1 Berzina 21+

"Argh ... Eumh..." desahan erotis terdar sexy, seiring dengan hentakan pinggul Keano, memompa tongkat kekarnya ke dalam goa hangat milik Allice.

Gadis cantik bernama Allice itu, perlahan menggeliat, mendapat serangan memuaskan dari Keano. Leher jenjangnya di hisap dengan perlahan, dengan sebelah tangan memegangi kaki mulus Allice, dan tangan lainnya meremas gunung kembar, berukuran cukup besar itu.

"Argh ... Sayangh ... Kau, basah..." bisik Keano, sedikit mendesah, tepat di telinga Allice. libido Keano meningkat dengan drastis, ketika goa hangat itu menyemburkan lahar hangat yang mengandung candu itu.

Mendengar desahan Keano, membuat Allice semakin menggila, ikut menggoyangkan pinggul, seirama dengan ritme pompaan Keano.

"Aarhh, Eumh ... pehh lan peh lan ... Sayanghh akhh akhu tikh tidak ta-tahan." lenguhan erotis itu terdengar jelas di telinga Kinara.

Dia merasa terhempas jatuh ke dasar atmosfer bumi. bagaimana tidak, jelas saja dia terluka menyaksikan suaminya tengah bercumbu dengan wanita lain.

"Arhh ... ."

BRUGHHHH ... .

Kinara menendang keras pintu kamarnya. terlihat pemandangan yang begitu menyayat hati.

Keano dan Alice sama-sama telanjang bulat. Alice menungging dan Keano menusuknya dari belakang.

"Apa-apaan ini?" hardik Kinara dengan suara yang begitu memekakkan telinga.

"Apa kalian sudah tidak waras?" Suara Kinara mulai bergetar dengan wajah yang memanas.

Keano mengepalkan kedua tangannya dan melepaskan senjatanya dari milik Alice.

Keano meraih handuk yang tergeletak di lantai dan melilitkan handuk itu di pinggangnya.

Keano berjalan cepat menghampiri Kinara dan menyeretnya keluar dengan sangat kasar.

sementara Alice, dia hanya bisa diam menahan malu karena ketahuan oleh Kinara yang Alice tahu bahwa dia adalah sepupu Keano.

"Mampus! bagaimana jika dia menceritakan ini pada orang tua Keano? mereka pasti tidak akan lagi merestui hubunganku dengannya." bisik Alice dalam hati sembari mencengkeram selimut kuat-kuat.

"Lepas!" Kinara memutar lengannya agar bisa melepaskan cengkeraman menyakitkan itu.

"Argh..." Kinara meringis pelan kala di dorong kasar ke dalam ruang kerjanya.

"Mengapa kau melakukan ini padaku? apa belum puas kau bercinta di luar rumah ini? sampai kau dengan bodohnya bercumbu di kamar kita." Kinara berbicara di iringi dengan cairan bening yang terus berjatuhan.

"Apa hakmu mengaturku seperti ini?"

"Aku istrimu! apa kau lupa itu?" Kinara tersenyum pedih sembari menggeleng pelan.

"Hai sadarlah! itu hanya status di atas kertas! aku tidak mencintaimu dan tidak akan pernah mencintaimu!"

"Kau boleh menghinaku, menyiksaku. Tetapi tolong! jangan bercumbu di rumah ini! jangan nodai rumah ini dengan dosa busuk kalian." Amarah Kinara kian memuncak tak terkendali hingga dia berteriak sangat keras dan mungkin akan terdengar jelas oleh Alice.

Eh, tunggu. bukan mungkin. jelas Alice sedang berdiri diambang pintu menyaksikan pertengkaran mereka berdua.

Terbesit rasa bersalah yang amat besar di hati Alice. Betapa jahatnya dia karena telah merusak rumah tangga sahabat sekaligus kekasihnya sendiri.

Andai Alice tahu sejak awal. pasti dia akan meninggalkan Keano.

Alice mundur beberapa langkah dan bersembunyi di samping pintu sembari menyandarkan punggungnya ke dasar dinding.

Keano mendekatkan wajahnya dengan wajah Kinara. "Kuperingatkan lagi! kau jangan pernah menggangguku dengan Alice lagi! kau jangan mengatakan apa pun padanya!" bisiknya tepat di telinga Kinara dengan nada suara mengancam.

Buliran bening itu kembali terjatuh bersamaan dengan ancaman Keano.

"Mau sampai kapan kau menyakitiku seperti ini? segalanya telah kulakukan untukmu! bahkan aku sudah melepaskan Nanda untuk menghargaimu. Tetapi apa balasannya? ha?" Kinara berbicara sembari menatap kekosongan.

"Siapa suruh kau setia padaku? ha? Jika kau ingin kembali lagi pada pacarmu, silakan saja! aku sangat senang. agar aku punya bukti untuk menceraikanmu." Keano tersenyum penuh kemenangan.

"Baiklah! sebagai istri yang baik, aku akan menuruti saranmu." jawab Kinara datar sembari menatap Keano.

