4 Upaya Menyatakan

"RAKA!" Kiya berteriak. Raka membelalakan matanya ketika sosok yang berteriak memanggil namanya adalah, Kiya.

Kiya berjalan mendekati Raka dengan langkah cepat. "Lagi ngapain lo? Jangan-jangan maling ya!" telunjuk tangan Kiya mengarah ke depan wajah Raka, yang ditepis dengan cepat. "Udah lah mana ada ya maling yang ngaku. Kembaliin tas gue!"

Raka benar-benar kesal dengan tingkah laku Kiya yang sembarangan menuduhnya. Dengan malas, Raka memberikan tas itu kepada Kiya.

Kiya menangkap tas yang diberikan Raka. Tangannya menarik resleting untuk menutup tas nya kembali. Tapi, sesuatu keluar dari dalam tas nya. "AAAAAA...!!" Kiya berteriak lalu melempar tas nya ke sembarang tempat, dia benar-benar geli jika melihat binatang itu.

"Pasti lo, kan? yang udah taruh ni kadal didalam tas gue! Iya kan?" tuduh Kiya. Raka diam, tangannya terlipat di depan dada. Dia tidak menghiraukan ucapan Kiya yang selalu menyudutkannya. "Benar kan? Pantesan lo buka-buka tas gue!"

Raka mencibir. "Tadi resleting tas kamu sedikit terbuka, terus kadal itu masuk waktu aku mau tutup!"

"Halah, alibi banget sih lo!"

"Aku gak alibi, Kiya! aku jawab dengan sejujur-jujurnya! Maka nya aku buka tas kamu dengan maksud biar kadal itu keluar!" Kiya melipat kedua tangannya didepan dada. Kiya mencibir, mulutnya mengikuti cara Raka berbicara. Dia benar-benar tidak mempercayai Raka. Mau menjelaskan sampai mulut Raka berbusah pun, Kiya tidak akan mempercayainya.

"Terserah kamu aja! Ditolongin bukan nya bilang terima kasih, kek. Tapi malah nuduh orang sembarangan!" kata Raka kesal. Dia berbalik lalu meninggalkan Kiya yang masih dengan sikap acuhnya.

****

"Keluar, yuk! Anak-anak mau buat api unggun biar lebih hangat."

Alan dan Aji masih membujuk Raka agar keluar dari tenda. Sejak kejadian adu mulut tadi, Raka langsung menyendiri. Sebenarnya dia ingin keluar dan mengganggu Kiya lagi, namun niatnya di kurungkan karena dia ingin Kiya lebih sedikit peduli terhadapnya.

"Gue mau tidur! kalian saja sana yang keluar! Jangan ganggu gue!"

Alan menyenggol bahu Aji. "Ah payah banget temen lo, Ji, masa karena cewek dia jadi menye-menye!"

"Apa?" Raka melotot kaget mendengar kata-kata Alan.

"Iya! Raka Candra Winata lemah karena cinta dia rela dimarahin sama adik junior di depan anggota Mapala." timpal Aji meledek. Alan dan Aji langsung berdiri dan berlari keluar tenda, disusul oleh Raka yang siap menghajarnya.

Saat Raka berlari mengejar Aji dan Alan, dia menabrak tubuh seseorang.

"Adaw"

"Aw"

Raka dan Kiya mengaduh kesakitan. Tangan Kiya terulur mengusap dahi nya yang menghantam dada Raka.

"Lo, lagi! Lo, lagi!" Kiya mengerucutkan bibirnya.

"Kamu menggoda aku, ya?" Raka tidak peduli dengan dua sahabatnya yang sedang terkikik dibalik tubuh Kiya. Dia asik memperhatikan bibir Kiya yang seakan mengajaknya untuk....

Raka menggeleng-gelengkan kepala. "Ah buang jauh-jauh otak mesum!"

"Menggoda apa?" Kiya dibuat bingung dengan kata-kata Raka. Kiya tidak salah bicara dan pakaiannya pun tidak ada yang terbuka, lalu menggoda apa maksudnya?

"Ih gemesin banget sih buah bibirnya." Raka mencubit gemas bibir bawah Kiya, namun segera di tepisnya. Kiya melongo.

"Ngapain kamu liatin aku begitu? Aku emang ganteng."

"Iyuh!" Kiya memasang wajah jijiknya. "oh iya, gu—gue....," Kiya memperlambat ucapannya. "Minta maaf!" lanjutnya, sedikit berbisik.

"Apa? Aku gak denger!" Raka mendekatkan telinga nya di depan wajah Kiya.

Kiya mendorong tubuh Raka menjauh. "Yang mana?"

"Yang tadi itu! kamu bilang apa? Ma—makan? Atau ma—mancing?"

