3 03 - Pesan yang Mendebarkan

Sebagai seorang anak tunggal, biasanya mudah saja bagiku untuk mendapat sesuatu yang kumau. Pakaian, gawai, alat kosmetik, atau hampir apa saja yang kuminta akan diberikan. Ayah banyak memanjaku, sementara ibu selalu perhatian padaku. Walau kadang kuanggap mereka berlebihan, aku tetap menikmati itu semua. Mereka tak menuntut banyak balasan dariku.

Dengan semua kemudahan yang biasa kudapat, saat ini aku sedang sedikit frustasi. Aku berhasil memiliki nomor ponsel si pria misterius itu. Yang harus kulakukan hanyalah menghubunginya dan bilang aku ingin berkenalan dengannya. Tapi dari tadi aku hanya menggerakkan jariku penuh keraguan di dalam kamar. Bimbang, apakah aku harus menghubunginya atau tidak. Aku tak biasa menghubungi seorang pria duluan. Biasanya mereka yang akan mengirimiku pesan kemudian seperti biasa, menggoda dan mengajakku keluar. Ajakan yang tak pernah kuterima. Mungkin mereka juga merasakan hal yang sama denganku saat ini. Karena aku biasa mengabaikan mereka, aku jadi takut pesanku juga akan diabaikan si pria misterius.

Sudah hampir dua tahun aku tak kencan lagi dengan seorang pria. Jangankan untuk makan malam, sekedar bertukar pesan atau berbicara lewat sambungan telepon saja aku malas.  Tapi kali ini situasinya beda. Aku sangat ingin menghubungi pria yang memenuhi pikiranku seminggu belakangan. Ingin mendengar suara beratnya, bahkan melihat tatapan aneh di matanya lagi meski hanya lewat layar ponsel. Itu semua bisa saja kulakukan andai aku berani menekan tombol panggil di layar ponselku. Karena tak tahu namanya, kontak pria itu kunamakan 'Cielo', yang berarti surga atau langit dalam bahasa Spanyol.

Sudah beberapa menit aku berguling-guling di kasur karena tak punya cukup nyali hanya untuk sekedar menekan satu tombol saja. Aku merasa segan untuk menghubunginya. Takut ia bahkan tak ingat siapa aku. Ih, mengapa aku seperti ini sih...

Aku memutuskan untuk menghubungi Jess.

"Ada apa, Gi? Pria itu ya?"

Aku merasa malu saat Jess langsung saja bilang begitu. "Aku kan belum bilang apapun, Jess."

"Lalu kau mau bicara apa?" tanya Jess.

"Ini memang tentang pria itu," kataku, cukup malu untuk mengakuinya.

Aku bisa mendengar nafas Jess yang memburu di ujung sana. "Ceritakan padaku, Gi!" katanya penuh semangat.

Aku menceritakan bagaimana aku bisa mendapat nomor ponsel, juga keraguanku untuk menghubunginya. Kubilang juga aku takut merepotkan pria itu lagi seperti kasus di rumah sakit dulu. Segala kebimbanganku kuceritakan pada Jess.

Jess mendengarkan dengan penuh perhatian, ia tak banyak bicara atau memotong selagi aku terus bercerita. "Ketakutanmu takkan membawamu ke mana-mana, Gi. Coba saja bilang padanya kau mau berterimakasih dengan mentraktir dan mengajaknya makan. Tak ada salahnya kok balas budi. Aku yakin pria itu takkan menganggapmu aneh."

Kata-kata Jess memberi sedikit keberanian di hatiku. Aku memutuskan untuk menyudahi pembicaraan dengan Jessica dan mengumpulkan nyali untuk mengirim pesan pada pria misteriusku.

Sekarang aku malah bingung menyusun kata-kata yang mau kukirimkan padanya. Karena ia seseorang yang suka menulis, aku tak boleh asal kirim pesan saja. Aku merasa aku juga harus membuatnya terkesan dengan kata-kata yang akan kukirimkan, dan ini membuatku menghabiskan beberapa menit hanya untuk memikirkan itu.

