3 Awal Perjuangan

Raka Candra Winata, cowok tampan si pemilik kampus. Raka sendiri tidak menyangka bisa mengagumi sosok Kiya, cinta pada pandangan pertamanya itu. Raka sangat mengingat bagaimana dia bisa mengenal Kiya, Kiya yang saat itu sering dilihat nya sedang termenung sendirian di taman di belakang kampus dan ketika Dosen menjelaskan di depan kelas. Raka juga sering melihat Kiya dengan sahabatnya yang dia tau bernama Riri. Kiya nampak bahagia jika bersama Riri, ciri tertawanya membuat Kiya jadi jauh semakin cantik. Raka tidak menyangka bahwa Kiya mempunyai sifat yang jarang dimiliki cewek lain. Contoh saja saat dia mendekati cewek itu. Sifat ketus seperti penggulat malah menjadi daya tarik tersendiri menurut Raka. Raka sadar bahwa dia benar-benar menyukai gadis itu. Ralat, maksudnya mulai mengagumi gadis itu.

Raka berbolak-balik di depan pintu gerbang Universitas Prawinata. Mata nya tidak lepas mengawasi sekitar, seperti seorang Security yang sedang bertugas.

Seseorang menepuk pundaknya membuat Raka sedikit terkejut, "Apa sih! jangan ganggu dong, Ji," kata Raka yang masih mengawasi sekitar.

Aji adalah sahabatnya sejak SMA. Aji memang sangat antusias masuk ke kampus ini padahal waktu itu dia masih menduduki bangku Sekolah Menengah Atas. Raka tidak memberitahu bahwa Ayahnya lah pemilik dari Universitas impiannya itu, hingga suatu hari Aji mengetahui nya sendiri dan tak henti memukul kepala sahabatnya itu menggunakan buku. Raka tertawa lepas mendengar penjelasan Aji yang seperti orang bodoh karena dapat dia bohongi.

Tentang Akhiya Nabila, yaps! Aji lah biang keladinya. Semua informasi lengkap Kiya mampu dia cari tau hanya untuk Raka, sahabatnya.

"Dia pasti dateng kok, anaknya rajin ikut kegiatan Mapala." bujuk Aji agar Raka masuk kedalam ruangan dan membantu Anggota lain untuk berkemas.

"Gak usah basa-basi deh! iya deh gue masuk bantuin yang lain. Hitung-hitung cari perhatian juga dari, Kiya."

"Iya, tapi kalau yang baper cewek lain, gimana?" goda Aji seraya menyenggol bahu Raka pelan. Raka berdecak kesal karena dia paling tidak menyukai yang namanya, di ganggu. Ya, walaupun dia sendiri adalah sosok pengganggu, bagi Kiya.

***

"Tolong bawain dong! aduh berat banget sih." Kiya sudah sampai di depan gerbang kampusnya, diantar taksi. Padahal tadi dia sudah meminta tolong Bima untuk mengantar nya ke kampus. Namun dia kesal jika Bima mampu menolak nya dengan Beribu-ribu alasan.

"Lagian mau ke Gunung tiga hari aja kayak mau liburan seminggu lo!" celetuk Riri kesal. Tangan nya mengambil kantong kresek milik Kiya. Kiya memang tidak bisa jauh dari cemilan di setiap harinya, tapi berat badan Kiya tidak berubah sedikit pun. Tetap body goals menurut kebanyakan cowok.

"Eh tuh ada kakak senior! minta bantuan sana, Ki,"

Bola mata Kiya mulai mencari sosok kakak senior yang di sebut Riri tadi. Namun sepertinya dia tidak mengenal sosok kakak senior itu.

"Emang ada senior baru yah?"

"Gue gak kenal. udah yuk masuk!" Sahut Kiya. Dia berjalan memasuki gerbang dengan membawa tas Gunung di punggungnya. Riri mencibir kesal. "Yaudah, sini gue yang bawa." Kiya mengambil kantong kresek yang berada di genggaman Riri.

Riri menghembuskan nafas lega lalu mengkretekkan ke dua tangannya hingga menimbulkan suara.