Kiya mendengus mendengar jawaban Raka, dia tau bahwa Raka tidak mungkin mempunyai gangguan pendengaran yang buruk. "Gak ada replay. Emangnya gue musik!" ujarnya.

Raka tertawa pelan. Tangannya terangkat mengusap tengkuknya. Dia menjadi grogi sekarang. "Serius, sayang!"

"Gue minta maaf, Raka Candra Winata yang terhormat."

Raka mengangguk-angguk. "Kalau aku gak mau maafin kamu, gimana?"

Kiya menatap Raka dengan heran. "Maksud lo?"

"Aku maafin kamu. Tapi, ada syaratnya!"

"Apa?" tanya Kiya lagi, menuntut penjelasan yang lebih jelas. "lo jangan macem-macem, ya!" Kiya segera mengangkat tangannya membentuk silang di depan badannya.

Raka terkekeh pelan. "Aku mau, kamu jadi teman aku."

"Ha?" Kiya refleks menurunkan tangannya lalu menatap Raka karena mendengar pernyataan itu. Pernyataan dengan nada datar, tanpa memperlihatkan kalau Raka sedang bercanda atau sekedar iseng berbicara.

"Teman?" tangan Raka terulur ke depan. Kiya menatap tangan kanan Raka yang terulur kepadanya. Jantung Kiya berdetak dengan kencang, namun itu tidak mampu menghentikan tangannya yang bergerak perlahan menyambut tangan Raka. Kiya terus terdiam menatap Raka yang kini juga sedang menatapnya. Kedua nya saling pandang.

Kiya melepaskan genggaman tangan Raka. Kiya menunduk dengan pipi yang sudah terlihat memerah. Entah kenapa Kiya merasa jika Raka menatapnya dengan pandangan yang berbeda, seperti orang di masa lalunya.

****

Malam ini semua berkumpul mengelilingi api unggun. Anggota lain sibuk dengan kegiatannya masing-masing, ada yang memasak mie instan, bergosip, hingga bermain gitar sambil bernyanyi. Siapa lagi yang suka bermain gitar kalau bukan Raka cs? Yaps! Kiya dan Riri bernyanyi mengikuti irama gitar yang dimainkan oleh Raka. Sedangkan

Alan dan Aji mengayunkan badannya ke kanan dan kiri mengikuti irama lagu yang dinyanyikan.

Raka menghentikan petikan nya pada senar gitar. "Gue mau nyanyi, nih!" ujarnya.

"Gue udah sakit perut sebelum dengar lo nyanyi!" kata Kiya menatap Raka. Raka tidak peduli pada Kiya yang masih saja terlihat cuek padanya, Raka semakin tertantang mendekati cewek seperti Kiya.

JREENG..

"Ku tuliskan kenangan tentang, caraku menemukan Akhiya...,"

Kiya membelalakan matanya.

"Tentang apa yang membuatku mudah, berikan hatiku padanya. Takkan habis sejuta lagu untuk menceritakan cantiknya. akan teramat panjang puisi tuk menyuratkan cinta ini...,"

Riri, Alan dan Aji menahan tawanya ketika melihat ekspresi wajah Kiya yang cemberut namun pipinya memerah.

Tukk!

"Sud— AAAWW..!!" Raka mengusap kepalanya yang terasa sakit akibat Kiya yang menimpuknya menggunakan batu krikil.

Padahal dia ingin menunjukan sifat romantis yang dimilikinya. Tapi, kenapa Kiya tidak bisa di ajak romantis sebentar. "Kok kamu jahat sih, sayang."

"Ngarang lagunya gak kreatif!" Kiya mengalihkan pandangannya pada Raka saat dia mengetahui bahwa Raka menatapnya lirih.

"Sini gitarnya!" Kiya mengambil paksa gitar yang berada pada dekapan Raka lalu memberikannya ke Aji.

"Loh kok lo kasih ke gue, sih? Raka lagi mau nyatain cinta nya tuh."

"Lo aja yang nyanyi! Atau, gue balik ke tenda. Sekarang!"

Raka melotot saat Kiya hendak berdiri. "Udah cepet, Ji," serunya. "Urusan tembak menembak mah gampang. sekali panah, langsung jatuh cinta dia." bisik Raka pada Aji dan Alan.

Tangan Kiya terkepal, di dalamnya sudah ada batu krikil yang diambilnya. "Mau ditimpuk lagi?"

"Ampun, sayang! aku gak nakal, kok."

"Makan tuh sayang!" Kiya melemparkan krikil digenggamannya kepada Raka, namun meleset ke arah Aji disebelah Raka.

