webnovel

DAYS WITH MY UNEXPECTED BOSS

Aku melihatnya. Dada bidang dengan punggung yang lebar di balik jas hitam menawannya. Sepasang manik elangnya yang menatap tajam dan senyum manis di bibirnya, membuatku bergetar. Gerakan tangannya saat membenarkan dasi di lehernya, aku ingin menggantikannya. Memakaikan dasi di lehernya, menatap rahang kokohnya dari dekat, mengecup bibir tipisnya. Kau begitu menawan, Bos.

KuroyukiRyu · Urban
Not enough ratings
32 Chs

Evening In The Mall [Part A]

Sore setelah pulang kerja, aku tidak langsung menuju apartemen. Iseng saja, aku berbelok ke mal seorang diri, masih lengkap dengan pakaian formal. Persedian maskerku habis, sereal, yogurt dan buah-buahan di kulkas juga tinggal sedikit. Tidak akan bertahan sampai akhir pekan untuk jadwal berbelanjaku.

Saku jasku bergetar, ternyata ponselku mendapat panggilan masuk.

Dad?

Tanpa perlu berpikir, aku mengangkat panggilannya. Bukan suara Dad yang kudengar, tapi suara Mom menyapa dengan lembut.

"Halo, sayang." Kalau bertemu langsung, aku pasti akan menerjang ke dalam pelukannya.

"Hai, Mom. Merindukan putrimu yang cantik ini?" Meskipun Mom tidak melihat, tetap saja aku memasang senyum mesem sendiri.

"Tentu saja. Aku sampai khawatir lupa wajah cantik putriku."

"Mana bisa begitu. Kecantikan putrimu itu absolut, Mom. Tidak akan mudah dilupakan, hahahaha~"

Aku tidak peduli dengan tatapan memandang aneh yang ditujukan padaku ketika aku tertawa. Alasannya benar, kecantikanku sulit dilupakan. Lihat saja buktinya. Nanti.

"Bagaimana pekerjaanmu? Kau tidak berperilaku nakal, bukan? Makanmu baik?" Aku memang boleh berusia kepala dua, tapi untuk Mom aku selalu menjadi putri kecilnya.

"Pekerjaanku baik-baik saja dan penghuni kantornya menyenangkan." Hanya berlaku untuk Adam, sih.

"Kapan kau akan pulang? Dad merindukanmu juga." Suara Mom berubah sedih. Padahal belum ada satu bulan sejak terakhir aku pulang ke rumah.

"Aku bahkan belum menerima gaji pertamaku, Mom. Jika sudah, aku akan membawakan bibit tomat kualitas terbaik." Ya, Mom itu penggemar tomat, ia selalu berkata kalau rasa masam tomat itu menggelitik lidahnya. Aku tidak mengerti, tapi ia memang sudah kesukaan Mom.

"Baiklah, Mom akan menunggu harinya. Omong-omong kau sedang apa? Jangan lupa makan malam, sayang."

"Ak-"

"Halo, cantik," secara tiba-tiba, sebuah beban hidup bertumpu di bahuku. Lengan pria memeluk leherku dari belakang. Jam tangan putih bermerk ternama terlihat mengkilat di tangannya.

Jangan katakan aku tidak terkejut walaupun tahu betul itu suara siapa.

"Jessy? Kau bersama siapa?" Sudah pasti Mom mendengarnya.

"Sampai nanti, Mom. Kuhubungi lagi nanti. Aku sayang padamu." Panggilan langsung kumatikan sepihak.

"Aku juga sayang padamu."

Itu bukan Mom yang membalas, sialan.

"Sam! menyingkir dariku!" Aku mencoba membuka lingkaran tangannya yang bisa saja mencekikku tewas.

"Tidak mau." Kuakui, kekuatannya sama menyebalkannya dengan sifatnya.

Berhenti di tengah lalu lalang pengunjung mal membuat kami menjadi bahan tontonan. Mungkin mereka melihatnya sebagai reuni manis dari sepasang kekasih yang bertemu setelah jarak yang jauh memisahkan.

Cuih.

"Lepas kataku! Lepaskan!" Padahal aku sudah memukul-mukul lengannya. Tapi memang pada umumnya kekuatan wanita tidak lebih kuat dari pria, Sam masih bersikukuh memelukku dari belakang.

"Lepas, bodoh!"

Maaf ya, kepalang kesal. Aku langsung mengambil ancang-ancang dan menyikut perutnya dengan sekuat tenaga.

"Ohokk!" Sam yang terbatuk bersamaan dengan lengannya yang lepas. Kini beralih merintih memegangi perutnya.

"J-jessy, jahat sekali. Itu kan pelukan mesra dariku."

Sekali lagi, mulutnya sama menyebalkan dengan tindakannya.

"Kan sudah kubilang lepas, ya lepas," gerutuku.

"Pokoknya aku minta ganti rugi!" Baru sebentar, Sam sudah nampak baik-baik saja berdiri di atas kakinya, tidak lagi sambil merunduk dan meringis kesakitan di perutnya. Dia ini bodoh atau bego?

