webnovel

DAYS WITH MY UNEXPECTED BOSS

Aku melihatnya. Dada bidang dengan punggung yang lebar di balik jas hitam menawannya. Sepasang manik elangnya yang menatap tajam dan senyum manis di bibirnya, membuatku bergetar. Gerakan tangannya saat membenarkan dasi di lehernya, aku ingin menggantikannya. Memakaikan dasi di lehernya, menatap rahang kokohnya dari dekat, mengecup bibir tipisnya. Kau begitu menawan, Bos.

KuroyukiRyu · Urban
Not enough ratings
32 Chs

Chance [Part B]

"Oh, ya, bagaimana keadaan Nyonya besar?" seingatku beliau memang sudah stabil, hanya saja kemarin belum sampai melihatnya sadar.

"Sekarang sudah baik-baik saja. Ia terbangun sekitar empat jam kemudian, setelah kalian pulang." Senyum pria itu mengembang dengan sendirinya, merasa bahagia saat mengingat ibunya sudah membuka mata.

"Doamu yang membuatnya tersadar," dan aku tertular dengan senyuman itu. Duh, tampannya bosku ini!

Roti isi di tangannya habis, Adam melanjutkannya dengan menyesap kopinya sedikit sebelum membereskan kotak makanku. Wow, ia sangat bertanggung jawab, sangat pria idaman.

"Kupikir kau akan makan satu lagi. Biarkan aku yang merapikannya." Kotak bekal yang sudah selesai disusun olehnya pun kuambil alih.

"Satu saja cukup. Lagipula itu bekal makan siangmu, bukan?"

Kepalaku ingin mengangguk sebagai tanda benar, tapi aku juga malu. Terlihat susah daripada sedang diet.

"Um, ya, begitulah," kekehan pelan kuloloskan.

"Kau makan siang hanya dengan roti isi?"

Betul saja, Adam terkejut.

"A-aku... sedang diet," kata terakhir sengaja kupelankan, tapi karena telinganya yang kelewat peka, Adam mendengarnya.

"Kupikir tubuhmu sudah langsing." Ia mengatakannya dengan biasa, tanpa ada niat menggoda dalam kalimatnya.

Tetap saja aku sukses dibuat merinding saat mata gelapnya memandangku dari ujung kaki hingga ujung kepala. Ia mencoba menilai.

Lalu, apa baru saja dia memujiku?!

Seketika aku bingung harus merespons bagaimana. Sial.

"Ha-haha, terima kasih. Kau pandai memuji, ya, Bos," aku mengatakannya sambil tersipu malu. Untung saja rambut panjangku dapat menyembunyikan roman gadis remaja jatuh cinta.

"Tidak, itu benar. Oh, seharusnya aku yang berterima kasih. Roti isinya enak." Kemudian Adam menyeruput kembali kopi hitamnya.

Dua kali ia memujiku. Aaakkh!

"Bukan masalah. Kalau begitu aku kembali ke sisi sana," karena jam kerja sudah mulai. Aku membawa kotak bekalku kembali ke meja. Tidak menyesal sudah berbagi satu roti isi, ahhaha.

Alih-alih meliriknya lagi, kulihat Adam sudah menenggelamkan dirinya pada komputer di depannya. Mungkin memeriksa atau melanjutkan pekerjaan kemarin.

Aku melakukan hal yang sama, tetapi suaranya kembali terdengar menginterupsi. Ia memanggilku.

Oh, Zeuz, aku sangat suka suaranya saat menyebut namaku!

"Apa ada kendala saat aku tidak datang kemarin?" Adam mengangkat topik pekerjaan, tepatnya mengenai hari kemarin. Aku tersentak, entah Adam menyadarinya atau tidak. Wajah garang Tuan Lee langsung mengisi pikiranku.

Hush, hush! pergi kau tua bangka!

"Ahh... baik-baik saja. Semua aman terkendali~" Aku ini payah berbohong, Adam saja tahu itu. Ia meninggikan alisnya, pasti merasa tidak yakin dengan ucapanku barusan.

"Kau yakin, Jessy? Aku tidak akan marah padamu jika memang benar terjadi sesuatu. Seperti klien yang marah, misalnya?"

Bagus. Bosku sepertinya memang pandai membaca masa lalu. Atau... ada yang melaporkan?

Bisa saja, sih, karena saat itu ada beberapa pekerja yang menonton muntahan kekesalan Tuan Lee padaku.

"Y-ya... bisa dibilang begitu. Tapi, kau tidak perlu khawatir, aku sudah mengatasinya dengan baik. Aku juga menahan jadwal kemarin hingga lusa." Semua agenda pekerjaan Adam setiap hari memang aku yang mengelola, namun aku tidak memiliki hak untuk membuat waktu lain jika tanpa persetujuan Adam, dan membahasnya kemarin bukanlah waktu yang tepat.