Wajah Kiya saat ini benar-benar tidak bisa dikontrol. Sedikit lagi dia akan sampai ke kelas tapi langkahnya makin melambat karena berat barangnya seperti melebihi berat badannya sendiri.

"Ada yang bisa aku bantu?" Raka muncul dari ambang pintu kelas menghampiri Kiya. Cewek itu melemparkan tatapan sinis kearahnya.

Kepala Riri muncul dari balik tubuh Kiya, karena tinggi Riri hanya sebahu cewek itu. "Iya nih, kak, butuh banget!" timpalnya. Riri tidak peduli dengan tatapan tajam dari Kiya yang seakan mengintruksikan untuk tidak menggubris semua omong kosong Raka.

Tanpa pikir panjang, Raka segera mengambil tas dari punggung Kiya dan Riri. Dia langsung membawanya ke bagasi bis travel. "Tuh kan! udah ganteng, ramah, tajir, gentle lagi." Riri memandang Raka dengan tatapan sama seperti cewek-cewek kampus. Yaitu, kagum.

Sambil berjalan, Kiya mencibir. "Tapi tetep aja sok kecakepan!"

"Dia emang cakep kali. Eh—engg.... ganteng malah!" kata Riri memprotes. Dia sangat tidak menyukai sifat Kiya yang satu ini. Seharusnya Kiya berterima kasih karena kakak senior itu tidak keberatan membantunya untuk membawakan tas berat sialan itu. "Move on dong dari masa lalu!"

"Masa lalu nya masih betah! Gak pengen pindah tempat singgah." Jawab Kiya dengan nada mengejeknya. Kiya berjalan cepat meninggalkan Riri yang masih dengan langkah lambatnya lalu masuk ke dalam kelas.

Sebelum sampai kelas, Raka datang menghadang langkahnya. "Hai," Kiya berjalan ke arah kiri untuk menghindar. Dia tidak mempedulikan kehadiran Raka sama sekali. Raka mengekor di belakang Kiya, sampai di dalam kelas. Kiya duduk di bangku kosong barisan ke dua, lagi-lagi Raka sudah menduduki bangku disebelahnya. Riri malah sedang bercengkrama oleh Kakak tingkat di depan pintu kelas.

"Kiya,"

"Apa sih?!"

"Galak banget." Raka tengah berpikir untuk membuka obrolan yang panjang dengan Kiya. "Kamu masih gadis atau udah janda?" tanya Raka tanpa ekspresi.

"Kayak lirik lagu."

"Emang! Hahaha.." Raka tertawa sendiri, namun tawa nya terhenti ketika melirik ke Kiya yang kini sedang menatapnya seakan jijik.

"Harusnya gue yang nanya ke lo! Cowok genit pasti ud—"

Ucapan Kiya terpotong dengan cepat oleh ocehan Raka. "Aku cowok tulen asli kok, gak percaya? Mau liat nih?" Kiya melotot mendengar kata Raka barusan. Tanpa butuh waktu lama Kiya sudah menghantam kepala Raka dengan tas kecil miliknya.

"KIYA! RAKA!"

Kiya dan Raka yang sedang asik mengobrol berdua sontak terkejut ketika namanya diteriaki seperti itu. Mereka menoleh bersamaan mencari si pemilik suara yang memanggil nya.

Raka langsung tertunduk malu seraya menggaruk tengkuk belakangnya yang sebenarnya tidak gatal. Kiya juga pura-pura memainkan handphone nya yang sama sekali tidak menyala. Mereka benar-benar malu saat anggota Mapala yang ingin keluar kelas jadi memperhatikan mereka berdua karena teriakan dari Aji.

"Kalian itu di suruh ke mobil aja susah banget, sana lanjutin di mobil ngobrolnya! kita mau berangkat!" ujar Aji dan hendak keluar kelas namun berhenti dan menoleh lagi ke arah Kiya dan Raka. "Ngapain masih disitu? Mau cari kesempatan karena kelas kosong?" goda Aji. Kiya segera berdiri lalu berlari meninggalkan ruangan kelas terlebih dahulu.