Aji mendecak kesal. "Latihan ngelempar dulu sono, Ki," Kiya hanya tertawa kecil menanggapi.

SREKK..!!

Rumput di belakang Kiya yang lumayan tinggi bergerak menimbulkan suara aneh membuat Kiya refleks bergeser dan mencengkram tangan Raka. Kepalanya di tundukkan hingga berada tepat di depan dada Raka.

"Apaan tuh? Coba cek lan!" perintah Aji. Karena Alan adalah penanggung jawab kegiatan, Alan segera berdiri dan berjalan ke arah rumput yang tadi bergerak-gerak.

Kiya tersadar pada tubuhnya kini yang sudah berada didekapan Raka. Kiya segera melepaskan genggaman tangannya dari lengan Raka dan duduk tegak kembali.

"Modus, ya!" ujarnya.

"Iya, anget!"

Kiya menghembuskan nafas panjang. Sabar menghadapi sifat Raka yang makin hari makin aneh.

"Anjir bikin kaget lo! Ngapain di situ?" kata Alan pada seseorang dibalik rumput yang adalah adik tingkatnya di Mapala, Andre.

Andre tertawa pelan sambil berdiri. "Saya lagi cari kodok, Ka, buat praktek matkul."

Alan mengusap dadanya sambil menggelengkan kepala. "Besok lagi aja carinya. balik ke tenda!" Andre menggangguk lalu berjalan pergi meninggalkan semak-semak.

"Ada-ada aja tuh gebetan lo, ji," ceplos Alan

Aji yang sedang mengobrol dengan Riri sontak menoleh ke Alan yang duduk disebelahnya. "Hah? Gila lo ya. Emangnya gue gay? Kalau gay udah gue perawanin lo dulu, Lan." ceracaunya.

Kiya terbahak-bahak melihat ekspresi Aji yang siap meninju Alan habis-habisan.

Aji berdiri lalu meniban tubuh Alan dengan tubuhnya hingga Alan tersungkur ke depan. Kelakuan dua sahabat itu mengundang gelak tawa pada Raka, Riri dan Kiya. Raka tidak melewatkan kesempatan ini begitu saja, dia mengambil handphonenya lalu membuka aplikasi kamera dan mengambil gambar Kiya yang sedang tertawa lepas dengan mata yang menyipit.

Malam seakan menjadi saksi kedekatan antara Aji, Alan, Riri dan yang utama adalah Raka dan Kiya yang semakin dekat. Bintang dan bulan terasa seperti sinar matahari yang menyegarkan, namun karena hari sudah larut malam, mengharuskan segerombolan anggota Mapala masuk kedalam tenda karena intruksi dari Kakak tingkat sekaligus Penanggung jawab yaitu, Alan.

****

Jam menunjukkan Pukul 06.00 WIB. Semua anggota sudah siap memulai kegiatannya untuk menuju puncak Gunung Slamet. Alan meemecah menjadi beberapa kelompok agar tanggung jawab Alan tidak begitu besar.

"Gue, Riska, Ailin, Gino, Panji, Putri, dan Lisa kelompok satu!" Nama yang disebutkan memisahkan diri dan berkumpul pada kelompoknya. "Riri, Aji, Jihan, Amel, Bagas, Dino kelompok dua!"

"Riri, kita pisah, ya!" ujar Kiya memasang wajah puffy face nya. Membuat Raka yang berada di sebelahnya gemas ingin mencubitnya.

"Raka, Olivia, Dilla, Kiya, Rafly, Hilma, kelompok tiga!" Raka yang mendengar namanya disebut bersama Kiya, bersorak kegirangan. "penanggung jawab kelompok satu, gue. Dua, aji. Tiga, Rafly." Semua yang disebutkan namanya mengangguk-angguk setuju.

"Gak bisa!" protes Raka.

"Kenapa?"

"Kiya tanggung jawab, gue!" Semua terkekeh mendengar ucapan Raka yang terdengar berlebihan.

"Terserah!" ucap Alan pada akhirnya. "Yuk, jalan!"

Semua mulai Berjalan mengikuti arah yang ditujunya. Kiya berjalan pelan, sengaja memperlambat langkahnya agar tidak beriringan dengan Raka yang satu kelompok bersamanya.

Raka yang menyadari Kiya tertinggal jauh di belakang akhirnya berhenti berjalan untuk menunggu Kiya. "Sayang, kamu capek?" ujarnya mencoba menyejajarkan langkahnya dengan Kiya.

"Ya tuhan, kok dia lagi." Kiya menggerutu dalam hati.

"Bisa gak sih gak usah panggil-panggil sayang? Geli tau, gak!" Kiya berjalan cepat dan berbelok. Dia tidak peduli jika harus berpisah dengan kelompoknya.

