27 Mencari Jati Diri

Satu pukulan telak pada Heros membuatnya menyadari bahwa Akio memiliki kekuatan yang besar. Teman latihannya kali ini sudah cukup memenuhi standartnya untuk bertarung. Heros merasa ini saatnya untuk mengeluarkan tenaganya dengan sungguh-sungguh.

"Aku sebelumnya tak melakukan serangan dan hanya bertahan. Jadi aku ingin melakukannya kali ini."

"Baiklah. Aku akan melakukan yang terbaik untuk itu." Akio berucap membalas ucapan Heros yang sudah berdiri dengan tegap menatapnya.

Setelah berucap, Heros segera berlari dan menyerang dengan cakar angin. Akio cukup lihai juga untuk menghindari. Namun kali ini sepertinya Heros tak main-main. Serangannya hampir saja mengenai kepala Akio. Untunglah hanya rambutnya saja yang tertebas.

"Rambutku!" Akio mengerutkan wajah begitu rambut kesayangannya terpotong dan jatuh ke tanah. Ia menjadi marah pada Heros dan memelototinya.

Splash!

Kuku-kuku Akio makin mengeluarkan cahaya merah yang panas. Suhunya mungkin meningkat begitu emosinya makin membesar.

Kara yang melihat pertarungan itu makin sengit dan panas, segera mengepakkan sayapnya dan menengahi mereka berdua dengan suara nyaringnya.

"Hei! Kalian ini apa ini yang namanya latihan? Jangan memulai sesuatu langsung pada yang berat seperti ini. Kalian ingin saling membunuh? Gunakan gerakan ringan dulu!"

Teriakan Kara terdengar seperti memperingati keduanya, namun itu sejujurnya merupakan teguran untuk Akio. Kara tak ingin siluman itu melakukan serangan beruntun seperti itu tanpa menunggu kesiapan Heros. Toh ini adalah sebuah latihan. Heros itu sama sekali jarang menggunakan kekuatannya. Ia jarang berkelahi.

Kara merasa semua harus dimulai dari hal-hal dasar agar Heros jadi terbiasa. Jika sudah hatam dengan hal dasar, barulah kemudian Akio boleh menaikkan level serangannya.

"Paman, aku benar-benar kesal padanya! Lihat rambutku! Jadi tak rata lagi." Akio menggerutu sambil menunjuk-nunjuk kepalanya dengan wajah cemberut.

"Hah! Kau yang duluan memukul perutku," balas Heros tak mau kalah.

"Kau yang meremehkanku! Dan aku sangat tak suka diremehkan! Aku—"

"Berhenti!!" Kara jadi berteriak makin pusing.

"Kalian ini benar-benar, ya. Latihanlah yang benar," imbuh Kara menatap keduanya bergantingan dengan kesal.

"Hm … baiklah, Paman." Akio menyerah.

"Kau pun, Heros."

"Iya … iya … aku paham." Heros menyahuti malas.

Lalu setelah mendapat persetujuan gagak itu. Latihan dimulai kembali. Namun kali ini latihan benar-benar dimulai dengan baik. Baik Kara maupun Heros mengikuti apa yang disarankan oleh Kara.

"Heros, tunggu! Berhenti dulu. Aku lelah," Akio memegang perutnya. Ia merasa capek setelah berkali-kali berlari berkejaran sambil melakukan serangan dan bertahan dari Heros.

"Paman, ada sumber tidak di sekitar sini?"

"Hm, tunggu sebentar. Aku akan mengeceknya." Kara berlalu meninggalkan keduanya yang sudah mengambil posisi duduk masing-masing. Akio yang kelelahan segera merebahkan tubuhnya yang sudah menciut.

"Hm… berarti waktu itu aku tak salah llihat."

"Tentang apa?" Akio bertanya dan membalikkan badannya pada Heros yang juga ikut berbaring disampingnya.

"Waktu kita pertama kali bertemu di sungai. Aku melihat bayanganmu yang besar. Aku tak menyangka jika kau benar-benar bisa membesar seperti ini."

"Oh? itu … haha. Disaat terdesak, aku memang lebih memanfaatkan tubuhku yang kecil ini. Terlihat lebih lemah memang lebih aman. Lawan tak akan begitu waspada padaku."

"Lalu bagaimana dengan gasing raksasa?"

"Gasing raksasa?" Akio mengerutkan dahinya. "Maksudmu ini?"

Tangan mungil itu merogoh sesuatu dari kantung bajunya dan mengeluarkan sebuah gasing kecil berwarna perak.

"Bukan ini. Maksudku gasing besar yang kau gunakan untuk mengacaukan penglihatan Hanzai dan makhluk aneh itu kemarin." Heros mencoba mengingatkan kejadian kemarin.

"Itu memang gasing ini. Sejak awal dia memang seperti ini saja bentuknya."

