webnovel

Nyanyian Kematian

Kegiatan pra-kematian yang paling indah adalah menikmati tenggelamnya matahari di sebelah barat seraya dibelai hembusan angin darat yang mulai menuju ke laut. Merasakan deburan ombak dan tekstur pasir yang menggelitik di jari kakimu. Mencium aroma garam yang menjernihkan pikiranmu. Menyaksikan warna magis yang tercipta saat matahari terbenam.

Meskipun udaranya dingin hingga menusuk ke tulang karena hanya orang sinting yang menikmati pemandangan ini di bulan Oktober. Akan tetapi, yah, aku memang sudah sesinting itu. Lagipula ini pantas dinikmati sebelum akhirnya melangkah menuju akhir hayat mengikuti sang cakrawala.

Rockside Bay–tempat kelahiran sekaligus satu-satunya tempat yang kutahu seumur hidup–bukan tempat yang terlalu buruk. Kota kecil di pinggiran negara bagian Oregon yang tenang. Pemandangan lautnya dan ombaknya juga cukup bagus, hingga menarik wisatawan dari kota besar yang bising untuk mengunjungi Rockside Bay yang terpencil untuk menghabiskan musim panas mereka.

Kota kecil ini merupakan perbatasan daratan dan samudra yang mematikan. Bagus untukku.

Umumnya penduduk di Rockside Bay yang kurang dari 2500 jiwa, bisa berenang semudah bernapas. Lagi, beruntungnya, aku tidak bisa. Aku hanya pergi ke pantai untuk menikmati pemandangan, bukannya berenang, berjemur atau berselancar. Biasanya aku hanya pergi ke mercusuar, menikmati tebing yang curam nan berbahaya diterjang ombak tak terhitung jumlahnya.

Seperti aku. Pada akhirnya tebing paling gagah sekalipun akan terkikis dan runtuh.

Aku selalu menikmati lautan. Bertanya-tanya seperti apa kedalaman laut jika dilihat dengan mata kepalaku sendiri, berharap aku bisa berenang dan menyelam. Biasanya aku berusaha mengambil setiap kesempatan ikut ke laut ketika tetanggaku menawarkan untuk membantunya memancing. Itu kegiatan membosankan bagi remaja, bagiku sebaliknya.

Itu sebabnya tidak banyak teman yang kumiliki di sini. Bahkan nyaris dibilang aku sama sekali tidak punya teman. Aku tidak pernah mengikuti "Kegiatan Pantai" mereka. Aku tidak bisa mengikuti alur kehidupan yang mereka buat. Itu satu dari daftar penyebab mengapa aku berdiri menggigil di pantai ini.

Memangnya apa salahnya menjadi berbeda? Tidak cukupkah hanya berhenti di situ? Mengapa mereka perlu sengaja membuatku terjungkal, mendorongku, mencuri bajuku, tidak menyisakan kursi atau kelompok untukku? Membuatku selalu bertanya-tanya apa untungnya mereka melakukan itu padaku.

Aku hanya remaja pecundang di kota ini. Keluar dari kota ini pun sepertinya hanyalah angan. Ayahku hanya bekerja di sebuah kontraktor kecil di Portland yang jaraknya 2 jam perjalanan. Kami sudah berusaha pindah namun tidak banyak yang bisa dilakukan. Harga sewa bangunan sangatlah mahal untuk tempat yang layak huni. Sementara rumah yang sedang kami tinggali saat ini tidak bernilai besar dan sulit dijual karena tidak berada di area wisata.

Ayahku juga lahir dan besar di kota ini. Rumah peninggalan orang tuanya yang sedang kami tinggali saat ini adalah satu-satunya harta yang ia miliki. Ia kuliah di kampus lokal sekitar dan melakukan perjalanan pulang-pergi setiap hari. Hal yang sama ia harapkan dariku. Ia sudah berusaha mencari penghasilan tambahan untuk kuliahku dengan menjadi pekerja lepas untuk mengerjakan proyek jarak jauh, namun tetap tidak bisa menguliahkanku ke California atau kemana pun. Aku juga bukan siswa yang punya prestasi sehingga bisa mendapatkan beasiswa untuk pergi dari sini.

Ibuku pergi saat usiaku 2 hari. Tepat di hari yang sama ia keluar dari rumah sakit dengan luka jahit operasi yang masih diplester, ia menyerahkan aku pada ayahku. Kemudian tidak ada lagi kabar lagi darinya sampai detik ini. Ayah dan ibuku hanya menikah sekitar 7 bulan.

Begitulah. Jadi kematianku akan memudahkan ayahku untuk mengejar karirnya, pindah ke apartemen studio untuk 1 orang, tidak perlu memikirkan nyawa lain untuk diberi makan yang membuat ubannya bertambah. Aku pun juga tidak perlu mengalami semua kegilaan yang ada di dunia ini. Mati sepertinya lebih mudah daripada harus menjalani satu kehidupan lagi di kota dengan penduduk terkutuk.

Air mulai pasang dan semburat keunguan di cakrawala terlihat. Aku merasakan angin yang menarikku ke Samudra Pasifik. Memikirkan kembali apa yang bisa membuatku bertahan di dunia ini. Jika aku harus berlari ke daratan untuk menyelamatkan diri, maka waktunya adalah sekarang. Namun nihil. Aku tidak menemukan alasan apapun yang membuatku tinggal. Benar-benar akan mengakhiri ini di usia tujuh belas.