Sesampainya Kiya di dalam Bus Travel, mata nya menjelajahi seisi Bus. "Oh iya, si Riri mana?" Kiya bertanya-tanya sendiri pada dirinya. hingga berniat turun dari Bus yang sudah dia naiki untuk mencari sahabatnya yang mungkin tertinggal.

"Kiyaa!!" Kiya menoleh dan terkejut. yang benar saja, Riri duduk berdua dengan kakak seniornya? Lalu siapa yang menemaninya mengobrol di sepanjang jalan nanti? Kiya merutuki dirinya sendiri. Dia kesal dengan Riri.

***

"Kamu kaya lagi stres gitu, mikirin apa?"

Cowok disebelahnya ini tidak berhenti bertanya hal-hal yang sangat tidak penting. Kiya memilih untuk diam tidak menanggapi Raka disebelahnya. Sebenarnya Raka memang sudah merencanakan nya, dia meminta tolong pada penanggung jawab yang adalah teman satu fakultasnya, Alan.

Bus travel baru saja berjalan, namun sepertinya mata Kiya tidak dapat diajak kompromi. Jok nya terlalu nyaman, atau memang dia yang lelah mendengar ceracau dari Raka?

Kiya tertidur dalam beberapa menit. Kepalanya ikut bergerak mengikuti bus yang berbelok-belok, hingga akhirnya kepalanya terjatuh pada pundak Raka. Raka yang sedang mendengarkan musik di earphone nya dengan mata terpejam langsung terkejut ketika merasakan ada sesuatu yang berat menimpa pundaknya. Raka tersenyum mendapati cewek yang tadi tidak mempedulikannya sekarang kepalanya sedang berada tepat pada pundak kirinya. Raka menyelipkan rambut Kiya ke belakang telinga cewek itu karena menutupi sebagian wajah cantik nya ketika tidur. Raka memandangi wajah Kiya begitu serius. Mulai dari mata nya, hidung mungil yang mancung, kedua pipi chubby nya dan terakhir, bibirnya. Raka tertegun, sepertinya sudah tidak tahan ingin menangkup bibir ranum cewek itu dengan bibirnya.

"Jangan bodoh, Raka!" Batin Raka berucap.

"Nnghh.." Kiya mengerang dalam tidurnya. Raka segera mengelus kepala Kiya hingga dia tertidur lagi dengan nyaman.

Raka masih memperhatikan bibir bawah Kiya yang terbelah membuatnya semakin seksi. Jempol Raka menyetuh bibir bawah Kiya, mata nya dibiarkan terpejam hingga bibir kenyal Kiya berada pada bibirnya. Raka masih terdiam dengan posisinya, dia merasa sangat bahagia hari ini. Keputusan untuk ikut pada pendakian kali ini memang sedikit menguntungkannya.

"Rak,"

Raka segera menjauhkan posisi bibir dari bibir Kiya saat tiba-tiba kepala Aji muncul dari balik jok di depan Raka. Aji berniat untuk meminjam earphone Raka, namun tidak sengaja malah menangkap basah kelakuan sahabatnya dengan seorang cewek yang sedang tertidur pulas. Dia tidak bisa menahan senyum nya saat wajah Raka yang memerah karena dipergoki berbuat mesum di dalam Bus dengan adik junior di kampus.

"Ada apa ji?" Raka membuyarkan keterdiaman antara dia dan Aji. Raka mengalihkan pandangan nya pada jalanan di luar kaca Bus, karena malas melihat wajah Aji yang sedang tersenyum penuh kemenangan.

Aji terkikik. "Gak tahan yaa?" Dia menghela napas. "Nanti aja di tenda. lebih seru!"

"Berisik lo!" seru Raka kesal.

"Nggak apa-apa kali, Biar tambah seru kan kalau dia bangun." Aji tertawa pelan. "Dari pada tidur, dia juga gak bisa bales serangan dari lo."

Raka pun melotot. Aji langsung menenggelamkan kepalanya lagi di jok dan menghadap kedepan membenarkan posisi duduknya. Tapi suara ketawa nya masih dapat terdengar oleh Raka walaupun pelan.

"Nngh...," Kiya mengucek kedua matanya.

