15 Kisah Masa Lalu

****

Raka baru saja keluar dari kamar mandi dengan handuk yang digosokkan ke kepalanya.

"Lo mau kemana?" tanya Raka, sembari memerhatikan Tara yang sudah siap dengan jaket biru levisnya.

Tangan Tara terangkat dengan sisir digenggamannya lalu mulai menyisir rambut hitamnya ke belakang. "Pergi lah!"

Raka berdecak mendengar jawaban saudara kandungnya. "Gue juga tau kali."

Tara bergaya depan cermin yang ada di lemarinya. "Ya udah gak usah nanya!" ujarnya sambil memakai jam tangan di pergelangan tangan sebelah kirinya.

Setelah itu tidak ada lagi percakapan antara mereka, karena kesibukan masing-masing. Tara yang sedang mengikat tali sepatu nya dan juga Raka yang masih terlihat kesusahan karena mengenakan celana levis biru belelnya.

"Lo gak ada niat untuk kasih kabar ke Ayah dulu?" tanya Raka.

Tara terdiam dan berhenti sebentar dengan aktifitas mengikat tali sepatunya. Matanya melirik ke arah Raka yang sama sekali tidak memperhatikan ekspresi Tara yang sinis karena perkataan Raka yang begitu menyentil hatinya.

Tara bangun dari duduknya. "Gue berangkat dulu." Ucapnya dengan nada dingin.

"He'em"

Setelah Tara sudah keluar dari apartement miliknya sendiri, Raka tidak langsung ikut keluar menyusul Tara dan pergi bersama, dia memutuskan berjalan ke arah dapur dan mengambil bungkus mie instan di laci atas dekat kepalanya dan mulai merebusnya sendiri seperti anak kostan pada umumnya.

****

Kiya sedang berjalan dengan nampan yang dibawanya. Dia mendorong pintu ruang keluarga yang berada di lantai dua rumahnya dengan kaki. Saat pintu terbuka, terlihat teman-temannya sedang bersenda gurau bersama dengan Bima, kakaknya.

Sambil berlari, Cindy berteriak nyaring. "Kiyaaa!" rengeknya. Kiya berdecak saat Amel hampir menabrak nampan digenggamannya jika saja dia tidak langsung menghindar dari tubrukan Cindy, mungkin minuman mereka sudah tersungkur ke lantai. "Kak Bima reseee," ucapnya dari balik punggung Kiya.

Bima berjalan pelan ke arah Kiya dan Cindy dengan cicak yang berada diantara ibu jari dan telunjuknya seraya menggoyangkan nya pelan.

"Katanya berani dengan semua jenis binatang apapun."

"Kak Bima! Jorok, ih. Geli, tauk!"

Kiya memutar bola matanya dengan malas lalu kembali berjalan dan menyimpan nampannya di meja dan duduk di karpet bulu bersama kedua temannya. kemudian Manda dan Riri langsung mengambil gelas yang berisikan jus pesanan mereka tadi dan ditengguknya hingga habis.

Cindy menghampiri ketiga temannya dengan kaki yang dihentakkan. "Kiya jahat!" ujarnya kesal.

"Kalo gue jahat ya gue ada dikantor polisi."

Cindy mengernyit. "Berarti kita semua orang baik ya? Gue kan gak pernah ke kantor polisi juga. " gumamnya pada diri sendiri.

Manda mengangkat tangannya. "Lo emang gak cocok di kantor polisi mel. Cocoknya di--" dia menggantungkan kalimatnya sembari memerhatikan ketiga sahabatnya secara bergantian. "RSJ!"

Bima ikut menyahut. "Wow! Impresive,"

Seketika itu Ruang keluarga menjadi ramai karena ocehan para sahabat dan kakaknya. Suaranya nyaring hingga terdengar ke telinga Amelia yang sedang membaca majalah di ruang tengah. Amelia menggelengkan kepalanya sambil tersenyum lalu meminum air teh hangat di meja.

Bi Diah datang dari arah ruang tamu, lalu berhenti di samping sofa yang Amelia duduki.

"Ada temannya mbak Kiya, bu, di depan."

"Suruh masuk aja tamunya, bi, panggil aja Kiya diatas." Ujar Amelia sembari membalikkan lembar majalah yang dibacanya.

"Tadi sudah disuruh masuk tapi gak mau, katanya tunggu didepan aja gitu."

Amelia berdiri dan menyimpan majalahnya ke kolong meja. "Bibi panggil Kiya aja, saya yang nemenin temennya Kiya."

