webnovel

Dear, Mantan Musuh

Perhelatan perkawinan Sakha hanya tinggal menunggu hari, tapi mendadak pengantin sang lelaki hilang tanpa kabar. Sakha begitu terpukul, ia bahkan berencana menyewa seorang wanita bayaran untuk menggantikan mempelai wanitanya yang telah menghilang. Di sisi lain, kedua orang tua Sakha menolak. Dan malah meminta Ghina, adik angkat Sakha untuk menjadi pengantin pengganti. Ghina tak mampu menolak, hingga ia menerima dengan mencari cara agar mampu mengikhlaskan. Jika semasa kecil, Sakha teramat membenci Ghina. Maka setelah menikah, Ghina berjanji akan membuat Sakha mencintainya. Apapun akan ia lakukan termasuk menyingkirkan pengantin Sakha yang belakangan kembali hadir mengusik rumah tangga mereka. Mampukah Ghina maraih cinta Sakha, ataukah ia harus mengikhlaskan sang suami kembali ke hati mantannya. "Aku tak pernah menyangka, ternyata kita dipertemukan dalam satu rumah tangga. Apa yang akan kamu lakukan padaku setelah kita resmi menikah, bukankah kamu sangat membenciku. Kamu pernah bilang, kalau aku ini jelek, bukan tipemu. Dilihat dari sudut pandang manapun, aku tetap jelek. Kamu juga yang pernah menyumpahi, tak ada lelaki manapun yang akan menikahi pengkhianat sepertiku hanya karena aku memergokimu berduaan di ruang tamu dengan teman perempuan sekelasmu. Sekarang kau harus memakan sumpahmu, pasti pernikahan ini akan membuatmu atau aku berada pada penderitaan yang tak berkesudahan. Aku harus menyalahkan siapa?"

Wahyuni_3924 · Urban
Not enough ratings
18 Chs

16. Cinta Yang Utuh atau Sebaliknya

"Ryanti hamil, Ghin?"

"Apa Mas, hamil?"

Ghina tampak begitu terhenyak. Sejenak kerongkongannya terasa kering, untuk menelan saliva saja begitu sulit.

"Bukan Mas 'kan yang menghamilinya?"

Ghina kembali bertanya dengan penuh rasa was-was. Sedang di hadapannya, Sakha terlihat menghela napas.

"Kalau iya?" tantangnya yang berhasil membuat rona wajah Ghina seketika berubah.

"Ceraikan saya, Mas."

Sakha tersenyum seraya meraih jemari sang istri untuk kemudian dikecup pelan.

"Mudah banget minta cerai, emang udah siap jauh sama Mas?"

"Siap nggak siap, harus siap! Ghina nggak rela dimadu!" ucapnya sambil berusaha memindahkan kepala Sakha dari kedua paha. Tetapi lelaki itu menahan usaha Ghina.

"Bukan Mas, Sayang. Tapi sama lelaki yang dijodohkan oleh Papanya. Tapi ...," Sakha menggantungkan ucapan membuat Ghina semakin penasaran,"dia diperkosa oleh lelaki itu."

Seketika Ghina merasa ada yang menusuk dadanya dengan kuat. Betapa ia tahu yang paling tidak diinginkan oleh seorang wanita dalam hidup mereka adalah hilangnya keperawanan oleh lelaki yang bukan suami.

"Jadi pertanyaan Mas tadi, apakah Mbak Ryanti yang ingin menggugurkan kandungannya, Mas?"

Sakha mengangguk. Beberapa detik suasana diliputi keheningan.

"Kecuali jika Mas mau menikahinya?"

Ghina kembali merasa lidahnya kaku. Apa yang baru saja ia dengar, terlalu naif perempuan itu menginginkan sesuatu yang bukan menjadi haknya. Sesaat hatinya dikuasai perasaan getir, tapi ia mencoba tenang.