Ketika firasat Raka mengatakan bahwa Kiya akan terbangun dari mimpinya, dia segera menarik tangannya dari kepala Kiya lalu memejamkan kedua matanya dan tertidur. Kiya a menoleh ke arah kiri, mata nya segera terbuka lebar saat melihat wajah Raka dengan jarak sedekat ini. Kiya menghela napas lega setelah melihat Raka yang sedang tertidur pulas.

Kiya mengelus dada nya seraya menghembuskan napas pelan. "Syukur dia tidur jadi dia gak tau deh kalau gue pinjem pundaknya." batinnya kegirangan.

***

Pohon menjulang tinggi masuk ke dalam penglihatan Kiya saat turun dari Bis. "Akhirnya sampai juga!" Kiya membentangkan kedua tangannya ke udara agar angin sejuk lebih leluasa menerpa tubuh dan rambutnya yang beterbangan.

Riri datang dari belakang Kiya lalu berdiri di sebelah cewek itu. "Ambil tas dulu yuk, Ki," ujarnya.

Kiya menganggukkan kepala nya. "Ayo!" Riri berjalan terlebih dulu dan disusul oleh Kiya yang berada dibelakangnya.

Kiya melihat Alan sedang menurunkan tas anak-anak lain. Dia dan Riri segera menghampirinya. "Loh kok tas gue gak ada?" Kiya terkejut saat Alan menutup pintu bagasi yang kosong dan dia tidak menemukan tas hitam berpadu kuning miliknya.

"Jangan-jangan jatuh, Ki," kata Riri. Kiya menatapnya dengan pandangan lirih.

"Tapi gak mungkin! Masa tas gue aja yang jatoh!" Kiya memperhatikan satu-satu tas yang sudah diturunkan. siapa tau....nyelip?

Alan menangkap wajah Kiya yang terlihat cemas. "Lo cari apa, dek?"

"Tas gue kok gak ada ya, Kak? masa jatuh dijalan."

Alan mengernyit. "Tas yang kaya gimana?"

Kiya mencoba mengingat-ingat ciri tas miliknya. "Warna pinggiran hitam terus ada kuning nya gitu ditengah." Kata Kiya menjelaskan.

"Oh yang ada gantungan huruf P nya, bukan?"

Kia berdecak kesal. "Kenapa harus di perjelas gantungannya segala sih!" gerutu Kiya dalam hati.

"Iya, bukan?" Kiya mengangguk-anggukan kepala cepat.

"Tadi di bawa sama, Raka! katanya...—" Alan menggantungkan kalimatnya.

"katanya apa, Kak,?" tanya Kiya penasaran.

"Katanya itu tas punya calon istri."

Kia memutar bola matanya dengan kesal. Dia tidak habis pikir dengan Raka yang masih saja menganggunya. "Iya udah, makasih." Alan mengangguk dan tersenyum hingga Kiya berjalan meninggalkannya dan Riri.

Riri berlari mengejar langkah Kiya lalu mesejajarkan langkahnya dengan Kiya. "Sabar, Ki, gak boleh pakai emosi." ujarnya. "Nanti lo yang malu sendiri."

"Riri! kesalahan dia itu banyak banget sama gue hari ini!"

"Banyak gimana?" tanya Riri binging.

Kiya menghela napas. "Pertama! Dia udah beraninya ambil tas gue. Kedua, dia berani-berani nya bilang kalau gue itu calon istrinya. Iyuh banget, kan?" mulut Kiya tidak bisa berhenti menggerutu. Menurutnya lebih baik dia bertemu orang gila lagi dari pada harus bertemu dengan kakak senior yang selalu membuatnya malu.

"Iya, iya. Tapi, mungkin aja dia suka bercanda! Humoris gitu."

"Bodo amat. pokoknya gue gak terima!" Kiya berhenti berjalan. Raka sudah terlihat di pandangannya. Dia akan memaki si pemilik kampusnya, tidak peduli orang akan menilainya seperti apa.

Kiya menyipitkan matanya. Dia tidak salah lihat bahwa kini Raka sedang membuka tas miliknya. Tangan kanan Raka dengan bebas masuk ke dalam tas seperti sedang mencari sesuatu.

Kiya benar - benar marah kali ini.

*****

avataravatar
Next chapter