1 Trigger

"Jadi selama ini kau mendekatiku karena ini, Abby?"

serang Zachary bergetar. Tangannya memegang setumpuk kertas yang Abigail tahu

benar apa isi di dalam file itu. Tanpa perlu bertanya lagi, ia tahu dirinya

sedang dalam masalah.

Dari mana pria itu menemukan benda itu? Benda yang selama ini ia

sembunyikan dan simpan dengan aman. Seharusnya tak ada seorang pun yang bisa

menemukannya. Tapi mengapa ...?

"A-apa yang kau katakan, Zac?" Abigail berusaha

menyembunyikan ekspresinya. Ia kaget, jelas. Namun, jika Zachary membaca

pikirannya dan mengetahui yang pernah ia rencanakan, maka habislah ia.

Sekian lama ... Sekian lama Abigail menyembunyikan dan menyimpan

semua ini dengan sangat hati-hati. Ia bahkan ingin mengubur apa pun yang telah

ia lakukan sejak awal karena menyadari, Zachary atau siapa pun tidak punya

andil atas penderitaan yang ia alami selama ini.

Semua ini adalah tanggung jawab Garry Emerson. Pria tua serakah

itulah yang seharusnya menerima balasan.

Ia bahkan sudah terlanjur mencintai Zachary dan berniat membangun

keluarga yang bahagia, seperti yang diinginkan pamannya, bahkan mungkin

mendiang ayahnya.

"Kau tidak perlu lagi berpura-pura, Abigail. Aku sudah

membaca semuanya. J-jadi selama ini ... apa yang telah kita lalui selama ini

...." Kalimatnya terhenti. Abigail mendekat demi menenangkan suaminya yang

mulai kalut.

Ia yakin Zachary sedang mabuk sehingga meracau dan apa yang ia

bicarakan tak bisa dipertanggung-jawabkan.

Tidak, tidak! Abigail sangat tahu bahwa apa yang dikatakan

suaminya itu adalah sebuah kebenaran. Dulu, semuanya memang hanya kepalsuan. Ia

memang mempermainkan pria itu demi dendamnya. Namun, kini semua berbeda. Jauh

berbeda.

"Zac, Zac ... sayang! Hey, dengarkan aku. Apa pun yang kau

temukan, apa pun yang kau dengar dan kau lihat itu bukan hal yang sebenarnya.

M-mari kita bicara, sayang," ajak Abigail, masih dengan suara bergetar. Tangannya

berguncang, tetapi sekuat tenaga berusaha ia tenangkan sendiri.

Ia kini sedang menenangkan dua jiwa yang sakit. Jiwa

Zachary—suaminya, juga jiwanya sendiri. Ia sakit, sejak lama. Ia sadari itu.

Bahkan dulu ia tak mampu mengendalikan kemarahan dan dendam yang telah

disimpannya sejak dulu.

Namun, kini semuanya telah berubah. Ia bahkan tak menyadari kapan

perasaan itu hilang dan berganti perasaan baru yang telah ia janjikan untuk ia

pupuk agar tetap bersemi.

Perasaan yang mulai tumbuh, cinta untuk Zachary—yang sebelumnya

hanyalah kepalsuan demi tercapai tujuannya.

Zachary mengentakkan tubuh dan menepis tangan Abigail hingga

wanita itu tersungkur. Ia memekik dan memegangi perutnya yang sesaat terasa

nyeri.

"Zac ... kumohon ...." Ia masih meratap dan memohon.

Namun, pria itu bergeming, hanya mengusap wajahnya dengan kasar lalu

menghempaskan kertas yang sedari tadi berada dalam genggamannya hingga

berserakan di lantai.

"Apa yang ingin kau jelaskan tentang itu, Abby? Jawab

aku!!!"

Abigail berusaha bangkit meski perutnya masih terasa nyeri.

"Karena itu, ayo kita bicara, Zac. Aku mencintaimu, tak

mungkin menyakitimu."

"Oh, benarkah?!" tanya pria itu, mendekat pada istrinya,

menatap wajah cantik yang semakin memancarkan pesonanya. Ia selamanya yang

tercantik bagi Zachary.

Wanita teristimewa dalam hidupnya. Ia bahkan rela menukar apa pun

demi kebahagiaan wanita itu. Namun, apa yang ia ketahui beberapa jam lalu

membuatnya teramat sakit dan patah hati.

"BENARKAH?!" bentaknya. Abigail mulai tak sanggup

menahan gejolak hebat dalam dadanya. Ia ingin sekali memeluk tubuh pria itu dan

menenangkannya, tetapi menatap matanya saja Zachary sudah enggan.

Pria itu jelas sudah sangat membencinya.

"Benar, sayang. Aku tidak pernah mengkhianatimu. A-aku

mencintaimu. Aku mencintaimu." Tubuh Abigail bergetar hebat. Berusaha

memeluk Zachary yang pada mulanya meronta dan mencoba melepaskan dekapan wanita

yang sangat ia cintai itu.

Bahkan dengan kemarahan yang sebesar gunung, perasaan cinta itu

tetap ada. Ia marah, karena mengetahui cintanya yang itu hanyalah permainan

bagi Abigail.

"Aku mohon, Zac," pintanya, berbisik lirih di telinga

pria itu. Tubuh mereka sama-sama bergetar. Zachary dengan kemarahannya pada

Abigail, sementara Abigail dengan kemarahan pada dirinya sendiri.

Tangan Zachary merogoh meja dan laci kerjanya. Ia membiarkan

Abigail tetap membungkus tubuh pria itu dengan rengkuhan hangatnya.

Zachary menemukan apa yang ia cari. Benda yang selama ini ia simpan

dan ia bawa ke mana pun. Ia kini menggenggam benda itu erat-erat.