"Siapa yang protes?" Adam lanjut bertanya dengan santainya.

"Tuan Lee. Itu karena aku secara mendadak mengabarinya kalau pertemuan hari itu batal. Tuan Lee sudah tiba lebih dulu dan..." itu kejadian memalukan. Sepertinya tidak perlu kukatakan.

"Dan?" Sayangnya, Adam seperti mendesak walaupun nadanya tidak menuntut.

"...dan ia marah padaku."

Tidak, tidak. Mana sudi aku menceritakan detail sebenaranya yang tidak menyenangkan.

Adam mencoba mengerti dengan tidak tertawa atau memberikan reaksi yang mengejek. Apa ia merasa bersalah karena hal itu juga disebabkan oleh dirinya yang hilang kabar?

"Baiklah, tidak apa. Jangan diambil hati."

Adam mengatakannya seolah sedang berhadapan dengan anak sekolahan. Aku sudah tahu resiko dunia sosial di dalam pekerjaan.

"Tenang saja, aku tahan banting." Adam terkekeh pelan mendengarnya. Aw, senang melihatnya banyak tertawa atau terkekeh sejak tadi. Suasanya hatinya pasti sudah membaik.

Ekhem, atau karena ada aku di sini sebagai 'mental support'-nya?

Ya, tentu saja aku sangat mengharapkan mendapat peran penting di depan Adam.

"Jadwal terlenggangku minggu ini ada di hari apa, Jessy?" kulihat ia sudah beralih dari komputer ke kalender di mejanya.

Aku segera mengambil buku agenda Adam dari dalam tasku, dan melihat-lihat jadwalnya di hari Selasa hingga Jumat.

"Umm... Rabu dan Jumat di waktu setelah makan siang tidak ada banyak agenda." Jikapun nantinya ada agenda dadakan yang harus ditambahkan, itu bisa mengantri di minggu berikutnya.

"Kalau begitu pindahkan semua agenda kemarin ke hari Rabu dan Jumat." Wah, minggu ini akan menjadi minggu sibuk untuknya. Kukira Adam akan memindahkannya ke minggu depan karena ibunya masih dirawat inap.

"Baik, akan kubuatkan jadwal terbarunya."

Adam tidak mengatakan apapun lagi, ia sudah kembali pada komputernya, sedangkan aku berkutat untuk mengatur ulang jadwal Adam. Lalu, menghubungi lagi pihak-pihak yang mengalami pergantian jadwal.

Satu jam lagi, Adam ada acara peninjauan lokasi untuk pembangunan ruko baru. Itu adalah peninjauan pertama dengan kliennya sejak sebulan lalu, begitu katanya. Jadi, aku belum tahu lebih banyak tentang proyek yang satu itu.

Bosku tidak mungkin menghafal seluruh agendanya, dan sebagai asisten yang pro aku mencoba mengingatkannya. Adam sempat terdiam sesaat sebelum mengatakan terima kasih. Aku tahu ia pasti lupa, terbaca dari ekspresi dan responsnya.

Tingkat kesenanganku bekerja di sini jadi meningkat. Aku memiliki bos yang tampan dan juga sangat dewasa. Adam bukan tipe bos-bos arogan seperti di novel picisan yang kubaca, ia seorang bos yang begitu pintar menempatkan diri. Ketika merasa bersalah, tak ragu mengucapkan kata maaf, pun ketika merasa tertolong, ringan mengucapkan terima kasih. Tapi, di balik itu, Adam memiliki kecerobohan yang tidak bisa dihindari. Seperti masalah kehadirannya sebagai seorang bos. Aku teringat cerita Allan kemarin.

"Jessy, ayo pergi."

Tubuhku terhentak, otomatis menatap Adam yang sudah berdiri seraya merapikan jasnya.

Apa?! Kenapa?!

Apakah ini sudah saatnya Adam mengajaku pergi kencan?

"Lokasinya cukup jauh. Jadi aku mengambil waktu tiga puluh menit lebih awal," katanya lagi, aku belum menyahut apapun.

Bosku sayang, pergi ke Mars denganmu pun aku selalu siap.

"Baik!" antusias, tentu saja. Aku merapikan mejaku sebentar dan mematikan komputer. Tidak lupa menyimpan buku jurnalku ke dalam tas. Itu benda sakral yang menandakan Adam bergantung padaku.

Bosku keluar dari ruangan lebih dulu, aku mengekori satu langkah di belakangnya. Saat melewati meja resepsionis, aku tak sengaja saling memandang pada si pirang yang tengah mengangkat telepon. Si... siapa namanya?

Luce?

Luke?

Luss...