"Lalu apa Mas akan bertanggung jawab untuk sesuatu yang tidak Mas perbuat?"

Sakha mengangkat kedua bahu.

"Mas tidak sampai hati membiarkan dia terkatung-katung seorang diri. Sedang, keadaannya begini karena berharap bisa bersama Mas, Ghin."

Kedua alis Ghina saling bertaut, ia kembali merasa bahwa lelaki itu bagai orang asing yang hanya singgah untuk sekejap di hidup.

"Padahal tadinya Mas mau menelpon mamanya, memberitahu keberadaan Ryanti agar beliau bisa mendampingi. Tapi kejadian itu, membuat Mas urung memberitahu mereka."

"Kenapa, Mas? Karena Mas takut Mbak Ryanti akan dinikahkan dengan pelaku pemerkosaan itu?"

"Ghina? Mas nggak nyangka kamu bisa berpikir sampai situ?"

"Lalu kenapa, Mas? Tolong, jangan bohongi perasaanmu, Mas? Kamu masih mencintainya 'kan?"

Kedua tatapan itu saling bertemu dalam jarak yang begitu dekat. Bertahan beberapa detik, hingga akhirnya Sakha memilih memutuskan tatapannya.

"Katakan pada Ghina Mas, apa Mas masih mencintai Mbak Ryanti?"

Sakha terdiam.

"Mas cinta sama kamu, Ghin."

"Ghina bukan nanya siapa yang Mas cintai, Ghina cuma bertanya tentang perasaan Mas sama wanita itu?"

"Kita tutup aja, diskusi ini," ucap Sakha sambil bangkit mencari posisi terbaik di atas bantal. Ghina yang menyadari lelaki itu hendak mengalihkan jawaban, kembali memasang muka merajuk.

"Mas, Ghina belum puas! Ghina mau kita bicarakan ini sampai tuntas!"

"Sini," tunjuk Sakha pada lengannya.

"Berbaringlah di sini, Sayang."

Mendengar suara lembutnya, walau kesal, Ghina tetap saja manut. Merebahkan kepala pada lengan suami yang terbentang untuk saat ini memang menjadi hal yang amat disukainya.

"Kamu mau jawaban yang jujur 'kan?"

Ghina menatap dua bola mata sang suami.

"Sebelum Mas jujur, ijinkan Mas bercerita sedikit tentang hidup Mas dulu sebelum kita menikah. Mas pernah begitu sangat mencintainya. Mas kalahkan semua lelaki yang juga punya harapan yang sama untuk bisa mendapatkan hati seorang Ryanti. Setelah Mas berhasil mendekatinya, Mas memutuskan untuk segera melamar. Karena Mas ingin memiliki dia seutuhnya. Ryanti pun tak menolak, Mas membaca dia juga sangat mencintai Mas."

Ghina memalingkan wajah, tapi telapak tangan Sakha kembali membawa wajah itu untuk menatapnya.

"Keinginan Mas untuk menikahi Ryanti ditentang oleh ayah tirinya. Tapi Ryanti tetap bersikeras, karena ibunya ada di pihak kami. Semua kami persiapkan sebagai mana pernikahan dua insan yang saling mencintai pada umumnya. Terlebih Mama sama Papa juga menyukai pembawaan Ryanti yang lembut dan mudah mengambil hati orang tua. Mama dan Papa walau tahu pernikahan kami tak direstui ayahnya, tetap ingin menggelar pesta meriah. Tapi siapa sangka di detik-setik tinggal menunggu hari, dia malah dijauhkan sampai ke Bali. Mas sudah pernah cerita 'kan?"

Ghina bergeming tak mau mengangguk. Curhatan Sakha cukup membuatnya merasa cemburu.

"Semua akses komunikasinya diambil alih. Hingga Mas kebingungan tentang keberadaannya. Tapi disaat yang sama kamu hadir sebagai penawar rasa kecewa dan takut. Jujur, Mas sangat berjasa padamu Ghin. Dan awalnya memang Mas pikir hanya akan seperti itu sampai seterusnya. Hingga semua Mas rasa berbeda setelah ...."

