14 Tentang Kakaknya, Doni.

Makan malam kali ini terasa lebih sepi dari biasanya, karena tidak ada Bima. Biasanya Bima lah yang membuat Kiya kesal dan berakhir dengan ocehan-ocehan panjang dari Kiya. Walaupun Bima selalu membuatnya kesal, namun Kiya lebih sering merindukan sosok Bima yang bagaikan pelangi dikeluarga mereka. Kiya benci pada kesunyian di keluarga ini. Kiya merasa keharmonisan yang dulu sempat terasa dan sekarang menghilang karena kesibukan dari seluruh anggota keluarganya.

"Selesai!" Doni menengguk habis air minum dihadapannya, lalu berdiri dan hendak pergi meninggalkan anggota keluarganya yang masih menyantap makan malam mereka.

"Doni!" suara barinton milik Adrian menghentikan langkah Doni yang hendak meninggalkan meja makan. "Papa perlu bicara!" tegasnya sembari berdiri dan berjalan meninggalkan ruang makan, diikuti dengan Doni dibelakangnya.

"Mah,"

Amelia mendongakkan kepalanya yang tertunduk seraya mengunyah makanannya dengan sangat pelan. Dia menatap mata anak gadisnya yang menuntut penjelasan darinya.

"Ada apa dengan Kak Doni dan Papa?"

Amelia mengambil air minum di depannya lalu di minum. Kedua matanya masih menatap Kiya dengan teduh, kepalanya ikut menggeleng pelan. "Tidak ada apa-apa, Sayang. Hanya masalah pekerjaan."

Kiya menghembuskan napas panjang. "Syukurlah, aku kira ada sesuatu yang serius." Kiya mengambil gelas berisikaan air jeruk buatan Amelia yang sengaja untuk anak gadisnya itu. "Aku keatas duluan ya, Ma, mau kerjain tugas."

"Iya, sayang."

Kiya berjalan meninggalkan Mama nya yang kini juga sedang merapihkan bekas makan malam mereka bersama dengan Bi Diah asisten rumah tangganya. Sambil berjalan, Kiya dikit-dikit menengguk air jeruk digenggamannya dengan hati-hati.

"Tapi aku mencintainya, Pa!"

"Karirmu lebih berharga dari apapun, Doni! Coba dengarkan semua ucapan Papa dulu, itu yang terbaik untuk kamu dan masa depan kamu nantinya!"

Samar-samar Kiya mendengar suara Papa dan Saudara kandungnya seperti sedang beradu argumentasi. Dia memandangi pintu ruang kerja Papanya yang sedikit terbuka. Dengan langkah pelan, dia menghampiri pintu itu dan mengintip ruangan Papanya dengan jantung yang berdetak lebih cepat dari biasanya. Rasa penasarannya lebih besar daripada rasa takut itu sendiri.

"Kenapa Papa selalu melemparkan tanggung jawab Papa ke aku? Papa belum puas dengan hasil yang selama ini didapatkan perusahaan karena campur tangan aku?"

"It—"

"Pah! Aku sudah cukup dewasa untuk mengambil langkah ini. Papa sudah berjanji, bukan? Papa akan mengizinkan aku menikahi Clara saat dia lulus dari sarjananya! Sudah sebulan dari hari kelulusannya, aku belum juga menyiapkan acara yang sudah aku janjikan kepadanya dan keluarganya!"

Adrian memegang dadanya yang terasa sesak. Tangannya terangkat mengusap wajahnya sembari menghembuskan napas panjang. "Dia masih terlalu kecil untuk kamu."

Doni melotot kaget. "Alasan konyol apa lagi ini, Pa?" Dia memijit pelipisnya yang sudah berputar, kepalanya semakin pusing akibat ucapan Adrian. "Anak Papa bukan hanya aku, kan? Ada Bima yang siap untuk Papa berikan tanggung jawab diperusahaan Papa! Bahkan Papa menuruti kemauan Bima untuk meneruskan cita-citanya menjadi dokter. Papa selalu saja menuntut aku! Padahal sudah banyak yang aku korbankan untuk menuruti semua kemauan Papa! Yang jelas aku akan tetap menikah dengan Clara!"

