webnovel

DAYS WITH MY UNEXPECTED BOSS

Aku melihatnya. Dada bidang dengan punggung yang lebar di balik jas hitam menawannya. Sepasang manik elangnya yang menatap tajam dan senyum manis di bibirnya, membuatku bergetar. Gerakan tangannya saat membenarkan dasi di lehernya, aku ingin menggantikannya. Memakaikan dasi di lehernya, menatap rahang kokohnya dari dekat, mengecup bibir tipisnya. Kau begitu menawan, Bos.

KuroyukiRyu · Urban
Not enough ratings
32 Chs

His Mom [Part B]

Jika Sam adalah adikku, aku sudah menjualnya sejak pertama melihat tingkah nakalnya. Untung saja bukan. Tapi, mungkin aku bisa merekomendasikannya untuk Adam.

"Apa dia melakukan hal aneh lagi pada Ibu?" Ah, atau aku bisa membantu Adam secara diam-diam menculik Sam dan membuangnya ke penampungan pekerja ilegal.

"Hmm... tidak ada. Dia hanya meminta kekasihnya barunya itu untuk menyuapi Ibu. Tapi, tidak lama, karena cara menyuapinya tidak sabaran, jadi Ibu minta berhenti. Lalu, Sam meminta kekasihnya untuk menyuapinya."

Tunggu-

bukankah itu berarti secara tidak langsung makan siang ibunya dihabiskan oleh Sam?

Serius. Adam harus menjual adiknya.

Bosku memasang wajah kesal yang tertahan, ia memijit pangkal hidungnya yang sebenarnya tidak kenapa-kenapa, melainkan otaknya yang kenapa-kenapa.

"Kalau begitu, apa Bibi ingin makan sesuatu yang lain?" atas dasar inisiatif calon menantu, aku membantu Adam yang masih menata emosinya.

"Ah, tidak perlu. Bibi sudah cukup dan kebetulan sedang tidak begitu berselera untuk banyak makan." Bertanding terbalik denganku. Saat sakit, nafsu makanku akan meningkat.

"Ibu, ayo kita kembali ke kamar saja. Ibu masih harus beristirahat." Adam memperbaiki selimut sang ibu yang tidak beraturan sebelum kembali berdiri. Ia bersiap mengambil alih tugas Margo untuk mendorong kursi roda.

"Tidak, Adam. Ibu masih ingin menghirup udara segara. Terlalu lama di kamar malah membuat Ibu pusing karena aroma khas rumah sakit yang tidak Ibu suka." Adam mengurungkan niatnya, menurut pada keinginan Bibi Lyn.

"Margo, gunakan selimut ini untuk alas." Bibi Lyn menarik selimut yang menutupi kakinya dan menyerahkannya kepada Margo, wanita paruh baya yang menjadi perawatnya.

"Alas untuk duduk, Nyonya?" ia memastikan. Bibi Lyn mengangguk dengan suka cita, seolah mereka akan mengadakan piknik dadakan.

Margo merentangkan selimutnya, menarik segala sisinya agar lebih rapi di atas rumput. Melihat Bibi Lyn yang mencoba bangkit dari kursi rodanya, Margo dengan sigap membantunya untuk berpindah duduk di atas selimut.

"Ayo, duduk di sini," Bibi Lyn menepuk-nepuk sisi yang kosong, mengajak kami untuk duduk bersama.

"Duduklah, Jessy." Bosku dengan 'gentle' mempersilakanku untuk duduk lebih dulu sebelum dirinya menempati sisi kiri ibunya.

"Bagaimana pekerjaanmu, Adam? Sam bercerita kalau kemarin kau bolos ke kantor lagi. Benar, begitu?" Bibi Lyn begitu lembut ketika meminta penjelasan dari putranya. Kutebak ia adalah sosok ibu yang akan selalu mendengarkan anak-anaknya.

"Y-ya. Itu karena aku panik ketika Ibu jatuh kemarin," dan Adam terlihat seperti anak yang tertangkap basah melakukan hal tidak baik. Pemandangan yang menggemaskan.

"Kau merepotkan asistenmu lagi," Bibi Lyn tidak terdengar marah, namun entah mengapa Adam nampak bersalah karena ucapannya.

"A-ah, tidak, Bibi Lyn. Sudah seharusnya saya dapat mengatasi setiap pekerjaan saat Adam tidak ada." Adam sudah bekerja keras, aku tidak ingin melihatnya merasa bersalah hanya karena hal itu.

Tapi, kalau orang lain yang menyusahkanku, aku siap menghajarnya. Pengecualian hanya untuk bosku tersayang.

"Tetap saja, itu perbuatan yang tidak bertanggung jawab. Ia tidak memberi kabar padamu, bukan?"

Jujur atau tidak?!

Sayangnya, Bibi Lyn tidak terlihat sungguh-sungguh bertanya, ia seperti sudah tahu kebiasaan anaknya.