Akhirnya aku menemukan kata-kata yang sekiranya tepat untuk dikirim padanya. Kutulis begini,

'Halo, aku Adagia, orang yang kaubawa ke rumah sakit minggu lalu. Berkatmu, aku sudah baikan saat ini. Waktu itu aku meminjam ponselmu untuk menghubungi ayahku, jadi aku bisa tahu aku harus menghubungi nomor ini untuk bicara denganmu. Bisakah kita bertemu malam ini? Biar aku yang membayar makanan. Aku mau berterimakasih padamu. Maaf jika aku sudah merepotkan. Juga, terima kasih.'

Aku tak percaya untuk pertama kalinya aku mengajak seorang pria makan malam. Bahkan mantanku dulu saja tak pernah kuajak duluan. Mengapa untuk pria yang bahkan belum kukenal saja aku sudah berani melakukannya…

Kutunggu beberapa menit untuk balasannya. Kututup wajahku dengan bantal sambil berharap ponselku bergetar dan menampilkan pemberitahuan pesan masuk darinya.

Semenit… Lima menit… Setengah jam…

Pesan yang kutunggu tak juga datang. Karena bosan, aku memutuskan untuk tidur saja. Berharap saat bangun nanti ia sudah membalas pesanku.

***

Aku terbangun sekitar 2 jam kemudian dan langsung buru-buru mengecek ponsel. Seketika kecewa karena pesan yang kutunggu tak kunjung tiba. Rasanya aku mau menangis saja dan mengurung diri semalam---

Ponselku bergetar.

Cielo-ku yang mengirim pesan.

'Hi, Gia, bagaimana kabarmu? Sepertinya aku juga harus minta maaf padamu karena sudah pergi begitu saja saat itu. Maaf juga bila aku terlalu lama membalas pesanmu. Kita bisa bertemu di Mall Pusat Kota malam ini. Ada pertunjukan musik dan aku akan tampil di sana. Jika kau datang, pastikan kau ada di baris depan. Jaga dirimu baik-baik. Aku akan menunggu kehadiranmu.'

Air mataku menetes saat membaca pesan itu.

Malam ini aku akan bertemu dengannya, aku akan menyaksikannya bernyanyi, aku bisa melihatnya lagi. Aku memeluk ponselku dengan penuh rasa haru. Aku langsung membalas pesannya, bilang kalau aku pasti datang. Tak lama ia membalas pesanku,

'Pukul 7.30. Jangan sampai terlewat.'

Aku takkkan melewatkannya. Aku bahkan rela datang 1 jam lebih awal.

Aku mengabari Jess tentang berita baik ini. Ia setuju untuk menemaniku karena kebetulan pacarnya sedang tak bisa menemaninya keluar. Teman-temanku yang lain juga kukabari agar tak terjadi salah paham kalau aku hanya jalan dengan Jess saja. Lagipula mereka juga harus tahu kalau aku akhirnya bisa jatuh cinta lagi.

"Ada apa anak Ibu senyum-senyum sendiri?"

Aku yang keluar kamar untuk mengisi botol air langsung memeluk Ibuku. "Aku sayang Ibu," kataku. Aku menatap ke mata ibuku dengan rasa bahagia.

"Lihat anakmu," kata ibu pada ayah yang kebetulan sedang lewat. "Ia pasti minta dibelikan pakaian lagi."

Dari tatapan ayah, ia sepertinya sudah paham kenapa aku bertingkah seperti sekarang ini.

"Tidak. Ia hanya sedang tergila-gila."

Ini kenapa aku suka ayahku.

***

Pukul 18.30, Jess menjemputku dengan mobilnya. Di dalam sudah ada Viola dan Rin. Semua teman sekelasku di kampus. Mereka semua tahu tentang trauma masa laluku dalam percintaan. Mereka seringkali berusaha mengenalkanku dengan beberapa pria namun semuanya tak ada yang bisa membuka hatiku. Jadi, bila mereka tahu kalau aku berhasil jatuh cinta lagi, pasti akan jadi berita bagus bagi keduanya.