Sakha bangkit mengecup kening sang istri. Sedang dalam diamnya, Ghina membiarkan sebulir bening lolos dari pelupuk mata.

"Mas mencintai kamu, Ghin. Tapi Mas juga nggak bisa memungkiri jika kembalinya Ryanti dalam hidup Mas membuat sebuah beban besar baru yang harus Mas pikul. Terlebih setelah mendengar pengakuan Ryanti tentang kelicikan ayah tirinya. Sebagai lelaki bertanggung jawab yang pernah mencintai seorang wanita, rasanya Mas begitu bersalah jika meninggalkan Ryanti dalam keadaan hancur begini. Tapi sebagai suami yang bertanggung jawab, Mas sebenarnya tidak ingin membuat perasaan kamu terluka."

Ghina membalikkan badannya. Isakan mulai terdengar di telinga Sakha.

"Jangan menangis, Sayang."

Sakha merangkul tubuh sang istri dari belakang.

"Andai tubuh Mas ini bisa dibagi menjadi dua ...," ucapnya kembali.

Dan Ghina sangat tahu maksud perkataan lelaki itu.

"Mas ingin poligami?"

"Mas nggak ngomong gitu," jawabnya sambil melepas rangkulan dan berusaha menatap wajah sang istri.

"Sebuah tubuh manusia memang tidak bisa dibagi menjadi dua, Mas. Tapi sebuah hati manusia, bisa dibagi, untuk dua, tiga bahkan untuk empat orang istri. Bukankah begitu tersebut dalam Al-Quran?"

Sakha terdiam. Matanya tajam menatap wajah sang istri yang sudah berlinangan air mata.

"Jika kamu mau bertanggung jawab atas keburukan dari perbuatan orang lain, silahkan saja Mas. Tapi sebelumnya, aku mau kita berpisah," ucap Ghina sembari mengangkat tubuhnya meninggalkan ranjang. Ia memilih duduk di kursi rias.

Saat Sakha hendak bangkit mengejar langkah sang istri, tiba-tiba ponselnya berdering. Sakha mengulur waktu untuk mengangkat telpon itu.

Segera ia menekan tombol terima saat tahu siapa yang kini telah meleponnya.

'Rumah sakit.'

[Hallo.]

[Hallo. Selamat malam, benar ini dengan nomornya Bapak Sakha?]

[Iya, saya sendiri.]

[Pak, mohon segera ke rumah sakit. Pasien atas maka Ryanti telah melarikan diri.]

[Apa? Melarikan diri?]

[Benar, Pak.]

[Baik, saya akan segera kesana.]

*

Sakha terlihat tergesa-gesa. Dengan gegabah ia berjalan ke nakas untuk mengambil dompet dan kunci mobil. Sedang di depan meja rias, Ghina masih duduk dengan perasaan tanya memenuhi benak.

"Siapa, Mas?"

Sakha berhenti melangkah, dan berbalik kembali mendekati Ghina.

"Mas pergi sebentar, ya. Mas akan mencari Ryanti dan membawa kembali ia pada keluarganya."

Ghina menatap lelaki itu dengan mata berkaca-kaca.

"Mas mohon, percayalah sama Mas, hanya kamu ratu dalam istana kita, Sayang."

Sebuah kecupan mendarat lembut di kening sang istri. Ghina melepas kepergian suaminya dengan doa. Dulu, di malam pertama mereka. ia pernah membiarkan Sakha pergi menemui wanita itu. Lalu seperti boneka Skaha membiarkannya seorang diri di kamar hotel. Malam ini, apakah kisah itu akan kembali terulang?

'Pergi dan kembalilah dengan hati yang utuh, Mas.'

***

Bersambung.