikah kamu bisa tinggal bersama kami..."Janette melanjutkan, memberikan rambu hijau kepada Din.

"Iya dan aku akan mengajarimu banyak hal....eh...," Din yang baru menyadari perkataan Janette spontan menatap wanita itu. "Eh? Setelah ini? Beneran!?" Lanjutnya salah tingkah.

"Tentu saja tidak! Rasakan, digoda tanpa ada keseriusan. Tidak enak kan?" Ledek Janette membuang muka.

"lalu membuat anak," anak itu menambahi dengan polos setelah menelan makanan. Menciptakan suasana canggung antara mereka bertiga.

Auman liger terdengar dari kejauhan mengusir suasana yang tadinya sudah hangat. Wajah mereka menegang, ketiga orang itu berdiri dan bersiap untuk menghadapi sang monster.

"Tapi sebelum itu, kita harus memasuki sarang kucing raksasa itu."

"Uhm!" Si kecil mengiyakan.

Merekapun bergerak menuju sarang kucing raksasa. Si kecil memimpin jalan diikuti oleh Janette yang siaga dengan panahnya. Di belakangnya sembari menjaga mereka, Din mengikuti dengan raut muka yang kembali gelap.

***

Janette sibuk melumuri racun ke mata anak-anak panah. Jemarinya terlihat kurang cakap dalam mengoles, meski beberapa kali kecerobohan membuat racun mengenai pergelangan tangan, beruntung balutan perban khusus mencegah cairan tersebut meresap ke kulit. Sementara Din duduk seorang diri di kejauhan. Tak jelas apa yang sedang dilakukannya, ia menunduk dalam-dalam seolah sedang mengheningkan cipta, jarinya yang memegang pedang mengetuk-ngetuk pangkal senjata, tampak gelisah.

"Jika mau, kamu masih bisa keluar dari sini," himbau si kecil khawatir pada Din.

Pemuda itu tak menanggapi. Lalu dia berdiri, menepuk mukanya dua kali dengan kedua tangan lalu berkata, "oke. Siap!" Sambil mengusap kepala anak di depannya. "Seorang pria harus menyelesaikan apa yang sudah dimulainya, ayo... kita selamatkan adik Janette," lanjut Din.

Si kecil hanya memandanginya dengan muka menyesal. Seakan mengharapkan agar kedua petualang itu tidak meneruskan perjalanan ke sarang liger. "Kalian orang baik... seharusnya, kalian pergi," gumamnya kecil.

Janette yang tampak siap mengambil komando, "Din! Apa kamu sudah siap? Ayo kita bergerak."

Din memasang gesture "oke" pada tangannya. Dia menoleh ke arah si kecil, matanya menatap tegas untuk memperjelas janjinya, "Setelah semua ini berakhir, kamu ikut dengan kami!"

"Din, hentikan... entah kenapa, rasanya ucapanmu seperti pertanda kematian di pertunjukan drama murahan."

***

Setelah menyelusuri hutan dalam bayangan semak-semak selama hampir tiga jam. Si kecil menghentikan langkahnya, menunjuk ke satu arah, memberikan tanda kepada tempat yang merupakan tujuan akhir mereka, "di situ,"

Takjub, kedua petualang memperhatikan dengan mulut terbuka. Bagaimana tidak? ini adalah pertama kalinya mereka melihat sebuah pohon raksasa setinggi hampir dua puluh meter. Lebarnya bagai kastil-kasil milik bangsawan. Hal yang paling mencolok adalah, pada bagian bawahnya terlihat celah menganga, sebuah mulut gua, sebesar pintu masuk gerbang istana.

Jannete memberikan aba-aba kepada kedua temannya untuk berjaga diluar, sementara dirinya masuk dengan senyap kedalam celah gua. Kaki kecil Janette menyelusuri lorong panjang yang semakin dalam. Tanpa disadari dirinya sudah berada di dalam gua bawah tanah. Meski seharusnya gadis itu berada dalam kegelapan, butiran-butiran cahaya pada dinding membuat penglihatannya tetap jelas. Ini adalah salah satu kemampuan sihir yang konon dimiliki oleh liger. Mengeluarkan elemen cahaya untuk menerangi sarang mereka.

Tidak lama kemudian dia tiba pada inti gua. Area yang anehnya cukup luas untuk sebuah sarang. Stalaktit-stalaktit bergelantungan di ketinggian langit-langit, juga banyak stalagmit menyumbul dari tanah gua, terkadang membentuk pilar sampai bawah seperti penyangga. Butiran elemen cahaya tersebar menempel pada setiap permukaan bak bintang yang bertaburan.

