13 Telepon Misterius

"Excuse me?"

"Yes. I—" Raka melotot kaget ketika melihat kakaknya sudah berdiri disampingnya sambil terkekeh pelan. "Gue kira lo hantu." Katanya.

"Gak ada hantu ganteng kayak gue!"

Raka hanya berdehem membalas ucapan kakaknya yang sama sekali tidak berubah. Dia berbalik dan berjalan keluar Bandara menuju mobilnya, diikuti oleh Tara yang berjalan beriringan dengannya, tapi tidak ada obrolan atau sekedar basa-basi diantara mereka.

Saat sudah berada didalam mobil, Raka menjalankan mobilnya meninggalkan halaman Bandara yang lumayan luas. Sesekali matanya melirik Tara yang sedang melamun menatap mobil yang berjalan berlawanan arah melalui kaca mobil.

"Lo mau ke rumah atau—" Raka menggantungkan perkataannya, membiarkan Tara menjawabnya sendiri tanpa perlu ditanya.

"Ke apartement gue!" ujar Tara yang masih menatap keluar kaca mobil. "Gue mau lo tutup mulut soal kedatangan gue ke Indonesia!" lanjutnya.

Raka menaikkan sebelah alisnya tidak mengerti, dia adalah bagian keluarganya. Harusnya kedatangannya kali ini akan sangat berpengaruh dengan keadaan rumahnya yang sekarang terasa sepi. "Gue gak ngerti!" timpal Raka.

Tara menghembuskan napas panjang lalu menatap ke Raka yang sedang fokus pada jalan didepannya. "Gue gak mau Ayah tau kalau gue kesini!"

"Jadi lo belum kasih tau Ayah?"

Tara hanya membalasnya dengan anggukan kecil.

Pikiran Raka kembali menimbang-nimbang tentang masalah apa yang sedang dialami oleh saudara kandungnya ini. Dia tidak mengerti kepada pemikiran Tara yang seakan tidak memedulikan Ayahnya lagi, setelah masalah yang membuat mereka bertengkar.

Raka menghentikkan mesin mobilnya tepat dibasement apartement Tara, dia ingin mengobrol lebih panjang dengan kakaknya. Tara sudah terlebih dahulu keluar dari dalam mobil dan berjalan meninggalkan Raka yang baru keluar dari dalam mobilnya. Setelah mobilnya sudah terkunci, dia mengejar Tara yang hampir hilang dari pandangan matanya.

​Raka mengatur deru napasnya yang tidak beraturan saat sampai di depan pintu apartement Tara. Tara sudah lebih dulu masuk, dan Raka menyesali pergerakannya tadi yang berlari dari basement apartement yang akhirnya tidak dapat mengejar langkah Tara yang besar. Dia membuka knop pintu kemudian segera masuk ke dalam.

Tara keluar dari dalam kamarnya, sudah mengganti pakaiannya menjadi lebih santai dengan kaos putih polos dan celana pendek.

"Lo abis lari maraton?" tanya Tara sambil berjalan ke arah dapur.

​"Habis ngejar maling!" Raka duduk disofa ruang tengah. Jarinya menekan tombol power pada remote televisi dihadapannya.

"Maling?" Tara berjalan ke arah sofa yang diduduki Raka sambil membawa satu botol minuman dan gelas.

"Maling hati gue!" jawab Raka ambigu.

Tara terkekeh. "Pikirin skripsi, Rak,"

"Gue nginep sini ya?"

"Boleh."

Raka mengganggukan kepala seraya meminum gelas yang sudah diisi minuman oleh Tara. Yang mempunyai masalah memang hanya Ayah dan kakaknya, tapi itu bukan berarti Raka juga harus menjaga jarak kepada Tara yang mulai menjaga jarak pada Rafael. Dia sadar, setiap masalah pasti ada jalan keluarnya, Raka yakin bisa mempersatukan lagi keutuhan keluarganya. Sebelumnya Bunda nya lah yang selalu jadi penengah disetiap keributan. Dan sekarang, Raka lah yang harus menggantikan sosok Bundanya, mencairkan tebing es tinggi diantara Rafael dan Tara.

****

Dua jam Kiya menunggu Raka dikampus, ditemani oleh buku novel kesukaannya. Tadi Riri sudah mengajaknya pulang bersama, namun dengan sikap amanah yang dimilikinya, akhirnya Kiya tetap menunggu Raka hingga cowok itu menghubunginya balik.