Vi, seperti biasanya, bergaya sporty malam ini. Ia memakai celana dan kaus abu-abu yang dilapisi jaket denim. Rambut pendek yang dicat pirang menghiasi wajahnya yang selalu terlihat galak. Dengan postur tubuhnya yang tinggi, ia nyaris tak punya rasa takut. Kalau ada pria yang tak sopan padaku, Vi yang akan menghadapinya.

Sementara itu penampilan Rin jauh lebih kalem dan santai. Ia memakai jeans panjang dan kaus putih polos. Wajahnya yang bulat membuatnya tampak lebih muda dari usianya.  Potongan rambutnya yang berponi semakin memberi kesan kalau ia benar-benar imut.

Saat pingsan minggu lalu, aku sebenarnya juga jalan dengan mereka. Karena itu sebelum berangkat ayah menasihatiku macam-macam. Tapi itu tak menghalangiku untuk dapat izin darinya. Mungkin juga karena tak ada pria dalam mobil yang akan kutumpangi.

"Gi punya berita baik," kata Jess dari kursi depan begitu mobil sudah melaju beberapa ratus meter. Aku duduk di sebelahnya yang mengemudi.

Seketika Vi dan Rin menoleh ke arahku.

"Benarkah, Gi?"

"Ceritakan pada kami."

"Tentang apa, Gi?"

"Aku ragu kabar ini tentang pria yang disukainya."

"Iya ya, mana mungkin Gi jatuh cinta lagi."

Vi dan Rin sahut-sahutan. Mereka sama sekali tak memberiku kesempatan untuk membuka mulut.

"Kalian jangan meremehkan Gi. Ia sudah bertemu dengan pria idamannya." Jess menceletuk dari belakang roda kemudinya.

"Kalian diam dulu dong!" aku menjerit merajuk.

Akhirnya aku menceritakan pertemuanku dengan Cielo-ku. Mobil langsung dipenuhi jeritan penuh semangat dan jadi berisik sekali. Sepanjang perjalanan Vi dan Rin terus menanyaiku tentang pria misterius itu sementara Jess memanasi mereka dan menggodaku. Mereka sama sekali tak bisa dihentikan.

Sampai ke tempat yang kami tuju, aku masih terus dicerca beragam pertanyaan. Jess yang menghentikan mereka karena aku mulai kewalahan.

Setelah bertanya-tanya, kami akhirnya tahu kalau pertunjukkan musik akan diadakan di sekitar pusat jajanan di luar mall. Vi langsung dapat tempat duduk untuk kami setelah sedikit berdebat dengan pasangan yang tengah berkencan. Hal itu mudah saja baginya.

Aku melirik ke arah panggung yang masih kosong selagi teman-temanku memesan makanan. Aku minta Rin membawakan pesananku karena aku tak mau meninggalkan tempat ini.

Sekarang sudah hampir pukul 7.30, tapi orang yang kutunggu belum menampakkan batang hidungnya. Aku sama sekali tak merasakan kehadirannya.

Tak kunjung melihat pria itu, aku jadi makin gelisah. Apalagi pertunjukan musik sudah akan dimulai. Sudah ada orang-orang yang mengecek peralatan, tapi bukan pria itu yang kulihat di panggung.

Teman-temanku sepertinya paham akan gelagatku.

"Ia pasti datang," kata Jess.

Raut wajah Vi kelihatan kesal. "Akan kuhajar ia kalau berbohong padamu."

"Kau mau makanan lagi?" tanya Rin.

Aku melayangkan pandanganku menghindar dari tatapan mereka, melihat ke arah manapun asal bukan ke arah teman-temanku. Saat itu juga aku melihat Cielo-ku tengah berjalan ke arah meja di depan panggung.

Di sisinya berjalan wanita paling cantik yang pernah kulihat.

avataravatar
Next chapter