Mengingat kembali alasannya berada disini, raut wajahnya kembali mengeras. Matanya memancarkan emosi tinggi, siap membunuh sang penculik. Meski dirinya tahu liger yang dibencinya berada di luar sarang. Andai saja, dia dapat menemukan satu atau dua kucing raksasa disini. Dia berharap bisa menghabisi mereka karena telah berani meculik adiknya. Keinginannya terjawab.

Seekor Liger menyerang dari belakang. Mengikuti naluri, Janette berguling kesamping sambill menarik busur. Tepat saat kedua kakinya memijak tanah, gadis itu melesatkan anak panah yang dimentahkan begitu saja oleh kibasan ekor liger itu. Liger tersebut berbeda dari yang sebelumnya. Bulunya berpola loreng seperti harimau. Ukurannya lebih kecil, kurang lebih dua meter panjangnya.

"Janette! Awas!" teriak Din dari mulut gua.

Tubuhnya merespon peringatan Din, menghindari serangan yang datang dari arah lain. Liger ketiga yang mereka temui hari ini, bertubuh tidak lebih besar dari si loreng, dengan bulu polos kuning. Ekor kucing itu sempat mencambuk perut Janette. Membuatnya terlempar sampai menghantam stalagmit kecil di permukaan tanah.

Panik, Din berlari menghampirinya. Liger yang baru saja menyerang Janette kini beralih menerkamnya, seolah tidak mengizinkan mereka berkumpul. Kuku keras beradu dengan mata pedang, mereka saling mendorong satu sama lain. Siapa yang kalah, hidupnya akan berakhir seketika.

Sementara itu kondisi Janette cukup buruk. Beberapa bagian tulangnya mengalami keretakan. Dia hanya bisa duduk memegangi rusuknya. Liger berbulu loreng perlahan mendekatinya, siap mencabik-cabik tubuh kecil gadis itu. Sebelum itu terjadi, langkah si Loreng semakin limbung, nafasnya terengah-engah. Tepat di depan Janette, liger muda itu ambruk. Racun yang melumuri mata anak panah telah berhasil membekukan sistem syarafnya. Meski hanya sedikit, racun yang diramunya dapat meresap kedalam pori-pori lalu membuat otot kejang.

Pada saat yang bersamaan, Din terlihat payah. Dia terjatuh akibat bobot tenaga kucing raksasa yang digelutinya. Disambut oleh kuku besar siap menancap ke arah kepala, pada akhirnya pria itu harus menyerah, dirinya tak sekuat yang ia kira. Untung sebuah suara lantang membuat para liger mengurungkan niat menghabisi mereka.

"Hentikan!" Perintah seseorang dari arah mulut gua kepada para liger. Perlahan orang itu masuk menghampiri mereka.

Kucing raksasa mengaum ke arah Din, seolah menyatakan bahwa pemuda itu sudah kalah, kemudian berbalik badan. Si loreng yang semula terbaring kaku pun, perlahan mulai berdiri serta langsung berjalan oleng menuju pintu masuk gua. Para binatang buas tiba-tiba menjadi jinak, menyembunyikan taring-taring dan cakar-cakar mereka yang baru saja hampir mengoyak-ngoyak tubuh manusia. Menghampiri sumber suara yang anehnya dapat membuat mereka bertingkah seperti kucing kecil.

"Aha.. kamu tidak apa-apa?" Kata orang itu sambil mengelus kedua liger.

Kemudian perhatian Din dan Janette beralih kepada penjinak liger. Seorang anak kecil yang tidak asing. Anak yang baru saja melakukan perjalanan bersama kedua petualang itu.

"Tidak mungkin.. kau...!" geram Din.

Seketika suasana berubah mencekam. Sepasang mata bercahaya muncul dari pintu masuk gua. Perlahan-lahan memperlihatkan wujud makhluk berukuran panjang lebih dari tiga meter, dengan tinggi setara dua setengah orang dewasa. Sosok raksasa yang mereka hadapi sebelumnya. Seekor Liger dewasa.

Monster raksasa mendekat, setiap langkah kakinya terasa berat, menunjukan bobot tenaga yang besar. Andai cakarnya mengenai seseorang, sudah dipastikan bukan hanya luka cabikan tetapi tubuh pun hancur berserakan.

Melawan intimidasi kucing raksasa, Janette menggenggam sesuatu dari balik tas pinggangnya. Hendak mengeluarkan pamungkas miliknya, kepercayaan diri luar biasa yang percuma di hadapan monster buas. Belum sempat bergerak, pikirannya tenggelam saat menatap mata liger. Seolah-olah dirasuki, kesadaran Janette melayang dalam memori-memori kehidupannya.