"Kau sudah sehat, ya. Lagipula, sikuanku pelan. Kau saja yang berlebihan."

Tidak. Tenagaku memang berlebihan. Tapi, tidak kudapati sesuatu yang fatal pada Sam.

"Pokoknya kau harus ganti rugi. Temani aku berkeliling mal."

Belum sampai aku mengucapkan apapun lagi, Sam lebih dulu meraih lenganku dan memaksaku untuk mengikuti langkahnya.

Anak kurang ajar.

"Hei, aku punya urusanku sendiri!"

"Nanti aku akan menemanimu juga, Jessy."

"Urus saja urusanmu sendiri."

"Tidak mau, aku butuh teman."

"Panggil saja koleksi jalangmu."

Kami terlibat adu mulut sambil tarik-menarik tangan. Astaga, Sam benar-benar akan merusak hariku yang sudah baik-baik saja sejak di kantor.

"Akan kulaporkan kau pada Adam!" Kuharap kami memiliki panggilan batin, jadi Adam tahu kalau aku sedang dalam bahaya karena Adik dungunya.

"Laporkan saja," bukannya merasa takut, Sam malah terdengar tak peduli dan mencoba menantang.

"Aku akan laporkan pada Ibu kalau asisten Kakak adalah seorang penyikut perut anak tampannya," Sam melanjutkan. Sepertinya mencoba menakutiku kalau aku akan terancam ditendang dari Blue Pacific Properties.

"Kau tidak memiliki bukti. Ibumu tidak akan percaya." Sudahlah, anak bodoh diam saja dan pergi sanah.

"Aku bisa memeriksa CCTV di lokasi ini."

Sombong sekali ia. Memasang wajah kemenangan yang ingin kuacak-acak.

Aku ingin menentang kalau ia tidak bisa melakukan itu, meminta rekaman CCTV begitu saja. Namun, aku segera sadar kalau Sam adalah adik dari seorang bos perusahaan properti besar. Bukan karenanya aku bisa dipecat, melainkan...Sam pasti bisa melakukannya. Lihat saja jam tangannya.

Bocah brengsek.

Sam yang tidak mendapatiku berbicara lagi pun merasa besar kepala.

"Nah, ayo kita jalan, Jessy sayang."

Mau tidak mau aku mengiyakannya. Tidak apa, kukira aku bisa bersabar selama satu jam sebelum benar-benar menghajarnya.

Sam terus berjalan satu langkah di depanku sambil menuntunku ke arah yang diinginkannya. Kami terlihat seperti ayah yang pergi dengan anaknya yang tengah merajuk.

Sam membawaku masuk ke toko sepatu olahraga. Ketika melihat-lihat sepatu dengan tangan kirinya, tangan kanannya tak lepas dari tanganku.

"Sudah, sudah, lepas tanganku!" kuhentakkan tanganku dalam satu ayunan. Beruntungnya berhasil dan itu membuat Sam menoleh cepat.

"Tidak mau. Kau pasti akan kabur diam-diam!" Ck, ia menggamit kembali tanganku.

Aku memandanginya dengan tatapan sengit, mulutku merapal umpatan tanpa suara. Sudah cukup dengan orang-orang memandangku aneh karena tak henti ribut sejak tadi.

Sam meletakkan kembali sepatu yang diambilnya pertama kali. Kemudian berpindah ke sisi kiri untuk melihat pasangan sepatu lain. Kami tidak berbicara. Sam fokus melihat-lihat sepatu, sedangkan aku menguap bosan.

"Ck, cepatlah, Sam!" kakiku sudah gatal karena belum ada sepasang sepatu yang cocok untuknya setelah berpuluh-puluh menit.

"Sabar, Jessy. Ini baru rak kedua."

Sial, jadi ini yang umumnya pria rasakan ketika menemani wanita berbelanja. Namun, keadaan yang kualami berbanding terbalik.

Tidak, Jessy. Ini bukan waktunya untuk kau memetik hikmah dari suatu yang kau alami.

"Kau pikir ini gratis, huh?" Maaf saja, waktuku berharga.

"Kau bisa pilih sepasang, dua pasang, atau lima. Aku tidak keberatan."

Oke, aku setuju. Ini benar yang namanya berharga.

"Kalau begitu, lepaskan tanganku dulu. Kalau kau menahanku terus, aku tidak bisa memilih lima pasang sepatuku."

Lima pasang?

Hm, sepertinya berlalu banyak.

Tapi, tidak apa. Dua untukku, dan sisanya akan kujual pada teman-temanku. Hei, ini lumayan.

"Janji kau tidak akan kabur, sayang. Kalau kau kabur, aku akan mendatangimu lagi dan meminta ganti rugi lagi."

Hoek, mendengar panggilan 'sayang' dari Sam yang lebih muda dariku membuatku lama-kelaman menjadi mual. Panggilan itu milik Adam, sialan.

