1 O N E

Kedua bola mata berwarna perak itu terus melirik ke kanan dan ke arah kiri, rambutnya yang berkibar-kibar membuat ia semakin terlihat semakin cantik. Bibir merah muda ranum miliknya selalu membuat siapapun yang melihatnya pasti akan iri. Kecantikan yang turun dari sang Dewi membuatnya semakin bersinar indah di antara ribuan bintang.

"Aku rasa ia berada di area sekitar danau yang beku," seorang gadis bersurai hitam kemerahan muncul di sampingnya.

"Ya, getarannya terasa sekali sampai disini," sahut gadis bermata perak.

"Kenapa hanya kita berdua yang ditugaskan disini?! Kenapa Alois tidak di bawa juga?!" menghembuskan napasnya pelan, ia kembali menjawab pertanyaan gadis di sampingnya itu.

"Kau menyukai Alois?" seketika rambut hitamnya berkobar menjadi merah.

"Tentu saja tidak! Dia adalah rivalku!" mendengar jawaban tersebut, ia memutar kedua netra peraknya ke arah lain.

"Aku ingin kau berjaga di pepohonan yang tak jauh dari danau Lindsey, setelah kau melihat keanehan berikan aku kode," gadis bersurai hitam kemerahan yang di panggil Lindsey itu mengangguk.

"Jaga dirimu Ash, kau berada sangat dekat dengan danau itu, bahkan jika dia keluar ia akan menerkam mu lebih dulu," Ash, gadis bermata perak itu mangangguk.

Setelah kepergian Lindsey, salju-salju kembali turun dan menutupi tanah. Perlahan salju membuat putaran di tengah danau hingga terdengar bunyi retakkan es dan getaran yang cukup dahsyat. Tak lama kemudian terlihat ekor yang begitu panjang, besar, dan bersisik. Ash segera mengambil ancang-ancang untuk melawan mahluk itu.

Ia memperagakan posisi tubuhnya dan tangannya layaknya orang sedang memanah, beberapa menit kemudian sebuah panah berwarna biru muncul. Tangan kanannya mulai menarik busur, menunggu kepala mahluk itu keluar dari sarangnya. Sedangkan Lindsey, gadis itu juga tengah mempersiapkan dirinya untuk memberikan serangan kedua setelah Ash mengeluarkan serangan pertamanya.

Auman yang begitu keras dan membuat bangunan berbentuk kastil yang Ash pijaki, bergetar hebat. Bangunan itu merupakan bekas dari kerajaan Viktoria yang sempat terkenal pada masanya, tapi kini kastil itu harus terlupakan karena rumor mengenai mahluk besar yang selalu memakan manusia yang melewati daerah tersebut.

Ash menembakkan serangan pertamanya tepat di kepala mahluk itu, namun tiba-tiba dua kepala lagi muncul dari bawah es yang membeku. Lindsey melompat dari satu pohon ke pohon lainnya untuk mencari kelemahan mahluk tersebut dan memberikan serangan maksimalnya. Ekor mahluk itu terangkat sekitar beberapa meter hingga ia menghempaskan nya di atas es yang membeku, retak kan es dan bunyinya yang begitu kuat membuat Ash berlari menjauh dari salah satu menara yang ia pijaki.

Ia berpindah ke salah satu menara yang tak terlalu jauh dengan mahluk itu, ia kembali menarik busurnya, kali ini yang keluar tiga anak panah berwarna biru yang dilapisi aura perak yang begitu kuat. Lindsey melompat tepat di atas kepala mahluk itu dan langsung memunculkan sebuah tombak emas dari tangan kanannya, dan menusukkannya ke arah kepala yang berada di tengah tubuh mahluk tersebut.

Ya, mahluk itu memiliki tiga kepala dengan ekor yang keras layaknya besi, yakin siapapun yang tanpa sengaja tertimpa ekor itu mereka pasti akan penyet layaknya cicak yang terjepit di sela-sela pintu. Ash kembali mengeluarkan anak panahnya, kali ini mengeluarkan aura berwarna merah. Ia menetapkan sasarannya pada sebuah batu berwarna merah darah di dada mahluk itu dan langsung menembakkan anak panahnya ketika mahluk tersebut berhenti bergerak sekitar beberapa detik.