"Tidak apa, Bibi Lyn. Setidaknya ada kabar kemudian." Ya, meskipun harus menghubungi Allan lebih dulu karena Adam tidak bisa dihubungi.

"Aku berjanji tidak akan mengulanginya, Ibu. Maafkan aku, Jessy." Adam menatapku ketika mengucapkan maaf lagi, padahal ia sudah melakukannya kemarin.

"Jangan berjanji kalau kau tidak bisa menjaganya, Adam. Ibu hanya ingin kau pandai dalam menghargai orang lain dan waktu."

Baiklah, sekarang aku tahu dari mana sifat Adam. Sangat menurun dari ibunya. Mungkin kalau Sam anak temuan di kardus kulkas, makanya tidak ada gen Bibi Lyn di dalam dirinya.

"Baik, Ibu. Aku akan lebih berhati-hati," Adam memberikan anggukkan satu kali sebagai tanda kalau ia mengerti.

"Jessy, kalau Adam memperlakukanmu atau kau melihatnya memperlakukan pekerjanya dengan buruk, kau harus menghubungi Bibi, ya." Memotong gaji Allan yang merupakan HRD Blue Pasific Properties mungkin termasuk. Sayangnya, aku tidak akan melaporkannya. Allan layak mendapatkan itu.

Aku melirik pada Adam yang ternyata juga tengah menatapku, menungguku merespons ibunya.

Aduh, Bos, kau harus tahu kalau tatapanmu tak baik untuk jantungku.

"Akan aku ingat, Bibi Lyn." Alhasil aku menurut saja. Benar atau tidaknya aku akan melaporkan tindakan buruk bosku pada pekerjanya, aku tidak yakin. Ya, karena yang kulihat sampai saat ini Adam tidak pernah berlaku kejam tanpa alasan.

Eh, melihatnya berlaku kejam dengan alasan saja aku belum pernah.

"Oh, iya, apa kalian dari kantor? Sudah makan siang?" Calon Ibu mertuaku ini senang mengobrol rupanya. Ia seperti tidak akan kehabisan ide untuk bahan berbincang ria.

"Tidak, Bu. Sebelum ke sini, kami ada peninjauan lokasi di gedung yang akan dibangun ulang."

"Sudah makan siang?" Bibi Lyn mengulang karena Adam tidak lengkap menjawab pertanyaanya.

Tanpa melirikku, Adam memberikan anggukkan dan berkata, "Kami juga sudah makan siang."

Apa?!

Oh, Bosku tampan, padahal aku berharap kau berkata 'belum' dan Bibi Lyn akan memesankan pizza untuk kita.

Asal kau tahu, sayang, aku sudah lapar.

"Benarkah?" Bibi Lyn yang tampak ragu, mungkin menyadari kebohongan Adam.

"Iya, Bibi. Kami sudah makan siang lebih dulu." Baiklah, ini demi Adam dan tawarannya yang kusetujui untuk ikut ke rumah sakit.

"Aku senang mendengarnya~"

Aku jadi rindu pada Mom karena aku belum menghubunginya lagi akhir-akhir ini, menanyakan apakah pohon-pohon tomatnya sudah banyak berbuah atau belum.

"Adam, Ibu sudah boleh pulang hari ini." Bibi Lyn memegang lengan anaknya.

"Bukankah dokter berkata kalau Ibu baru boleh pulang besok?" pandangan Adam bergulir pada Margo, meminta penjelasan apakah ada kabar dari dokter yang terlewati olehnya.

"Maaf, Tuan. Sebenarnya dokter belum mengizinkan."

Adam memberikan anggukan mengerti, lalu menangkup jemari ibunya yang lebih ringkih.

"Ibu masih harus beristirahat semalam lagi di sini. Besok aku akan menjemput Ibu setelah pulang kerja." Adam mencoba memberi pengertian dengan lembut. Bibi Lyn mengerucutkan bibirnya, merajuk seperti anak-anak. Wajahnya yang nampak awet muda itu bahkan tidak terlihat aneh meskipun tingkahnya konyol.

"Ya sudah, nanti Ibu minta pada Sam untuk menjemput Ibu." Sisi keras kepalanya muncul dan Adam terdiam. Entah ia menimbang atau memikirkan hal lain agar Bibi Lyn mau menurut pada instruksi dokter.

"Tidak, Ibu. Jangan pada Sam," Adam tahu karena adiknya pasti akan mudah menuruti ibunya.

Bibi Lyn tidak menanggapi apapun, ia malah memandang Adam masih dengan mode merajuknya dan Adam berusaha menghindari tatapan itu. Mungkin takut akan luluh.

"Benar kata Adam, Bibi Lyn. Satu malam hanya untuk memastikan apakah bibi benar sudah kembali sehat atau belum." Adam pasti merasa terpojok, mulai ragu untuk menuruti ibunya atau tidak. Seperti ingin menolak dan tidak secara bersamaan, tapi mana mungkin.