Bi Diah menegakkan tubuhnya spontan lalu tangan kanannya terangkat untuk hormat. "Siap, bu!" tegasnya, kemudian Amelia terkekeh sebelum akhirnya berjalan meninggalkan Bi Diah yang juga sudah mulai menaiki anak tangga menuju ke lantai dua.

Saat ketukan ke tiga, pintu ruang keluarga terbuka dan muncul sosok Bima, namun ketika Bi Diah ingn berbicara, Bima sudah terlebih dahulu meninggalkan asisten rumah tangganya itu, membiarkan pintu terbuka lebar dan memperlihatkan Kiya bersama teman-temannya tengah asik bermain dengan layar laptopnya.

Cindy yang menyadari kehadian Bi diah di ambang pintu, akhirnya menyikut lengan Kiya membuat si pemilik lengan meringis. "Tuh ada Bi Diah!"

Kiya melirik ke sudut matanya dan segera berdiri, berjalan menghampiri Bi Diah yang masih terdiam ditempatnya. "Ada apa, Bi?" tanyanya.

"Ehh—" Bi Diah mengerjap. "Ada temennya di depan mau ketemu mbak,"

Kiya memutar bola matanya malas. "Kiya aja kali Bi manggilnya. Emangnya aku mirip mbak-mbak ya?"

"Hehehe... iya non Kiya,"

"Terserah bibi deh,"

Kiya tersenyum sopan, kemudian berjalan menuruni satu-satu anak tangga. Sesampainya di tangga anak terakhir, Kiya sedikit berlari ke arah pintu utama yang terbuka lebar, tanpa ragu Kiya keluar dan mendapati Amelia yang sedang berbincang dengan lelaki bertubuh tinggi dan putih tengah memunggunginya.

Amelia berdencit kaget saat kedua bola matanya menangkap sosok anak bungsunya yang sedang berdiri dihadapannya, dibalik punggung lelaki itu. Dia meneguk ludah kemudian segera pergi meninggalkan Kiya dengan lelaki itu tanpa berbicara apapun lagi.

"Siapa ya?"

Lelaki itu berbalik dengan ragu, hingga tubuhnya sekarang berhadapan dengan Kiya, setelah sekian lama akhirnya dia dapat menatap mata coklat gadis itu lagi dengan jarak yang dekat.

Kiya terdiam dengan kedua tangan yang sudah menutup mulutnya, dia menggeleng sembari melangkah mundur. Oksigen terasa menipis, seseorang yang selama ini sudah dia lupakan dan semua kenangan yang sudah dikubur begitu dalam menampak lagi, meruntuhkan benteng yang sudah ia bangun selama ini sendirian. Kiya berbalik, berlari ke arah pintu dan masuk ke dalam, dengan cekatan tangannya menarik gagang pintu dan hendak menutupnya, namun tangan besar menahan gagang pintu itu dari luar agar tidak tertutup dengan rapat.

"Aku perlu bicara sama kamu, Ki," ucap lelaki itu, masih mendorong dengan kuat pintu besar dihadapannya. Dia baru mengetahui bahwa tenaga Kiya bisa dua kali lipat darinya. "Aku mohon, sebentar aja." Lanjutnya memohon.

"ENGGAK! KITA UDAH SELESAI PUTRA!" Kiya berteriak dari dalam dengan suara serak karena menahan air matanya akan akan terjatuh akibat sesak yang terlalu mendesak di dalam dadanya. "CUKUP PUTRA! KITA SELESAI."

Di anak tangga tengah ada Riri, Cindy, Manda dan Bima yang sedang memerhatikan dua orang yang dulu bermesraan kini salah satunya malah semakin menghindar.

"Dia siapa?" tanya Manda.

Dengan refleks Bima menatap Manda tajam, kemudian berjalan menuruni anak tangga, namun saat kakinya menginjak anak tangga terakhir, tangannya dicekal dengan kencang oleh Riri.

"Biar mereka selesaikan masalahnya sendiri dulu."

"Tap—"

BRAK!!

Pintu utama rumah terbuka dengan lebar, karena Kiya tidak mampu menahan tenaga Putra yang begitu kuat. Kini Putra dapat melihat Kiya yang sudah menangis dengan nafas yang naik turun, sesekali tangan Kiya terangkat untuk mengusap pipinya yang basah akibat air mata yang mengalir tanpa merasa bersalah.

****

avataravatar
Next chapter