19 Kiya Diculik?

Ketika Bima baru saja menjatuhkan bokongnya ke sofa ruang tengah, tiba-tiba Doni berlari kecil menghampirinya.

"Kiya belum pulang? Bukannya kemarin kata mamah dia pergi sama teman-temannya?" Tanya Doni.

"Ck, Kalau gue tau untuk apa gue bertanya sama kalian semua? Orang sibuk!"

Doni tercekat mendengar ucapan Raka yang sinis. "Kita cari Kiya sekarang." Ucapnya sembari mengeluarkan konci mobil dari saku celananya. "Ayo!" ajaknya, mengulang.

Bima masih diam ditempatnya, menatap Doni yang sama khawatir dengannya.

"Kamu tunggu apa lagi, Bima?"

Bima berkacak pinggang. "Gue lagi nunggu ada orang yang menelpon lo untuk menyuruh lo segera datang ke kantor."

SKAKMAT!

Doni terdiam, meresapi perkataan Bima yang dengan telak menyakiti hatinya. Namun Dia juga kesal jika harus selalu di salahkan dalam keluarga ini, tangan kanannya mengepal. saat ini Dia benar-benar kesal pada Bima, menurutnya Bima sudah kelewatan. Dia sudah berkorban sejauh ini, membiarkan adik-adiknya menggapai semua mimpi walaupun waktu dan perasaannya harus rela di korbankannya.

"Apa maksud kamu?"

Suara derap langkah kaki terdengar mendekati kedua kakak-beradik yang sedang berdebat itu.

"Doni?"

Doni melirik ke arah Papanya yang sedang berjalan seraya membawa tas kerja. bersiap untuk ke kantor. Sambil berjalan, Adrian berbicara. "Jangan sampai telat untuk memimpin rapat pagi ini!" perintahnya.

Bima terkekeh sambil beranjak meninggalkan Doni dengan keterdiamannya. Bima memutuskan untuk mencari Kiya sendiri.

Untuk beberapa saat Doni akhirnya tersadar saat adik dan Papanya sudah berlalu meninggalkannnya diruang tengah. Perkataan Bima barusan terngiang di kepalanya saat ini. kepalan di kedua tangannya perlahan terlepas. Doni semakin menyadari ketidak bergunaannya dalam menjaga adik-adiknya. "Gue emang gak punya hati," bantinnya.

Doni sangat mngkhawatirkan Kiya, namun sebuah tuntutan pekerjaan membuatnya tidak bisa berbuat apa-apa. Diaa mengusap wajahnya kesal atas sikapnya sendiri. Doni sangat membenci situasi yang mengharuskan dirinya memilih. Jauh di dalam lubuk hatinya, batinnya begitu tertekan dengan semua keadaan yang  menuntut dan mengendalikannya. Dengan suasana hatinya yang tidak begitu baik membuat Doni merasa tidak dapat memimpin rapat pagi ini dengan baik, seperti yang di perintahkan Papahnya.

Suara motor Bima terdengar, melaju meninggalkan halaman. Hanya butuh waktu 15 menit Bima sampai. Di depan pagar rumah yang berukuran minimalis, Dia mematikan mesin motornya, lalu membuka helmnya. Bima turun dari motornya, kemudian segera berjalan membuka pagar dan menaiki beberapa anak tangga untuk sampai didepan pintu rumah itu.

Tok..Tok..Tok..

"Assalamu'alaikum." Bima memberi salam.

Terdengar suara dari lubang kunci hingga kemudian pintu pun ikut terbuka, memperlihatkan wanita dengan kerudung di kepalanya.

"Wa'alaikumsallam. Loh, Bima? ada apa, nak?"

Bima tersenyum tipis dan langsung meraih tangan kanan wanita yang seumuran dengan mamanya itu. Dia mencium punggung tangan wanita yang bernama Talia, mamah Riri.

"Aku mau cari Kiya, tante. Ada?"

"Kiya?" Talia mengerutkan alis dengan wajahnya yang bingung. "Oh iya, Riri kemarin izin pergi ke panti tempat temannya gitu bareng sama yang lain. Kiya juga ikut kan?"

"Iya, tante. Bima tau soal mereka pergi ke panti. Tapi Kiya belum pulang sampai sekarang. Riri udah pulang kah?"

"Tadi malam Riri telpon tante, Bim, katanya mau menginap. Memangnya Kiya enggak kasih kabar ke orangtuamu?"

Bima menghembuskan napas lega, kemudian tersenyum. "Oh, iya tante mungkin Mamah lupa kasih tau aku," Dia membela mamahnya, padahal kenyataan mamahnya saja tidak peduli jika anaknya tidak pulang. "aku khawatir aja. Takut ada apa-apa sama mereka."

Talia mengusap pundak Bima. "Tenang aja kali, Bim. Kata Riri mereka pergi sama kakak tingkatnya kok."

"Siapa, tante?"

"Aduh siapa ya, lupa tante." Talia mencoba mengingat-ingat "Kalau gak salah Dilan, atau siapa ya pokoknya belakangnya lan, lan, gitu."

"Oooohhhh ... Alan, tante?"