"Apa kita berhasil?!" teriakkan Lindsey membuat Ash terdiam, gadis itu mencoba menunggu hasilnya.

"Aku belum melihat pergerakkan kekuatan dari mahluk itu, tetapi ... " tiba-tiba semburan api yang begitu besar mengarah ke arah Ash, membuat gadis itu harus melompat setinggi mungkin lalu melompat ke arah pohon lain dan begitu seterusnya.

"Aku tidak ingat jika ia bisa mengeluarkan api! Bukannya gas beracun ya?" tanya Lindsey mencoba memastikan.

"Batu merah itu, menandakan kekuatan elemen yang mereka miliki," Lindsey menopang dagunya lalu mengangguk dan langsung mendekat ke arah Ash.

"Kau tidak ingin mencoba menggunakannya lagi?" Ash menatap ke arah Lindsey sekilas, tanpa Lindsey sadari segaris senyum yang begitu tipis terbit di bibir merah muda milik gadis itu.

Ia menarik busurnya hingga sebuah anak panah berwarna perak keseluruhan muncul. Anak panah itu ia arahkan ke kepala terakhir sang monster, matanya mencoba mencari titik yang pas untuk menancapkan panah perak tersebut.

"Apa kau bisa menarik perhatiannya sebentar saja Lindsey?" Lindsey langsung tersenyum dan melompat dari pohonnya ke arah kepala mahluk tersebut.

Tak lama kemudian ia mengeluarkan sayap berwarna kuning keemasan dan terbang tepat di depan mahluk tersebut. Mahluk itu mencoba mengeluarkan elemen apinya lagi, namun dengan cepat Ash menarik busurnya hingga sampai pada batas, ketika ia melepaskan anak panahnya. Benda perak itu berhasil menembus kepala monster tersebut, hingga setengah dari busur tersebut masuk ke dalamnya.

Sebuah cahaya perak yang begitu menyilaukan mata keluar dari anak panah milik Ash. Lindsey tersenyum senang dan terbang dengan kecepatan kilat ke arah Ash. Ash hanya bisa terdiam dan tersenyum, tiba-tiba ia merasakan kepalanya pening. Lindsey langsung menyentuh bahu Ash, sinar kuning ia salurkan ke tubuh Ash melalui telapak tangannya.

"Apa masih pusing?" Ash menggeleng.

"Bisakah kita pulang?" tanya Ash yang di jawab oleh Lindsey dengan anggukan.

"Aku akan memberitahukan hal ini kepala Tuan Brown," Ash menggeleng lemah.

"Tidak perlu, aku hanya lelah saja," Lindsey menatap ke arah temannya itu dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Kau selalu memaksa dirimu untuk menggunakan kekuatan itu, padahal tubuhmu sendiri masih belum bisa menerima besarnya kekuatan tersebut," Ash tersenyum.

"Setidaknya aku sudah berusaha Lind, jika aku terus melatihnya bukankah akan semakin bagus? Dan ia tidak akan mengambil alih lebih parah lagi bukan?" Lindsey mendecak kesal.

"Berpura-pura menahan sakit, pada akhirnya kau tidak bisa menutupinya lebih lama lagi Ash," gadis itu mengangguk lalu menatap ke bawah tubuhnya.

Mereka terbang di udara dengan menggunakan sayap Lindsey. Ash sebenarnya sangat menginginkan sepasang sayap layaknya Lindsey, namun sayang ia bukanlah titisan dari Dewi Athena. Ash merupakan titisan dari Dewi Arthemis sedangkan Lindsey yang terkenal dengan jiwa pemberani yang ia miliki merupakan titisan dari Dewi Athena. Ia memiliki tenaga yang bisa membunuh Cerberus, sepasang sayap emas yang indah, dan tenaga yang tiada habisnya.

Sedangkan dirinya? Ash hanya memiliki busur panah yang selalu disinari oleh kekuatan bulan dari Dewi Arthemis, ia bisa mengenadilkan elemen Alam di sekitarnya. Anak panahnya yang selalu memiliki aura yang berbeda-beda merupakan tanda bahwa sinar dari bulan telah memberkati anak panah miliknya. Jika anak panahnya berwarna merah tandanya anak panah miliknya memiliki seluruh kekuatan bulan merah, jika warna biru berarti ia memiliki seluruh kekuatan bulan biru yang identik dengan lautan.

