2 Telepati

Pov Khadijah

"Cinta abadi di mana itu cinta adalah cinta sepenuhnya, karena Allah semata. Aku mencintaimu, karena akhlakmu bukan karena wajahmu atau materi. Cukup Allah bagiku, sepaketnya. Lewat doa dan telepatiku semoga aja kau mendengarkannya."

Di saat itu aku memandang wajah pria di depanku, dia sederhana dan begitu tampan. Ya, kita memang saling mengenal, tapi tetap saja dia tak pernah menatapku sama sekali.

Aku selalu memanggilnya dalam sebutan "Dear Adam" karena aku ingin menjadi seorang hawa yang selalu dicintai Adam. Tapi, sayangnya namaku adalah Khadijah Putri Ayass, bukan Hawa pemilik hati Adam.

Ku lihat dia dari jauh, aku tahu dia hanya seorang pelayan di cafe kampus. Tapi, aku pernah melihatnya di masjid sedang membaca tilawah AL-Qur'an.

Aku jadi ingat rumah, di mana ayahku selalu membaca lantunan itu, tapi aku lebih kangen daddy yang udah lama menghilang atas kejadian kecelakaan pesawat beberapa tahun lalu hingga memberikan sebuah luka untukku.

Semenjak daddy meninggal, bunda menikah lagi dengan pamanku. Kita pun hidup dengan bahagia, karena pamanku bisa menjadi ayah, imam, dan kepala keluarga yang baik. Aku cukup dekat dengan pamanku sejak dulu hingga kini aku menyebutnya sebagai ayah pengganti daddy.

Pamab Haqi adalah seorang ayah tiriku sekarang. Tapi, dia selalu membimbing keluarga kecilku. Mungkin daddy akan suka dengan uncle dan rela kalau bunda bahagia dengan uncle.

Selain itu, uncle dan daddy mereka sahabat satu profesi. Tapi, tetap saja aku masih suka merindukan daddyku. Hingga keyakinanku mengatakan kalau daddy masih hidup.

***

Pov author

Kampus mulai sepi, tapi khadijah masih jadi penghuninya. Maklum, ia sedang mengerjakan tesisnya.

"Masih di kelas belum pulang?"

Ya, dia adalah Fabian, sahabat Khadijah. Ia kebetulan sama-sama dari Indonesia. Dia pun juga sama-sama mendapatkan beasiswanya.

"Udah mendung, Dijah. Kamu nggak pulang?"

Khadijah hanya mengelengkan kepala dengan malas. Ia masih mengerjakan tesisnya.

"Perlu aku tungguin kamu?"

Khadijah menatap kosong.

"Fab, bisa nggak ya kita ngulang masa lalu? aku kangen daddy ku."

Fabian hanya diam, ia ingat Ilham kakaknya yang sepuluh tahun lalu meninggal dalam kecelakaan balapan motor.

"Kalau pun bisa, aku nggak bakalan berantem sama kak Ilham. Meskipun, aku selalu iri kalau bunda lebih sayang kak Ilham, namun Allah lebih sayang ke dia. Sekarang aku hanya punya Nadia. Meskipun kadang ia suka cerewet dan bawel, tapi dia tetap adikku."

Suasana mendadak menjadi hening, hanya suara derasnya hujan kala itu. Sebuah memori akan kenangan Khadijah bersama dengan daddynya. Kepergian daddynya membuatnya terpukul.

Bagaimana tidak keluarga yang baru berkumpul bahagia, tiba-tiba terpisah kembali. Pikir mereka dalam hatinya masing-masing.

Ayass, meninggal dalam kecelakaan pesawat. Kenyataannya belum ditemukan jasadnya dalam keadaan hidup atau mati. Tapi, waktu itu ada sebuah jasad yang mirip dengan Ayass.

Khadijah tidak percaya, jika itu daddynya. Bagaimana tidak jasad yang sudah gosong hampir tak dikenali wajahnya, hanya ada sebuah dompet milik Ayass di sampingnya.

flash back on

"Bunda, itu bukan daddy!"

Tangis Khadijah saat melihat jasad yang menurut tim penyelidik milik Ayass, atau daddynya.

Hasan berusaha menenangkan dan memeluk Khadijah. Tangisan kecil Khadijah kala itu meledak.

Rania, bunda mereka hanya mampu duduk tersungkur. Perasaannya terlihat luluh lantah bak diterjang ombak.

Kala itu, uncle Haqi akan melangsungkan pernikahan, tapi juga akhirnya tak terjadi.

"Sayang, semua akan baik-baik saja."

Paman Haqi memelukku, memang dari dulu aku sangat dekat dengannya ketimbang dengan daddyku yang sibuk dengan pekerjaannya.