Raka berjalan santai menyusul langkah Kiya. "Kiya, kita salah jalan!" Kiya mendadak berhenti berjalan membuat Raka menghela nafas lega.

"Mana yang lain, Raka?"

Raka menolehkan kepalanya ke belakang. Tidak ada segerombolan kelompoknya. Hanya Raka dan Kiya saja yang berada disini

Raka berjalan mendekati cewek yang sekarang sedang dihadapannya. "Kamu sengaja, ya? biar kita berduaan?" gumamnya.

Kiya berjalan mundur. "Hah?" ujarnya pelan.

Kiya berhenti berjalan saat tubuh belakangnya bersentuhan dengan pohon besar. Raka tersenyum jail lalu terus mengapit tubuh Kiya. "Jangan macem-macem, ya!"

Raka mendekatkan wajahnya dan berhenti tepat di sebelah telinga Kiya. "Cuma satu macem aja, sayang." Kiya membelalakan matanya sempurna saat sesuatu yang basah menyentuh lehernya.

Kiya terdiam. Dia merasakan tubuhnya menegang seketika saat mendapatkan perlakuan Raka yang menurutnya sangat keterlaluan. Namun detak jantungnya yang berdetak dengan kencang membuat Kiya semakin ingin menjauhi Raka. Kiya tidak menyukai tipikal cowok seperti Raka, yang sangat tidak menghargai dirinya.

"Raka..." panggil Kiya pelan.

Suara Kiya yang terdengar lembut membuat Raka menjauhkan bibirnya dari leher jenjang Kiya. Tidak sampai situ saja, Raka makin mendekatkan wajahnya dengan wajah Kiya membuat cewek itu menutup kedua matanya karena tidak berani menatap wajah Raka dengan jarak sedekat ini. Tidak butuh waktu lama bibir Raka menyentuh permukaan bibir Kiya yang kenyal.

Kiya mendorong tubuh Raka dengan keras dan menamparnya. "Gila ya lo?"

"Sorry, Ki."

"Heran deh gue. Kok, ada ya manusia kaya lo! Otak nya dipenuhin sama kemesuman. Lo udah mencoret harga diri gue, tau gak? Pokoknya gue benci lo! Awas ya lo berani ikutin gue, lagi. Abis lo ditangan kakak-kakak gue!" Ujar Kiya galak. Dia segera melangkahkan kakinya meninggalkan Raka.

"Ah, nih bibir nyosor aja lagi!" Raka memukul bibirnya pelan. Dia segera berlari mengejar langkah Kiya. Raka takut jika terjadi sesuatu pada Kiya jika dibiarkan sendirian ditengah hutan.

Sambil berjalan, Kiya menghentakan kakinya dengan kesal. "Dia fikir gue cewek apaan? enak aja dicoba-cobain! Nanti gue harus bilang apa sama Putra, kalau ternyata bibir gue udah gak perawan lagi buat dia."

Dari kejauhan, Raka memperhatikan Kiya.

Raka bersembunyi dibalik pohon besar saat Kiya menoleh ke belakang. Dia benar-benar takut jika Kiya mengetahui keberadaannya bisa saja cewek iyu tidak ingin berteman lagi dengannya.

"Aww!" Kiya meringis kesakitan saat kakinya tidak sengaja tersangkut pada ranting pohon dan membuatnya terjatuh. "Tuh kan jahat, siapa yang taro ranting disini, sih? Gak kasian sama Kiya, ya?"

Tidak sadar, Kiya menangis. Sebenarnya dia sangat takut jika harus sendirian di hutan. Sekarang Kiya juga merasakan kakinya seperti terkilir, membuat Kiya susah berdiri apalagi berjalan lagi. Tangis Kiya makin pecah, membuat nafasnya tidak beraturan. Kiya yakin, siapa saja yang ada disini, jika mendengar suara tangisan Kiya pasti mengira bahwa Kiya hantu yang sedang patah hati. Kiya tersadar bahwa tidak ada siapa-siapa disini, pikiran negatif tentang binatang buas yang akan menjadikannya mangsa mulai mengguncang otaknya. Kiya meringis.

Tangan Raka terlulur tepat didepan wajah Kiya. Kiya mendongak ke atas untuk melihat siapa pemilik tangan itu. Kiya segera mengusap air mata yang membasahi pipi hingga dagunya.

"Ayo!"

Kiya bersidekap. "Gak mau!"

Raka mendecak kesal. Dia langsung mengangkat tubuh Kiya dengan posisi tangan kanan Raka menopang punggung Kiya, sedangkan tangan kirinya berada dibalik lutut Kiya.

"TURUNIN GUE RAKA..!!"

---

avataravatar
Next chapter