"Kita sudah sampai, ayo turun. Aku merasa pegal jika kau mau terus menempel padaku," ucapan Lindsey hanya di balas gelengan oleh Ash.

"Mungkin kau sesekali harus mencoba rasanya latah tulang Lind," Lindsey mendengkus kesal.

"Cukup Arsenio saja yang mendapatkannya setelah ia berani menyentuh sayapku," Ash terkikik geli.

"Tidakkah kau merasa aneh dengan tingkahnya?" Lindsey menaikkan sebelah alisnya lalu menatap ke arah Ash dengan tatapan bingung.

"Apa maksudmu?" Ash tersenyum, ia tahu jika gadis di depannya ini sangatlah polos, bahkan tidak menyadari jika seseorang yang dekat bersama dirinya selama ini sedang menyimpan perasaan padanya.

"Lebih baik kita masuk dulu dan istirahat, tubuhmu semakin terlihat lemah saja dari hari ke hari Ash," sebuah suara menyahut dari dalam pintu belakang akademi.

"Halo Grace," sapa Ash.

Grace menengok ke arah Lindsey yang masih setia berdiri di samping Ash.

"Kau di panggil oleh Kepala sekolah Brown, aku harap kalian memberikannya sebuah kabar baik," Ash tersenyum penuh arti.

"Sekarang cepatlah masuk ke dalam, udara semakin dingin Ash, aku tidak yakin kau bisa bertahan di udara seperti ini," nada ucapan Grace selalu terdengar menusuk.

"Bisakah kau membuatkannya teh Kamomil dan bawa di ruang istirahat ku?" Grace menghembuskan napasnya lelah lalu mengangguk dan membantu Ash membawa tubuhnya ke dalam ruang santai milik gadis itu.

.

.

.

Ash menyesap tehnya sambil menatap ke arah luar jendela, ia tetap membiarkan jendela itu tertutup dengan rapat agar hawa musim dingin tidak membuat seluruh ruangannya membeku. Ketukan pintu membuatnya mengalihkan perhatiannya dari jendela, seorang pemuda masuk membawa beberapa amplop coklat yang cukup besar di tangannya.

"Data para murid baru yang sudah mendaftar di akademi," Ash mengangguk.

"Apa 'ia' sudah di temukan Bry?" pemuda yang di panggil Bry itu menggeleng.

"Bahkan satu jejak pun belum berhasil di temukan?" jawabannya yang sama lagi-lagi di berikan oleh Bryan.

"Beritahukan kepada kepala sekolah Brown untuk memberikan data yang lainnya, bukankah data para murid baru ada sekitar lebih dari lima ratus yang mendaftar?"

"Yang ku berikan padamu itu ada empat ratus, sedangkan yang bersama kepala sekolah Brown ada sekitar seratus, ia masih mengecek indentitas para siswa tersebut," Ash kembali menyesap teh Kamomil miliknya.

"Kau begitu aku minta salinan ulanganya sana," Bryan mengangguk lalu keluar dari ruangan tersebut.

Bryan Greene, seorang pemuda yang di berikan anugrah oleh Dewa Hermes, membuat pemuda tersebut memiliki sepasang sayap emas seperti yang dimiliki oleh Lindsey, namun tentu saja mereka berbeda. Lindsey merupakan Dewi perang sedangkan Bryan merupakan Dewa pengantar pesan. Ash menghembuskan napasnya dan menyentuh teh yang berada di dalam gelasnya.

Seketika seluruh teh yang tadinya beruap itu membeku. Apapun yang terjadi pada Alam maka Ash akan merasakan akibatnya, jika musim salju, maka apapun yang sentuh akan menjadi es dan salju namun itu hanya sesuai dengan keinginannya. Gadis itu berdiri dan berjalan ke arah perapian, kedua netra peraknya fokus pada sebuah foto yang. menggambarkan keluarga yang begitu bahagia, semuanya tersenyum dengan tulus, namun semuanya harus berakhir begitu saja.

* * *

With Regrets,

Imelda Priskila.

avataravatar