"Kalian bersekutu, ya?"

A-aku tidak tahu bagaimana bisa Bibi Lyn berpikir seperti itu.

"Lihat, Ibu. Ibu sudah sehat!" Bibi Lyn mengangkat lengan kirinya membentuk siku di udara, lalu menggunakan tangan kirinya untuk menepuk-nepuk lengan atasnya. Ia melakukannya seolah ia adalah atlet yang sedang memamerkan otot lengannya. Hmm... tapi, tidak terlihat ada otot yang menonjol.

"Tidak, Bu. Untuk masalah kesehatan Ibu, aku tidak bisa menurutinya." Pada akhirnya Adam memutuskan untuk bertindak tegas.

"Lihat saja, nanti malam Ibu sudah makan malam di rumah."

Melihat keras kepalanya Bibi Lyn, aku percaya saja. Apalagi Margo terlihat seperti perawat yang selalu menuruti kemauan Nyonya besarnya.

"Baiklah, aku tidak akan kembali ke kantor dan memilih menunggu Ibu di sini sampai jadwal pulang esok." Setelah seharian kemarin bosku mangkir kerja, hari ini berniat aktif setengah hari saja. Tidak ada masalah, sih, dia bosnya. Bos bebas melakukan apa saja.

"Tidak!" Bibi Lyn menyahut cepat, tidak setuju dengan keputusan Adam yang entah benar atau sekadar gertakan.

"Ibu kan bukan anak-anak lagi yang harus ditunggui hingga benar-benar pulih."

Aw, apa Adam melukai ego Bibi Lyn?

"Kalau begitu, Ibu baru bisa pulang besok." Bosku bangkit dari posisinya, berdiri dengan lutut dan mencondongkan tubuhnya ke arah Bibi Lyn.

"Aku harus kembali ke kantor, Bu. Segeralah istirahat kembali." Adam memberikan kecupan lembut di kening Ibunya sebelum berdiri. Ekspresi Bibi Lyn melunak, mungkin efek dari kecupan anak tampannya.

Aku jadi sedikit iri.

Sabar, Jessy, sabar. Giliranmu masih mengantri jauh.

"Kau juga, jaga dirimu baik-baik, Adam. Jangan lupa makan dan istirahat." Tangan kurus Bibi Lyn terangkat, ia membelai pipi Adam.

Aku juga jadi ingin melakukannya.

"Kalau begitu, Aku pergi dulu, Bu."

"Sampai jumpa, Bibi Lyn." Cepat-cepat aku menyusul Adam. Aku nyaris lupa berdiri karena terpengaruh oleh rasa iri. Gezzzz.

"Oh, iya. Kalau kau ingin datang ke sini lagi nanti malam, ajak Luna. Ibu sudah lama tidak bertemu dengannya."

Spontan aku melirik pada Adam. Kulihat air mukanya berubah, senyumnya sedikit luntur. Namun, Adam kembali mengembangkan senyumnya untuk Bibi Lyn.

"Jika ia tidak sibuk, Bu."

Aku melambaikan tangan sebelum berlalu pergi semakin jauh. Senyum Adam sudah hilang saat mata Bibi Lyn tidak menangkap lagi raut wajah anaknya.

Ada sesuatu antara Adam dan Luna, yang pasti selain fakta hubungan keduanya. Aku tidak ingin menyebutnya!

Reaksi Adam yang tidak senang dengan hal tentang Luna menambah beban pikiranku. Bisa-bisa aku merenung di jam satu dini hari.

"Kau tidak apa-apa?" Kuberanikan diri menanyakan keadaannya. Pasalnya wajah tampan bosku terus kaku hingga kami keluar dari pintu utama gedung rumah sakit.

Adam tersentak, tersadar dari lamunannya dan tidak sengaja menghentikannya langkah. Otomatis aku ikut berhenti dan memandangnya dengan kedua alis meninggi. Adam menatapku beberapa detik, kemudian menggeleng, "Ah, tidak. Tidak apa-apa, Jessy."

Bosku tidak mau berbagi. Tidak masalah, mungkin terlalu pribadi untuk dibagikan denganku.

"Ah, maaf tadi aku berbohong."

Tidak masalah, sayang. Aku mengerti kalau kau tidak mau membuat ibumu khawatit. "Lebih baik kita makan siang dulu. Masih ada beberapa waktu," lanjut Adam. Meskipun tidak meminta persetujuanku, aku sudah jelas akan setuju. Sebenarnya tidak ada banyak waktu yang tersisa, tapi karena aku pergi dengan bosku sendiri, aku tidak perlu mengkhawatirkan apapun.

.

.

.

.

.

- To be continue -

Kali ini update cepat^^

Jangan lupa tinggalkan komentar dan review yaa.

Terima kasih~

KuroyukiRyucreators' thoughts