Sekarang jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Sudah hampir dua puluh kali Kiya menghubungi nomer Raka, namun tidak kunjung diangkat. Sedangkan Raka masih bergulut dengan selimut yang menutupi sebagian kakinya, handphone nya di silent, kebiasaan Raka ketika hendak tidur, katanya agar tidak ada yang mengganggu di setiap tidur nyenyaknya.

Kiya berdiri dan mengambil tasnya, dia berjalan keluar kelas dengan kaki yang dihentakkan dan wajah yang sudah memerah karena marah. "Awas ya lo!" gerutu Kiya di sepanjang kakinya melangkah.

Kiya memberhentikan taksi yang lewat didepannya. Tidak butuh waktu yang lama untuk sampai kerumahnya. Sesampainya didepan gerbang rumahnya, dia langsung masuk ke dalam rumah yang berwarna putih tulang, dia menaiki tangga penghubung ke arah kamarnya dilantai dua.

Kiya menghempaskan tubuhnya ke ranjang, menatap langit-langit kamarnya dan balon yang disetiap ujungnya terpasang foto Kiya bersama dengan mantan kekasihnya. "Kapan aku bisa lupain kamu, Put?" ucapnya lirih.

Kiya menelungkupkan tubuhnya dan tangannya terulur mencari ponsel didalam tasnya. Dahi Kiya berkerut saat melihat ada tiga panggilan tak terjawab dengan nomer yang tidak dikenal. Dia mencoba menghubungi balik nomer itu, dia berpikir bahwa itu adalah nomer telpon Bima yang baru, karena memang Kakaknya itu suka mengganti nomer telpon seenaknya.

Saat sambungan terhubung, tidak begitu lama Kiya menunggu hingga akhirnya diangkat.

"Hallo?" Kiya menyapa seseorang diujung telpon.

"...."

"Hallo, siapa ya?"

Kiya terbangun kemudian duduk dengan kakinya yang dilipat bersila dan mengambil bantal untuk diletakkan diatas pahanya.

"Hallo?"

Kiya masih sabar menunggu lawan bicaranya di telpon itu menjawab. Namun tiba-tiba sambungan terputus begitu saja membuat Kiya memincingkan sebelah alisnya.

"Gak jelas!"

Kiya melempar ponselnya ke sudut kasur, lalu membaringkan kembali tubuhnya sembari bernostalgia bersama foto yang berada dihadapannya. Kenangannya kembali melintas saat Kiya memejamkan kedua matanya.

Tok..tok..tok..

Suara ketukan pintu dari luar kamarnya membuat Kiya refleks membuka mata kemudian segera membuka pintu kamarnya yang terkunci. Kiya memberikan cengiran saat menghetahui bahwa Doni lah yang mengetuk pintunya.

"Tumben dikunci."

Kiya menghela napas sebelum akhirnya menggerutu. "Habis ya ka, Bima itu suka lancang masuk kamar aku, terus ngambilin barang-barang aku kaya maling, apalagi kalau aku suka lagi dikamar mandi, dia suka rekam suara aku pas lagi nyanyi gitu kak! Sumpah ya—"

"Kiya!"

"Nanti dulu, Kiya belum selesai bicara. Terus dia juga suka gangguin Kiya ngerjain tugas, makanya sekarang pintu suka Kiya kunci aja, kan Kiya jaga-jaga. Apalagi kan sekarang dia mau balik kan? Dia udah selesai kan pergi kemana tuh ya? Ah Kiya—"

"Cukup Kiya!" tegas Doni gemas pada adik bungsunya yang tidak berhenti mengoceh. "Makan malam sudah siap!"

"Oke, Kiya mandi dulu sebentar." Kiya berbalik dan melangkah masuk kedalam kamarnya.

"Lama dong, Ki,"

Kiya melepaskan blazer abu-abu dari tubuhnya, lalu menggantungkan pada belakang pintu kamarnya. "Sebentar kok. Kakak duluan aja." Dia mengambil baju didalam lemarinya kemudian masuk ke dalam kamar mandi dan menguncinya. "JANGAN REKAM SUARA AKU, YA, KAK!" teriaknya dari dalam.

Doni menggeleng sambil berdecak. "Pede banget!" dia memutuskan untuk menutup pintu kamar Kiya dan pergi terlebih dulu ke ruang makan tempat keluarganya berkumpul.

Sekitar sepuluh menit Kiya sudah selesai menyegarkan tubuhnya yang terasa lemas. Sekarang dia sudah berada dimeja makan dengan kedua orang tua nya dan Doni. Bima sedang dalam perjalanan pulang ke rumah karena habis mengerjakan tugas kampusnya di luar ruangan bersama teman kelompoknya.

***

avataravatar
Next chapter