Ah, Lucy brengsek!

Tangannya yang menggenggam telepon menunjukkan jari tengah. Sudah pasti untukku, karena ia melakukannya setelah mata kami bertemu.

Sialan. Aku mengumpat dalam hati, mengerucutkan bibir untuk menahan suara. Aku ingin membalasnnya, tapi aku akan sama gilanya dengan si pirang brengsek itu. Adam ada di depanku, dan orang-orang melihatku sebagai tangan kanan Adam yang elegan. Yah, sesuai dengan penampilanku, sih. Kalau ketahuan aku membalasnya, namaku bisa tercoreng lebih awal.

Tidak! itu terdengar seperti akan tercoreng di masa depan. Jangan, Jangan sampai!

Akan kubalas jika aku bertemu dengannya lagi. Lihat saja, pirang!

Adam dan aku memasuki lift yang kosong, dan entah mengapa berada di ruang sempit berdua saja dengannya membuat jantungku berdegup kencang. Kurasa ini pubertas keduaku.

Ia tidak mengatakan apapun selain mengecek arlojinya, memastikan waktu tidak terbuang. Aku cuma bisa curi-curi pandang melalui pantulan kaca lift. Kalau terlalu fokus menatapnya, aku bisa ketahuan.

"Oh, ya, ini pekerjaan pertamamu yang musti di luar kantor, bukan?" tanya Adam begitu lift terbuka dan kami melanjutkan langkah ke pintu utama.

"Iya, ini yang pertama sejak minggu lalu aku menyesuaikan diri di sini."

Benar, meskipun di awal sungguh di luar nalarku, setidaknya sekarang normal. Sam yang membawa ketidaknormalan yang kumaksud.

"Lalu, bagaimana kesanmu sampai hari ini?" Seorang bos sedang bertanya mengenai testimoni pekerjanya.

Allan pernah menanyakanku hal yang sama saat hari pertamaku, tapi itu kesan untuk bosku yang digadungi oleh Sam.

"Apakah kau ingin jawaban jujur atau bohong saja?" aku tertawa pelan.

"Jujur saja, Jessy. Kau tak perlu mencoba menyenangkanku." Ia mendengus jenaka, tepat bersamaan dengan langkah kami mencapai pintu utama. Ada sebuah mobil hitam dengan seorang pria berseragam hitam menunggu di depan sana.

Aku tidak bisa langsung menjawab tanya itu. Pria yang merupakan supir kantor membukakan pintu belakang untuk Adam, lalu Adam menyuruhku masuk dan duduk di sampingnya. Seperti pasangan suami-istri yang akan diantarkan makan siang.

Ups!

"Menjawab pertanyaanmu tadi, jujur saja aku merasa akan gila jika Sam adalah bos sebenarnya. Hari pertamaku diwawancarai oleh HRD aneh, belum lagi wanita resepsionis lantai 23 mencari masalah denganku. Begitu memasuki ruangan, disuguhkan drama dewasa yang panas dari bos gadungan. Jika kau tidak datang lebih cepat, hari ketiga aku sudah mengundurkan diri."

Aku tidak meringkasnya sampai detik ini, malah menceritakan kesan pertamaku pada Adam yang mungkin belum tahu apa yang asistennya alami sebelum ia datang.

"Hah," Bosku menghela napas, wajahnya menunjukkan penyesalan.

"Maaf atas kekacauan tempo lalu, Jessy. Sebenarnya Allan juga bukan dari bagian HDR, sebelumnya ia ada di bagian Marketing. Aku memindahkannya karena sempat ada masalah di bagian HRD saat itu." Itu satu fakta yang baru kuketahui. Pantas saja konyol sekali sesi wawancara saat itu. Ternyata si bodoh Allan cuma makan gaji buta.

"Lalu... karena hal itu, apa aku akan diseleksi ulang sebagai pelamar kerja lagi?"

Hei, hei, aku takut serius! Bagaimana kalau Adam berniat mengulang seleksinya dan aku malah tidak lolos, dan dan...

dan harus mengucapkan selamat tinggal padanya?!

"Tidak perlu. Kau sudah bekerja dengan baik hingga saat ini, Jessy. Aku sudah merasa nyaman dengan kau yang menjadi asistenku."

Aaaaa! Mommy!

Lampu hijau!

Sialan, aku tahu Adam mengatakannya bukan untuk tujuan romantisasi, tapi siapa peduli. Aku luar biasa senang!

Tenang saja, bosku, aku akan lebih membuatmu nyaman ke depannya.

.

.

.

.

.

- To be continue -

Sampai jumpai di chapter selanjutnya. Jangan lupa berikan komentar dan review-nya yapp^^

Terima kasih.

KuroyukiRyucreators' thoughts