1 Venesia

There's something about you

It's just the way you move

The way you move me...

Back to you - John Mayer

Kirana sedang sibuk mengambil gambar dari Gereja Basilika Santo Markus, Gereja yang paling terkenal di Venesia karena kaya akan sejarah. Bangunannya indah mengusung gaya Arsitektur Gothik membuatnya jadi semakin tak bosan dipandang, entah sudah berapa angle dari bangunan ini yang diabadikan Kirana lewat kamera pocket berwarna orange yang sudah bukan masanya lagi.

Sementara Kirana asik mengabadikan keindahan Gereja Basilika Santo Markus serta suasana sore yang menyenangkan, di sudut jalan tidak jauh dari kerumunan orang-orang yang juga menikmati indahnya sore di Venesia berdiri seorang lelaki bertubuh tegap, berwajah tampan dan memiliki sorot mata yang hangat menatap dalam kearah Kirana.

Mengamati dengan detail setiap gerak-geriknya penuh dengan kerinduan yang terukir jelas, tapi entah mengapa dia tetap mematung disini, entah mengapa tak juga kakinya melangkah kearah wanita itu. Berkali-kali dia berusaha memberanikan diri untuk melangkah namun, usahanya tetap sia-sia, lelaki itu tetap mematung.

Kirana berkeliling melihat situasi yang begitu ramai sore ini, langkahnya menuju pada kerumunan orang di tengah yang tanpa disadari malah menuntunya pada lelaki yang sedari tadi mengamatinya. Karena tidak hati - hati sepatu Kirana terantuk batu sehingga oleng dan menabrak seseorang di belakangnya dan dengan sigap lelaki itu menangkap bahu Kirana.

Brukkk

"Aahh... Sorry."

"It's okay, Ki..." jawab lelaki itu.

Suara dan panggilan yang sangat tidak asing di telinga, membuat Kirana sontak berbalik kearah suara lelaki di belakangnya.

"Hai, Ki... apa kabar?" ucap lelaki itu sambil mengajak Kirana berjabat tangan. Kirana masih tertegun menyaksikan pemandangan dihadapannya.

"Ki..." ucap lelaki itu seakan menyadarkan Kirana dari lamunannya.

"Aaah ya, hai Dipta. Kabar baik, kamu sendiri apa kabar?" jawab Kirana dengan seulas senyum terukir di bibir.

Lelaki yang dipangggil Kirana dengan Dipta masih dengan seksama memerhatikan setiap lekuk wajah Kirana, rasa rindu yang membuncah lewat sorot matanya sampai susah dia bendung lagi, senyum manis Dipta membingkai wajah, tatapan mata yang dalam menghujam tepat kejantung Kirana.

Kirana memperhatikan Dipta dalam diam ketika mereka berjalan bersama ke kedai ice cream yang terletak tidak begitu jauh dari tempat mereka bertemu.

Yups, Dipta mengajaknya makan ice cream, katanya sudah lama tidak makan ice cream dan tiba-tiba hari ini dia ingin lalu memaksa Kirana. Kirana hanya mengiyakan, karena Dipta sudah membuat begitu banyak alasan yang Kirana tahu sebenarnya hanya untuk mengulur waktu agar lebih lama bersama dengannya.

Sesuatu yang memang Dipta banget menurut Kirana. Tapi, mengapa dia hadir kembali? Mengapa dia ada dihadapan Kirana lagi setelah memutuskan untuk pergi darinya? Lalu senyum itu, tatapan lembut itu dan wajah itu telah kembali, sama sekali tidak berubah, tetap membuat jantung Kirana berdebar tidak karuan persis seperti dulu.

Dipta mempersilakan Kirana untuk duduk tepat di hadapannya agar dia dapat dengan bebas mengamati wajah Kirana. Setelah memesan ice cream strawberry yang memang jadi kesukaan mereka, Dipta segera membuka percakapan walaupun dengan kikuk.

"Kamu apa kabar?" tanya Dipta membuka percakapan, padahal dia sudah menanyakannya tadi, dalam hati Dipta mengutuk dirinya.