Ah, 'Honey', 'Darling', atau lainnya juga boleh.

"Aku tidak akan kabur, apalagi membawa lima pasang sepatu yang belum dibayar."

Kalian bisa percayai kata-kataku.

"Oke, sayang. Aku lepaskan," dan akhirnya Sam melepaskanku. Tanpa berkata apapun lagi, aku segera berbalik dan menuju barisan sepatu wanita. Kami berpisah, aku akan menemuinya lagi di kasir nanti.

Kebetulan, aku menemukan sepatu yang kuingin beli sejak lama. Karena ini ternyata sore keberuntunganku, akan kubeli saat ini juga. Tanganku hampir menjangkaunya jika tidak lebih dulu oleh tangan orang lain.

Itu tangan si pegawai.

"?!" Aku memandang bertanya, dan karena ia sudah paham gelagat pengunjung toko, ia berkata yang membuat hatiku sakit.

Baik, itu berlebihan.

"Maaf, Nona. Sepatu ini sudah dipesan." Si pegawai wanita itu tersenyum sambil meminta maaf.

Tapi, tunggu-

"Siapa? Aku tidak lihat ada yang datang bersamamu." Ya, pegawai itu datang sendiri tanpa terlihat seseorang yang dikatakannya memesan sepatu tersebut.

"Ia sudah memesannya melalui website kami."

"Itu curang! Seharusnya aku yang lebih dulu mendapatkannya. Ambil saja persediaan lainnya, ini untukku."

"Maaf, Nona. Ini satu-satunya jenis sepatu yang tersisa."

Lalu, aku peduli?

"Tidak, ini milikku!" Langsung saja kuambil sepatu itu dari raknya.

"Saya mohon maaf, Nona, pembelinya sudah melakukan pembayaran." Jangan salah, aku tidak akan mengalah.

"Aku juga akan membayarnya!"

"Prioritas kami hanya untuk pembayar pertama, Nona." Entah apa yang ia katakan, aku tidak peduli.

"Pokoknya ini milikku!" baru saja aku akan melangkah menuju kasir, pegawai wanita itu memblokir jalanku. Sialan.

"Sekali lagi, maaf, Nona. Mohon kerja samanya."

Tidak akan kuserahkan. Lagipula apa-apaan kerja sama? Aku tidak mengenalmu.

"Dalam mimpimu!"

Itu kalimat terakhir yang kuucapkan padanya sebelum mengambil langkah seribu untuk kabur. Namun, siapa sangka kalau langkahku terlalu jauh sampai melewati mesin pendeteksi

'Teettt!' dan mesin itu berbunyi secara otomatis.

Aku yang terkejut pun berjengit dan tidak sengaja menjatuhkan sepatu yang kubawa. Beberapa pegawai dan pihak keamanan mulai berlari ke arahku. Seketika aku menjadi tersangka. Meskipun bukan niatku seperti itu!

Dasar, bodoh!

Salah satu pegawai pria menangkap tangan kiriku, sedangkan pihak keamanan menangkap tanganku, dan sepatu itu diambil kembali oleh pegawai wanita.

Bagus, aku menjadi tontonan lagi. Sebentar lagi pasti aku akan masuk televisi.

"H-hei, t-tunggu!"

Sial, aku panik!

"Sebaiknya Nona ikut kami karena telah berniat mencuri." Satpam di sisi kananku mulai berbicara.

"A-apa?! Aku tidak mencuri! Aku hanya tidak ingin sepatu itu diambil!" Mataku bergulir pada pegawai wanita berambut hitam di depanku, lebih tepatnya pada sepatu yang kini dalam dekapannya.

"Apapun alasannya, jelaskan saja di kantor kami, Nona." Mereka mencoba menyeretku berbalik untuk masuk ke dalam toko. Mungkin kantornya ada di bagian dalam.

Aku meronta-ronta agar bebas. Memalukan sekali, padahal aku tidak pernah mencuri!

Sosok Sam pun mencul dari barisan sepatu ketiga. Keningnya mengerut sebagai tanda kebingungan.

"Tunggu, ada apa ini?"

Sekarang suara Sam terdengar sebagai malaikat penolong.

"Sam! Tolong katakan pada mereka kalau aku bukan pencuri!" Aku menarik-narik tanganku yang dicekal dari kedua sisi. Posisi seperti ini bukan hal baru untukku, namun alasannya berbeda. Kala itu karena aku sering berkelahi dengan teman di sekolahku.

"Lepaskan Jessy. Dia datang bersamaku dan dia bukan percuri, sialan."

.

.

.

.

.

- To be continue -

Halo, berjumpa lagi di chapter baru. Maaf kali ini lambat karena semingguan lalu sibuk urusan penelitian dosen^^"

Terima kasih buat kalian yang setia menunggu Jessy. Jangan lupa tinggalkan jejak dan sampai jumpa di Part B~

KuroyukiRyucreators' thoughts