Heros memiringkan kepalanya. Sampai sini ia bahkan tak mampu mencerna kata-kata Akio.

Hal ini membuat siluman rubah itu mendesah dan duduk. Ia hendak menjelaskan pada Heros sejelas-jelasnya.

"Gasing ini adalah gasing ilusi. Gasing kecil ini akan menjadi besar selama orang itu tak menyadari jika ini hanyalah tipu muslihat saja. Selama ia tak sadar, maka baginya ini adalah gasing yang sangat besar dan memiliki kekuatan topan yang besar. Padahal itu tak begitu."

"Woah! Menarik!" Heros merebut gasing itu dari tangan Akio dan langsung memutarnya.

"Benar-benar tak berpengaruh apa-apa, ya." Heros kecewa melihat gasing itu kecil saja. Benda itu tak membesar seperti terakhir kalinya.

"Kau ini. Ini hanya berjodoh denganku. Kau putar beberapa kali pun tak akan berfungsi seperti seharusnya." Akio merebut benda itu kembali. "Ini hanya bisa digunakan olehku. Tak sembarang orang yang bisa menggunakannya."

Heros manggut-manggut pertanda ia mengerti.

Kemudian Kara datang menerobos dari dalam hutan begitu saja. Wajahnya panik bukan main.

"Paman kenapa?" Akio segera bangkit melihat Kara dengan peluh bercucuran.

"Akio! Jika ular itu datang mencariku! Katakan aku tak ada!"

Begitu berucap, Kara segera bersembunyi di balik pohon. Akio dan Heros hanya saling pandang dengan tak mengerti. Beberapa saat kemudian, seekor ular hitam besar muncul dengan mata merah yang menyala.

"Sssstttt," desis sang ular.

"Pstt! Ini ular yang dimaksud paman?" Akio berbisik pada Heros.

"Mungkin. Tapi kenapa Kara takut dengannya? Bukankah dia tinggal terbang saja dan tak mungkin tertangkap?"

Mendengar itu Akio hanya menggendikkan bahunya. Benar juga. Kara kan bisa terbang?

Clap!

"Wah! Dia berubah!" Keduanya terpaku melihat ular hitam itu berubah menjadi manusia.

"Dia siluman seperti kita." Entah mengapa Akio jadi was-was. Ia segera melangkah beberapa langkah mendekatkan diri pada Heros.

"Apa kalian melihat seekor gagak disini?"

"Kenapa kau bertanya seperti itu?" Heros menjawab dengan pertanyaan juga.

"Ada yang ingin aku tanyakan pada gagak itu. Aku merasa dia sedang menipuku. Tapi sepertinya juga tidak."

"Tipuan? Tipuan apa?"

Ular itu tersenyum smirk mendengar Heros makin penasaran dengannya.

"Aku tak ada urusan denganmu. Jadi … permisi." Ular itu berlalu.

Setelah dirasa aman. Kara keluar dari persembunyiannya.

"Fiuh! Aku selamat!" Kara begitu gembira.

"Kau berbohong apa lagi padanya?" Heros segera menanyai gagak itu. Kara tersenyum masam.

"Jangan suka mencari masalah Kara. Lain kali kau bisa di goreng beneran."

Kara tak menjawab. Untuk sementara biarlah itu semua menjadi rahasia. Belum saatnya Heros tahu soal para bandit.

"Paman ketemu dimana dengan ular itu?" Sekarang Akio yang jadi penasaran.

"Ketika aku berpisah dengan Heros. Sama sepertimu yang bertemu dengan Heros ketika dia berpisah denganku." Jawaban penuh drama itu langsung saja terlontar dari mulut sang gagak.

"Lalu apa yang paman katakan padanya sampai dicap penipu?"

"Ya, apa yang kau katakan?" Heros jadi menimpali pertanyaan Akio dan mendesak Kara.

"Baiklah-baiklah. Waktu itu aku akan dimakan oleh ular itu. Jadi aku minta kemurahan hatinya untuk tak memakanku. Aku menukar sebuah informasi padanya."

"Informasi apa?" Keduanya bertanya hampir bersamaan pada Kara.

"Tentang bulan merah. Portal Immortal Land akan terbuka ketika itu, dan … banyak siluman kuat yang akan keluar kedunia manusia. Aku hanya takut kau belum siap untuk itu Heros. Kita semua akan terancam punah."

"Heros … aku rasa kita benar-benar harus menemukan Saint itu. Aku rasa darinya kamu bisa belajar sesuatu. Terutama pengendalian kekuatanmu itu. Kau jelas punya potensi yang besar dalam dirimu." Kara menepuk bahu Heros pelan.

"Kalau kau bisa mengendalikan aura merah, kamu mungkin bisa bertahan saat itu tiba."

avataravatar
Next chapter