Doni berjalan kearah pintu dan menyentuh gagang pintu, tapi kemudian kepalanya menengok kesamping tanpa menatap Adrian yang kini sedang terduduk di meja kerjanya dengan posisi tangannya yang terangkat untuk memijat pelipisnya. "Surat pengunduran diri akan Doni siapkan secepatnya!"

Sedangkan Kiya masih terdiam ditempatnya. Tatapan matanya fokus pada pintu ruang kerja ayahnya, namun tiba-tiba tergantikan dengan sesosok dada bidang milik Doni. Dengan hati-hati, Kiya mengangkat kepalanya dan bertemu dengan manik mata yang sedang menatapnya curiga. Dia buru-buru menggeser tubuhnya ke belakang, lalu Doni dengan langkah santai berlalu meninggalkan Kiya yang masih diam berdiri di depan ruang kerja Papanya.

"Kak Doni," suara serak Kiya mengintrupsi langkah Doni agar berhenti.

Doni terdiam dengan matanya yang terpejam. Sangat sulit baginya bersifat manis di depan adik bungsunya ketika dirinya sendiri sedang dilanda emosi yang begitu besar terhadap Papa mereka. Dia berusaha menetralkan debaran jantungnya yang seakan ingin meledak saat ini juga, sebelum akhirnya dia memutuskan berbalik dan tersenyum hangat ke arah Kiya yang hanya beberapa langkah berdiri dihadapannya.

"Ada apa, sayang?"

Kiya tersenyum lega saat menatap manik mata saudara kandungnya yang teduh dan mendamaikan hatinya. Sosok dewasa Doni mampu membuat Kiya mengharapkan sesosok pendamping hidupnya kelak adalah seseorang yang mempunyai sifat seperti Kakak sulungnya itu.

"Kiya harap Kakak gak akan salah dalam mengambil keputusan. Mungkin Papa terlalu mempercayai Kak Doni, sehingga Papa melemparkan tanggung jawabnya pada Kakak. Karena Kiya juga tau, bahwa hanya Kakak yang mampu menyelesaikan setiap masalah dengan kepala dingin. Papa sangat menyayangi Kakak,"

Doni terkekeh mendengar nasehat adiknya. Kiya mengerutkan keningnya bingung, karena dia sedang tidak bercanda. "Jangan suka mengambil kesimpulan lalu berpendapat pada setiap masalah yang sama sekali belum kamu ketahui pokok permasalahannya!"

SKAKMAT!!

Kiya kembali terdiam dan merutuki setiap perkataan yang dia ucapkan sedari tadi kepada Doni. Dia memang merasa bodoh karena memberi pendapat, padahal sebenarnya dia tidak terlalu jelas mendengarkan pembicaraan tadi didalam. Pokok permasalahannya pun Kiya tidak tau dimana.

Doni menggeleng pelan lalu berbalik dan melanjutkan berjalan, menuruni anak tangga dan cepat-cepat keluar dari rumah yang membuatnya gerah. Kiya tersentak saat pintu utama sengaja ditutup dengan kencang oleh Doni.

****

Kiya memutuskan untuk menggeser slide answer saat kurang lebih sepuluh panggilan yang dia acuhkan dari cowok menjengkelkan. Baru saja dia meletakkan ponselnya ke telinga, suara cowok diujung telpon membuatnya meringis dan menjauhkan ponselnya sembari meniupkan kepalan tangannya dan meletakkan nya pada telinganya yang berdenyut.

"KIYA!! KAMU MASIH NAPAS KAN DISANA? HALLO!! HALLO!!"

Kiya melotot. Ujung ponselnya didekatkan pada bibirnya. "Lo nyumpahin gue mati?"

"Oke lupain! Aku minta maaf karena udah ingkar janji sama kamu." Suaranya terdengar sendu, membuat Kiya mendengus sebal.