Tanpa berkata apa pun lagi. Kinara pun melangkahkan kakinya keluar dari ruang kerja Keano.

Kinara menghentikan langkahnya. kala ekor matanya menangkap sebuah bayangan tubuh seseorang. Kinara menoleh dan mengerutkan kedua alisnya.

"Sejak kapan dia di sini?" tanya Kinara dalam hati, sembari menatapnya yang tengah menundukkan wajahnya.

"Ah, Sudahlah." Kinara menggeleng pelan menepis semua pertanyaan yang hadir di benaknya. Dia kembali melanjutkan langkahnya meski tak tahu arah.

Keano masih diam mematung berusaha mencerna apa yang baru saja mereka perdebatkan. Keano tidak habis pikir, dari mana dia mendapat keberanian untuk berdebat dengannya seperti ini.

Setelah Kinara pergi jauh. Alice pun beranjak pergi dari tempat itu, untuk kembali memakai pakaiannya. karena sekarang tubuhnya hanya tertutup oleh handuk kimono saja.

Alice duduk di tepi ranjang. merenungi kesalahannya sendiri. tak terasa air matanya mulai menetes membasahi pipi mulusnya.

"Bagaimana jika aku hamil? aku tidak ingin menjadi yang kedua. aku pun tidak ingin di sebut pelakor nantinya." batin Alice sembari menunduk memegangi perutnya yang masih terbalut handuk.

"Kita lanjutkan?" Suara Keano berhasil membuyarkan lamunan Alice.

Keano memeluknya dari samping sembari menciumi telinga Alice.

"A-aku harus pulang." ucapnya sembari beranjak dari duduknya.

Dia meraih pakaiannya dan berjalan menuju kamar mandi.

"Hai! kau mau ke mana?" tanya Keano lembut.

"Aku akan mengganti pakaian." jawabnya sembari membuka pintu kamar mandi.

"Mengapa harus di kamar mandi? mengapa tidak di sini saja? biasanya kau selalu memakai pakaian di hadapanku." Keano menaikkan sebelah kakinya dan menyandarkan dagu di lututnya.

"Sekarang semuanya berbeda." Tanpa berpikir terlebih dahulu, spontan dia mengatakan hal itu.

"Maksudnya?"

"Lupakan!" Alice memasuki kamar mandi dan menutupnya rapat-rapat.

Di lain tempat. Kinara tengah duduk di kursi besi berwarna putih yang berada di taman belakang rumah megahnya.

Gadis bermata berair itu tengah berusaha keras untuk menenangkan dirinya sendiri. Dia menatap deretan mawar merah yang berjejer rapi tak jauh dari hadapannya.

Cuaca mendung sore ini seakan mengejek nasib malang Kinara.

"Bodoh! mengapa aku harus menangisi pria bajingan seperti dia?" Kinara menyeka air matanya dengan sangat kasar.

"Ra! mengapa kau tidak bisa mengontrol perasaanmu sendiri? mengapa kau harus terluka saat menyaksikan ini. bukankah dahulu kau tidak peduli dengan apa yang dia lakukan?" Kinara berbicara pada dirinya sendiri.

Maura benar-benar tidak punya bahu untuk bersandar. Maura tidak punya tempat untuk mengadu. Jika dia menceritakannya pada ibunya, ini pasti akan membuat kondisinya memburuk.

Drrrtttt ... Drtttt ... Ddrrtttt ... .

Kinara menunduk menatap gawai di genggamannya. "Nanda?" pekik Kinara dengan kedua sudut bibir terangkat mengukur senyuman yang nyaris hilang di telan luka.

[Ada apa, Nan?] Kinara langsung bertanya tanpa basa basi.

[Tidak apa sih. cuman mau telepon aja. hhe.] Suara ngebas namun lembut itu cukup meredakan luka yang Kinara rasakan.

[Apa kabarmu? sudah cukup lama kita tidak berkomunikasi.]

[Baru saja 3 hari tidak berkomunikasi. mengapa kau menyebutnya lama?] tanya Kinara santai.

[Ya, jika mengingat, dahulu kita selalu menghabiskan waktu bersama. dan sekarang kau sudah menjadi milik orang lain.]

[Ak-]

[maaf bila aku mengganggumu! aku hanya belum terbiasa menjalani hari tanpa mendengar suaramu.] ujar Nanda parau.

Air mata Kinara kembali terjatuh. kala Nanda kembali mengingatkannya tentang kisah paling indah yang pernah dia rasakan.

[Ra!]

[S-sudah ya! Aku sedang sibuk sekarang.] Kinara langsung memutuskan panggilan karena dia tidak ingin Nanda tahu tentang kesedihannya.

Kinara menghela napas panjang sembari menengadah dan memejamkan matanya. menikmati gerimis yang mulai turun membasahi semesta.

Sementara Keano. Dia terus membujuk Alice agar mau melanjutkan gairah yang sempat terhenti karena kehadiran Kinara.

"Aku harus pulang, Kean!" Alice berusaha menghindar dari sentuhan-sentuhan Keano yang membuat pikirannya kembali berfantasi liar.

avataravatar
Next chapter