"Aku baik-baik aja, Dipta. Seperti yang kamu dengar sebelumnya. Kamu sendiri bagaimana?" jawab Kirana dengan senyum simpul seakan paham kegugupan Dipta.

"Aku, aku juga baik-baik aja. So why Venice?" tiba-tiba saja kalimat pertanyaan itu meluncur dari bibir Dipta yang sejurus kemudian disesali olehnya seperti biasa bila dia terlepas bicara sesuatu yang tidak ingin Kirana tahu bahwa sebenarnya dirinya selalu peduli.

"Because Venice such a beautiful place as you see." Jawabnya dengan senyum simpul, paham akan reaksi Dipta yang dikenalnya. Mungkin juga lelaki dihadapannya ini tidak pernah sadar kalau sebenarnya Kirana memahami hampir setiap gesture-nya.

Dipta menikmati pemandangan indah dihadapannya, senyum itu. Senyum yang sudah amat lama rasanya tidak pernah lagi dia lihat.

"Ice cream kamu meleleh, tuh..." Kirana menunjuk kearah gelas ice cream Dipta yang mulai mencair, pandangan Dipta pun beralih pada ice cream di depannya.

"Ki, hmmm..."

"Hmmm apa, Dipta?"

Dipta menggeleng sambil tersenyum kearah Kirana, mengurungkan kembali apa yang ingin dia katakan. Entah mengapa selalu terasa sulit bagi Dipta untuk mengatakan secara gamblang tentang perasaannya pada Kirana, padahal dia hanya ingin mengatakan kalau dirinya rindu.

Sikap inipun yang akhirnya memaksa Kirana pergi darinya kala itu, dia yang telah membuatnya pergi dan akhirnya menyesal.

"Apa kabar dengan Alexa, Ta?" tanya Kirana membuat Dipta nanar menatap Kirana, ternyata wanita ini masih mengingat Alexa.

"Aku, aku tidak tahu bagaimana kabar dia sekarang, Ki."

Mata Kirana membulat tidak percaya menatap Dipta yang masih nanar menatapnya, diam-diam menyelinap rasa lega jauh dilubuk hati Kirana.

"Kenapa? Bukannya kamu..." kalimatnya menggantung, Kirana memilih tidak melanjutkan dan beralih pada ice cream-nya.

"Kamu apa hayoooo?" kejar Dipta sambil tertawa.

Kirana hanya menggeleng pelan dan seulas senyum kembali hadir di sana. Tak banyak kosakata yang terucap dari bibir keduanya, hanya saja hati mereka bergemuruh dan berdetak sama cepatnya.

Rindu terlukis jelas melalui sorot mata Dipta, sementara Kirana kini bisa menutupi perasaan yang sebenarnya untuk Dipta. Meskipun Kirana bersyukur dapat dipertemukan dengan Dipta kembali hari ini, dia tetap berusaha menguasai hatinya karena dia tidak ingin terlalu cepat mengambil kesimpulan lagi akan sikap Dipta padanya.

"Apa yang kamu lakukan di Vanice?" Kirana berusaha kembali membuka percakapan mereka. Mencairkan suasana lebih tepatnya.

Dipta terlihat terkejut dengan pertanyaan Kirana, merasa sedikit tidak nyaman dengan pertanyaan wanita yang duduk di hadapannya.

"Aku..." kata-katanya menggantung di udara.

"Nggak apa kalau kamu nggak mau jawab." Ucap Kirana pendek. Membuat laki-laki ini semakin tak nyaman.

"Bukan aku nggak mau jawab, Ki..." jawabnya dengan ekspresi serius. Berusaha membuat Kirana mengerti keadaannya. Rasa tak nyamannya.

Dipta sendiri heran, mengapa dia harus merasa tak nyaman dengan pertanyaan Kirana yang terbilang sangat biasa, Dipta benar-benar tidak mengerti apa yang sebenarnya membuat dia begini atau mungkin dia takut? Takut kalau pertanyaan tersebut mengarah pada hal lainnya. Mengusirnya, mungkin.