"Dulu aku pernah kehilangan bunda, sekarang kehilangan daddy. Apa Allah tidak membiarkanku sejenak bahagia bersama keluargaku?" tangisan Khadijah dalam pelukan uncle Haqi.

Hasan, kembaran Khadijah pun mengambil air wudhu untuk menenangkan hatinya. Sebuah sajadah digelar, lalu ia mengambil sebuah AL-Qur'an.

Sebuah surat Yassin telah Hasan lantunkan dengan nads sangat merdu. Sejenak Khadijah menjadi tenang. Lantunan itu mampu membuatnya kembali terdiam.

"Dijah, lihat Hasan saudara kembarmu. Dia selalu tegar, kau harus bisa sepertinya. Dijah ikhlaskan, jika memang itu daddy mu. Mungkin Allah punya rencana lain untukmu. Ini ujian, Allah takkan mungkin memberikan ujian yang tidak dapat dilewati oleh makhluknya."

Khadijah pun hanya bisa diam, karena semua makhluk Allah akan kembali padanya. Tidak ada yang abadi di semesta ini, karena hanya Allah lah pemiliknya.

Flashback off

"Dijah, kamu kok melamun?"

"Sorry, Fab aku jadi inget sama daddy ku, tapi aku yakin kalau daddyku masih hidup. Meskipun, semua bilang aku harus bisa mengikhlaskannya. Padahal bicara tidak semudah menjalaninya."

"Dijah, aku mengerti kok perasaan kamu bagaimana. Aku juga ngerasa sangat kehilangan kak Ilham, seandainya ada mesin waktu mungkin aku akan memperbaiki hubunganku dengan Kak Ilham."

Khadijah segera mengemasi buku-bukunya dan laptopnya ke dalam tas. Karena, hari sudah hampir sore menuju ashar.

"Ayo, pulang."

"Fab, tapi bentar lagi ashar. Bagaimana kalau kita sholat dulu di masjid?"

Fabian tersenyum mengiyakan ajakan Khadijah. Lalu, mereka pun jalan menuju ke Masjid kampus.

***

Pov Fabian

Aku ngerasa begitu tak pantas memasuki masjid ini. Karena aku sudah berdosa besar.

"Fab, kamu nggak sholat sekalian, ini udah adzan loch."

"Hmmm, aku belum siap, Dijah."

Bagaimana tidak aku aja tak pernah lagi menjalankan ibadah, dan club malam selalu jadi tempat favoritku. Aku merasa masih kotor untuk memasuki.

Ku lihat sahabatku memasukinya, ya dia sahabat perempuan yang terbaik ku miliki.

"Fab?"

Khadijah perempuan yang benar-benar sempurna. Ia memiliki mata bak bidadari surga. Aku menyukainya sejak dulu, tapi aku tahu diri tentang siapa aku sebenarnya. Dia pantas mendapatkan lelaki yang terbaik selainku.

***

Pov Khadijah

"Ehem, Assalamualaikum."

"Walaikumsalam,"

Baru kali ini aku memberanikan diri menyapa pria yang berhasil meluluh lantahkan isi hatiku. Suara indah yang ku dengar begitu lembut dan hangat.

Pria itu selalu menundukkan pandangannya kepada perempuan yang bukan mahramnya. Aku sungguh mengagumi pria itu, meskipun masih belum tahu siapa namanya.

Iman dan taqwanya meluluhkan seluruh hatiku. Dia adalah calon imam impianku. Sederhana, namun mempesona.

Pria itu yang ku tahu bukan seorang mahasiswa di kampus ini. Melainkan hanya penjaga kantin. Tapi, siapa yang tidak ingin bersanding dengannya yang memiliki aroma surga tersembunyi.

Semenjak itu, aku selalu terbangkan seluruh doa-doaku hanya untuk pria itu. Meskipun, aku belum tahu namanya sampai sekarang. Hanya sebutan Adam yang telah ku berikan untuk menamainya dan mematenkannya.

Ku berjalan menuju ke tempat wudhu, ku putar kran air, lalu ku baca niat doa berwudhu. Lalu, perlahan-lahan aku lakukan urutan gerakan berwudhu. Setelah itu, ku baca doa niat sesudah wudhu sambil melangkahkan kaki ku menuju ke dalam masjid.

Ku melangkah mengambil mukena yang selalu aku bawa di tas. Lalu, ku pilih shaf nomer dua, karena shaf wanita depan sudah penuh.

Tiba-tiba ku lihat pria pemilik aroma surga itu yang menempati sajadah imam masjid.

"Subhanaallah, ternyata dia yang akan menjadi imam dalam sholat jamaah kali ini."

Batinku mulai menjerit seketika, karena dia benar-benar calon imam idamanku. Sungguh dia pria terbaik yang pernah ku temui. Harapanku, agar Allah mempertemukanku dalam sebuah ikatan akad.

****

avataravatar
Next chapter