"BODO AMAT!! Gue angkat telfon dari lo karena gue rasa ada sesuatu yang penting. Tapi kalau gak penting, gue berniat memutuskan sambungan ini secepatnya!" ancam Kiya seraya memerhatikan layar laptopnya yang menyala.

"Tunggu, tunggu!! Ini sangat urgent! Kamu sendiri tau kan? Kita akan membahas tentang hubungan sehidup-semati kita, sayang..."

"Iya. Gue hidup, lo MATI!" selesai mengatakan itu, Kiya menutup laptopnya dengan kesal. Kemudian dia merebahkan tubuhnya ke kasur yang masih terasa empuk hingga saat ini.

"Aduhai, kayaknya wajah kamu tambah manis kalau lagi kesal kaya sekarang. Aku jadi mak—"

"Fix Gak penting. Gue tutup ya!"

"Eh, tunggu!" suara Raka menghembuskan napas panjang terdengar oleh Kiya, ponselnya diletakkan disebelah kepalanya yang menatap langit-langit kamarnya. "Aku benar-benar merasa bersalah, Ki,"

"Emang lo salah!"

"Gimana kalau besok aja kita kesana. Ter—"

Kiya tersenyum miring. "Maksudnya, lo mau ngebujuk gue nih?"

Disana, Raka terkekeh mendengar ucapan Kiya yang pintar menebak-nebak pikirannya dengan cepat. Kedua matanya menangkap sosok Tara yang baru datang dengan membawa dua kantong plastik digenggamannya.

"Lo lagi telfonan? Sama siapa?" Tatapan dan suara Tara terdengar mengintimidasi.

Raka meletakkan telapak tangannya pada ujung ponselnya dan menutupnya. "Calon istri." Katanya sedikit berbisik, Tara yang mendengarnya hanya menggelengkan kepalanya sambil terkekeh pelan.

Sedangkan Kiya masih menunggu Raka untuk kembali bersuara, berniat untuk memutuskan sambungannya namun diurungkan kembali mendengar suara hatinya yang menyuruhnya untuk bersabar sedikit.

"Heemmmm—mungkin,"

"Gue gak mau ah!" tegasnya.

"Wah, padahal tadinya aku berniat kita cari makanan atau mainan dulu untuk dibawa ke panti, terus beli es krim buat anak-anak. Pasti mereka senang banget, gak kebayang deh sama wajah sumringah mereka kalau tau kita dateng ngebawain banyak barang untuk mereka. Tapi kamu marah, jadi aku aja deh sendiri yang kesana." Suara Raka terdengar sendu, sebenarnya dia hanya berniat untuk membuat Kiya berubah pikiran dan memutuskan untuk ikut bersamanya lagi.

"Lo nyebelin banget ya!"

"I love you too, Akhiya Nabila."

Jika Kiya dapat melihat Raka, sekarang dia sedang berjalan gontai menuju kamar mandi dengan handuk yang sudah melingkar pada lehernya.

Kiya mendengus kesal. Tanpa sadar sudut bibirnya terangkat, mengingat tingkah Raka yang sedikit gila. "Gue ikut!" ujarnya final.

Raka menyeringai mendengar suara Kiya dari ujung telepon. "Emm—Kamu nakal, ya?"

"Kok nakal?"

"Tau aja kalau sekarang aku mau mandi, pake mau ikut segala lagi. Sabar ya, ijab qobul dulu."

"IIIIH RAKAAAA!!"

Tutttutttt

Raka refleks memekik kaget saat suara teriakan melengking Kiya memenuhi gendang telinganya. Setelah itu sambungan telpon terputus karena Kiya yang sudah tidak tahan dengan semua percakapan dengan Raka yang berujung pada kemesuman. Raka tertawa pelan, lalu menutup pintu kamar mandinya, membiarkan ponselnya ikut mandi bersamanya.

Sedangkan Kiya sendiri tidak dapat menahan senyumnya saat ini. Di satu sisi, dia memang tidak menyukai pembicaraan kotor yang selalu Raka ucapkan, namun di sisi lain, percakapan itu mampu membuatnya tersipu malu lalu berujung pada pipinya yang ikut bersemu.

avataravatar
Next chapter