Aku tidak ragu lagi mengambil langkah menuju laut ketika warna keunguan mulai menjadi gelap. Ini adalah cara mati paling indah. Percayalah, aku sudah memikirkan banyak cara untuk mati sejak dunia ini seolah menolakku untuk hidup. Menggantung diri, lompat dari ketinggian, dengan pil sepertinya tidak efektif. Ada kemungkinan aku ketahuan dan selamat. Aku mungkin harus menjalani kehidupan ini dengan lebih buruk lagi. Aku tak bisa membayangkan apa yang dipikirkan ayahku ketika melihat jasadku. Tenggelam sepertinya lebih bijak. Aku selalu menyukai lautan tapi tidak bisa bertahan. Aku ingin jasadku ditelan samudra, berakhir di kedalaman laut. Ayahku hanya perlu menabur bunga di laut tanpa harus memikirkan biaya pemakaman.

Ketika airnya mencapai dadaku aku mulai merasakan dinginnya musim gugur. Gigiku gemeletuk, tubuhku mati rasa dan tulang-tulangku mulai nyeri. Aku belum pernah berjalan ke laut hingga sedalam ini. Kemudian ombak besar menerjang dan menarikku bersama air pasang. Kini air ada di atas kepalaku. Tanpa kusadari tubuhku merespon untuk meraih permukaan dan mencari udara. Tidak, ini tidak benar. Aku hanya harus merelakan tubuhku kepada lautan sesuai rencana. Namun rencana dalam benakku dan respon tubuhku berkebalikan.

Aku menahan napas, menjaga oksigen yang tersisa di tubuhku untuk bertahan. Aku selalu berpikir untuk belajar berenang di laut yang dalam. Maka kugerakkan kaki dan tanganku yang seberat balok es. Pikirku, jika aku tiba-tiba bisa menyelamatkan diri dengan berenang, mungkin memang ini kesempatan keduaku untuk menjalani hidup sebagai atlet renang. Faktanya, aku tidak menuju ke permukaan atau bergerak ke manapun selain arus bawah laut yang membawaku lebih dalam lagi.

Tekanan air memelukku dengan begitu erat dan aku terus menuju ke bawah. Paru-paruku memaksa mengambil oksigen namun tak ada yang bisa didapatkan. Aku melepaskan gelembung pertamaku. Berusaha menjernihkan penglihatanku, ingin melihat jawaban rasa penasaranku. Bawah laut begitu gelap dan tenang. Aku bisa melihat bayang gelap ikan di sekitarku, namun indera perasaku telah mati dengan suhu mencekik ini.

Persis seperti ketenangan laut yang kubayangkan. Seperti inilah kematian yang kubayangkan. Atau kehidupan seperti ini yang kuidamkan. Aku tidak perlu mendengarkan anak-anak populer yang mengambil alih dunia, melihat orang-orang kaya yang berkuasa. Dunia atas sana hancur lebur, sementara aku menginginkan ketenangan ini. Memikirkan alasan itu membuat pikiranku lebih tenang, meyakinkan ini adalah jalan yang benar.

Apakah kau lelah?

Tentu saja aku lelah. Kehidupan itu melelahkan. Mengapa aku harus mengikuti jalannya dunia dan tidak bisa menjalani kehidupan yang kuinginkan dengan mudah?

Apakah kau lelah, Sayangku?

Aku mengerjap, mencari-cari suara itu. Aku sangat yakin itu sebuah suara. Orang lain sedang berbicara padaku, bukannya aku bicara dengan kepalaku. Mendadak arus yang mengelilingiku terasa ganjil dan tidak alami. Aku bahkan bisa sedikit menggerakkan jariku dan suhu air mulai menghangat.

Ini tidak benar, pikirku.

Siang dan malam terus berputar namun kau tetap di sini.

Aku memutar tubuh, merasa takjub karena bisa melakukannya. Paru-paruku mulai memberontak dan mencari udara. Aku terbatuk. Tubuhku bereaksi untuk mempertahankan diri.

Pejamkanlah matamu. Ikutilah arus menuju palung terdalam.

Saat itulah kedalaman laut terlihat lebih jelas. Sebuah cahaya semu mendekatiku. Suara itu tidak berbicara padaku, ia bernyanyi padaku. Suara itu merdu, lembut dan menenangkan. Aku bahkan tidak bisa menyebutkan penyanyi pop yang bisa menyamainya. Tiba-tiba saja aku terlena dan ingin memejamkan mata seperti yang suara itu rapalkan.

Apakah kau lelah, Sayangku?

Kau miliki harta melebihi rembulan.

Namun bintang ketujuh pun telah jatuh.

"Siapa?" Aku berusaha melontarkan kata-kata itu, namun tak ada suara yang keluar. Sebuah kesalahan. Air laut masuk ke tenggorokanku dan membakar kedua paru-paruku. Aku tidak bisa lagi berpikir jernih.

Apakah kau lelah?

Maka berikanlah hidupmu padaku.

"Jangan," bisikku. Cahaya itu semakin terang dan lebih besar. Itu sebuah selaput yang bersinar. Jangan mendekat, biarkan aku di sini. Namun kalimat itu gagal keluar. Alih-alih gelembung oksigen terakhir lah yang kulepaskan. Mataku terasa berat dan tubuhku luluh lantak. Mungkin hanya imajinasiku atau aku memang telah bertemu malaikat kematianku.

Berikanlah sepenuhnya padaku.

Saat itulah gadis cantik berambut panjang menyentuhku, mencabut nyawaku dan membawaku ke alam baka.