"Kau bilang ... kau mencintaiku?' tanya pria itu dingin.

Abigail mengangguk.

"Aku sangat mencintaimu, Zac. Tak pernahkah aku

mengatakannya?" tanya Abigail, perlahan tangannya mulai membelai punggung

suaminya. "Bahkan ... ada sesuatu yang ingin sekali kusampaikan

padamu."

Deru nafas Zachary masih tak beraturan, tetapi ia berusaha menahan

semua emosi dan melepaskannya di saat yang tepat. Ia ingin melakukan ini, ingin

mengakhiri segalanya. Jika perlu antara mereka berdua tak 'kan ada satu pun

yang merasa kehilangan.

"Jika kau mencintaiku mengapa kau lakukan semua ini Abby?

Mengapa kau melakukannya selama ini?" keluh Zachary tergugu. Abigail tak

mampu menahan lagi. Air matanya berderai. Setelah sekian lama, ia akhirnya

menangis.

Bukan karena tertangkap basah telah melakukan perbuatan yang kejam

pada Zachary, melainkan karena ia merasakan sakit yang dirasakan suaminya itu.

"Maafkan aku, Zac ... sungguh maafkan aku. Itu semua terjadi

jauh sebelum hari ini. Jauh sebelum pernikahan kita. Jauh sebelum ...."

Kalimatnya terhenti. Siapkah ia mengatakannya saat ini, saat situasi sedang

sepanas ini?

"Sebelum apa?" tanya Zachary.

Abigail hanya terdiam. Berusaha mencari jawaban yang tepat untuk

menenangkan singa yang tak henti mengamuk.

"Katakan, sebelum apa?" desaknya kemudian berbalik dan

menatap ke dalam mata wanita cantik itu.

Bulu mata lentiknya basah terkena air mata. Namun, Zachary kini

tak tahu apakah itu air mata yang sesungguhnya Ataukah lagi-lagi air mata palsu

demi menjeratnya.

"Katakan, Abby ...," ucapnya lagi lebih lembut, tetapi

wanita itu justru menunduk menyembunyikan wajahnya.

Raut wajah Zachary kini tampak tak sabar. Ia merasa Abigail sedang

mempermainkannya. Darahnya mendidih, ia sudah cukup menahan sejak tadi.

"Katakan, Abby!!!"

"Aku sudah mengatakannya, Zac! Aku sudah mengatakan aku

mencintaimu. Aku ingin kita seperti dulu. Aku ingin cintamu tetap sama seperti

dulu. Aku, kau, dan anak kita. Kau mau, kan?!" pinta wanita itu. Namun,

Zachary seolah tak mendengar apa yang diucapkan wanita itu.

"Jika kau mencintaiku, ikutlah denganku," ajak Zachary.

Matanya menatap ke arah wanita itu dengan tatapan kosong.

"Ke mana?" tanya Abigail.

Perlahan Zachary mengangkat tangan yang sejak tadi ia sembunyikan

di balik punggung. Menggenggam sebuah pistol yang siap untuk melesatkan timah

panas kapan pun pelatuknya ia tarik. Siap untuk mengambil nyawa wanita itu

kapan saja.

Abigail terbelalak, sorot matanya menyiratkan ketakutan. Ia tak

pernah takut akan kematian. Bahkan hingga hari ini. Ia hanya takut salah satu

dari mereka akan menyesali hari ini selamnya.

"Z-Zac ... a-apa yang kau lakukan? T-tolong turunkan senjata

itu."

Pria itu mendengkus. "Jadi kau takut mati? Kau bilang

mencintaiku tapi tak ingin ikut denganku ke neraka?" racaunya.

Abigail bergerak perlahan. Ia tak mungkin bisa menghindar andai

pria itu nekat menarik pelatuknya. Namun, ia mungkin bisa mencegah itu terjadi.

Hanya, ia tak tahu bagaimana caranya.

"S-sayang, kumohon ...." Tangis Abigail mulai pecah. Ada

hal yang harus ia katakan pada pria itu. Bahkan andai tak 'kan ada lagi waktu

untuknya setidaknya ia sudah menyampaikan apa yang seharusnya diketahui pria

itu.

"Zac ...."

Sebuah gedoran di pintu ruang kerja Zachary memecah ketegangan

antar mereka berdua. Seseorang sepertinya tak sabar telah diabaikan oleh

keduanya.

Dengan sekali tendang, pintu yang terbuat dari kayu pohon oak itu

terbuka. Menampakkan pemandangan yang tak ingin dilihat oleh siapa pun.

Gin berdiri terpaku menatap dua orang yang mematung di tempat. Abigail

dengan tangan kosong berdiri tak jauh dari hadapan Zachary yang memegang sebuah

pistol. Tangannya terlihat bersiap untuk menarik pelatuk.

Tanpa banyak bicara Gin menerjang kakak iparnya itu dan berusaha

merebut pistol dari tangannya.

Pergulatan sengit terjadi antara keduanya. Berbagai kemungkinan

bisa saja terjadi. Salah satu dari mereka bisa saja menjadi korban timah panas

itu. Gin masih berusaha merebut benda dalam genggaman Zachary.

"Kumohon hentikan, kalian berdua. HENTIKAN!" pekik

Abigail berusaha menghentikan pergumulan antara adik dan suaminya. Tak ada satu

pun di antara mereka yang berniat untuk berhenti.

DORR! DORR!

Entah apa yang menggerakkan jemari Zachary hingga pelatuk itu

benar-benar menembakkan timah panas secara tak beraturan. Di antara mereka tak

ada yang menyadari di mana benda itu bersarang. Hingga salah satu dari mereka

limbung dan terjatuh di lantai.

***

avataravatar
Next chapter