Dipta menggelengkan kepalanya dengan cepat, lalu dia menatap Kirana. Menarik nafas panjang dan dihembuskannya perlahan. Mengumpulkan sedikit keberanian sebenarnya.

"Aku..., aku sengaja datang kesini. Karena kamu." Akhirnya Dipta mengatakannya dengan jelas, ada kelegaan sedang memenuhi dada Dipta.

Kirana melihat lelaki ini dengan seksama, memperhatikannya mulai dari rambutnya yang telah memiliki potongan baru yang sangat cocok membingkai wajah ganteng permanen milik Dipta kemudian beralih pada sepasang alis tebal terbentuk sempurna seimbang dengan mata tajamnya yang tidak terlalu besar. Kirana selalu mengatakan pada teman-temannya kalau matanya mirip sekali dengan Rio Dewanto artis favoritnya. Lalu mata Kirana terhenti tepat dimanik mata milik Dipta, mencari kesungguhan di sana dan memang dia mendapatkannya. Dipta adalah tipikal lelaki yang tidak suka memanipulasi keadaan atau kata-kata, dia tidak suka menggombal apalagi berbohong untuk mengambil simpati orang sekitar terutama wanita.

Kirana menemukan kesungguhan di sana. Lelaki ini sungguh mencarinya. Rasa bahagia menyelinap di lubuk hati Kirana namun sesaat kemudian dia kembali menepisnya dengan pertanyaan untuk apa dia hadir kembali setelah segala yang terjadi menguras rasa dan hanya meninggalkan luka, toh dirinya telah berhasil bangkit kini meski jauh di dalam hatinya semua itu masih tentang Dipta.

Dipta masih menanti reaksi Kirana, namun masih sepi yang menyeruak diantara mereka. Ternyata separah ini dia telah menorehkan luka pada gadis ini, sehingga kesungguhannya belum atau bahkan tidak mampu menebus segala kesalahan yang pernah dilakukannya.

"Ki..." ujarnya pada gadis itu.

"Hmmm..., ya?" jawabnya terkejut. Melamun. Mencari dan memikirkan langkah apa yang harus dia ambil kali ini.

"Aku datang untuk kamu, Ki..." sekali lagi Dipta menyatakan kehadirannya.

Kirana menatap Dipta lagi kali ini dengan seulas senyum manis yang mampu merontokan hati pria manapun. Senyum manis nan tulus itu, yang dulu sempat hilang dari wajah cantik gadis ini.

"Iya Dipta, aku dengar." Jawabnya masih dengan senyum.

Dipta ingin sekali menggenggam tangan lembut Kirana, sekedar meyakinkan kehadirannya namun dia mengurungkan niatnya itu. Ada rasa ragu dan takut yang berkecamuk di dada lelaki ini. Dia takut di tolak.

"Dipta, yakinkah kamu datang untuk aku?" tanyanya setelah dia menyuapi ice cream strawberry terakhir miliknya ke dalam mulut.

"Kenapa kamu tanya gitu, sih?" tanyanya terkejut dan bayang kekhawatiran serta sedih bergelayut nyata pada wajah juga sepasang mata yang selalu membuat Kirana merasa berdebar-debar.

"Karena..."

"Karena apa, Ki?"

"Karena kamu seperti mimpi, Ta. Aku cuma nggak mau kalau ternyata setelah ini aku mulai bermimpi lagi."

Ucapan Kirana menohok hati Dipta, sebagian dari dirinya terkoyak dengan kasar dan meninggalkan perih.

"Kenapa mimpi, Ki?" tanyanya muram.

"Karena kamu selalu menolak menjadi kenyataan, Ta." Jawab Kirana samar namun masih bisa didengar oleh Dipta.

Kesedihan dan penyesalan menerobos dalam atmosfir. Mereka saling diam kadang saling menatap, mengungkapkan rindu dan banyak kata yang tak bisa tersampaikan lewat kalimat indah nan romantis lewat hening dan jeda diantara mereka seperti sekarang.

Bagi Kirana, menatap Dipta dalam hening seperti ini adalah hadiah dari Tuhan. Keajaiban yang selalu dia minta dalam setiap sujudnya.

avataravatar
Next chapter