"Nah iya. Alan." Ucap Talia dengan yakin.

"Aku pamit dulu deh tante kalau begitu."

"Kok pulang? Gak mau minum-minum dulu? Ayo masuk, nak."

Bima menggeleng pelan, masih tersenyum. "Enggak usah tante, Bima mau kerjain skripsi belum kelar-kelar, tante." Bima segera mencium punggung tangan Talia lagi.

Tidak lupa Bima mengucapkan salam dulu sebelum kakinya melangkah kembali ke motornya.

Saat sudah di atas motornya, Bima menyentuh tombol klakson dua kali, hingga akhirnya meninggalkan perkarangan rumah Riri dengan motor ninja merahnya.

Bima mengendarai motornya dengan perasaan yang belum berubah, Dia masih khawatir karena Kiya belum mengabarinya sendiri sampai jam segini. Pikirannya kembali terganggu karena khawatir.

Nomer telepon Kiya pakai enggak aktif segala, batinnya.

Pandangannya ke jalanan yang ramai namun pikirannya singgah di tempat lain. Bima buru-buru menggelengkan kepalanya dengan cepat Dia berusaha mengenyahkan pikiran negative tentang adik bungsunya yang sedari tadi bersarang diotaknya. Lagi pula Kiya tidak pergi sendiri. Dengan kecepatan penuh Bima melajukan motornya dengan pikiran yang fokus kali ini, membawanya kembali ke rumah. Bima ingin segera menanyakan kabar Kiya langsung kepada Alan. Untungnya jalanan pagi ini begitu senggang. Akan lebih cepat Bima sampai di rumahnya.

****

Raka mengendarai mobilnya di hiruk pikuk kemacetan Ibu Kota. Suara ponselnya berdering menampilkan nama Alan di layar. Buru-buru Raka mengecilkan suara musik yang sedang di dengarkannya. Tangannya menggeser tombol Slide Answer.

"Hallo?"

"Gawat, Rak!"

"Gawat kenapa? Mau berak lo?"

"Serius tai."

"Hidup jangan terlalu di bawa serius lah, gak asik lo."

"Yeuh, si bangke!"

Raka terkekeh. Mobilnya memasuki parkiran gedung yang menjulang tinggi. Dengan lihai, Raka mengemudi. "Bentar ... bentar ..." ponselnya diletakkan pada jok disebelahnya. Parkiran yang padat tidak membuatnya kesulitan sama sekali.

Kaca jendela mobilnya di biarkan terbuka. Menampilkan wajahnya yang serius. Wajahnya yang tampan ditambah accesorism Kaca mata hitamnya membuat Raka terlihat sangat menawan. Setelah turun dari mobil, tangan kanan Raka terangkat, membawa rambutnya ke belakang. Kelakuan Raka membuat para wanita yang melihatnya diam terpesona. Dengan Ransel dipundaknya, Raka kembali berjalan memasuki gedung apartemen sambil menempelkan ponselnya ke telinga.

"Hallo?" Raka kembali bersuara. Dia melihat ke layar ponselnya. "Yeh si cumi malah dimatiin."

Raka masuk ke dalam lift dan mencoba menghubungi Alan kembali. Tidak butuh waktu lama, temannya mengangkat.

"Hallo. Gawat kenapa?"

*****

Kiya mengerjap. Kepalanya terasa sakit. Matanya kini terbuka dan langsung membuatnya terkejut saat melihat sekelilingnya adalah tempat yang asing. Kiya spontan terbangun. Matanya menjelajahi setiap sudut ruangan. Dindingnya yang dihiasi pajangan modern dan wallpaper di dinding dengan warna hitam dan putih. Kiya mencoba mengingat-ngingat kejadian yang membawanya ke tempat ini.

"Gue ini lagi di culik, ya?" tanyanya entah kepada siapa.

Kiya menjerit dalam hati. "KAK DONI!!!! TOLONG!!!"

Dengan segenap keberanian di dirinya, Kiya turun dari tempat tidur itu. Dengan sangat pelan Kiya menjaga langkahnya, berusaha untuk tidak menimbulkan suara sekecil apapun. "Kalau sampai ketahuan. Gue bisa di iket lalu di bunuh kaya di fil-film." Ceracaunya.

Kiya mengendap saat berhasil keluar dari dalam kamar tidur. Namun, jantungnya hampir copot ketika suara pintu terbuka terdengar. Dengan cepat Kiya membawa tubuhnya ke balik sofa, bersembunyi disana.

Tangannya Kiya terangkat, mendekap mulutnya sendiri saat laki jenjang melewati sofa tempat Kiya bersembunyi. Kiya berharap ini hanyalah mimpi buruknya saja. Sesekali kepalanya muncul untuk memastikan lelaki dengan badan tinggi itu menjauh dari posisinya saat ini.

Saat dirasa cukup aman. Dengan langkah seribu, Kiya melangkah dengan lebar ke arah pintu yang sudah ada didepan matanya.

CEKLEKK

Sebelum Kiya memegang knopnya, pintu sudah lebih dulu terbuka.

~~~~

avataravatar
Next chapter