webnovel

Bebas

Hari ini, adalah hari di mana aku dibebaskan. Keluar dari tempat yang busuk ini. Di mana jika Anda lemah, Anda akan ditindas. Namun jika Anda kejam, maka selamat. Atas penobatan Anda menjadi salah satu yang berkuasa.

***

Aku berdiri di depan gerbang besar lapas, dengan sebatang rokok di sela jari. Menunggu hingga ada yang menjemput. Namun pikirku, ini hanya sia-sia. Tiada sesiapa lagi yang kupunya dalam hidup ini. bahkan selama dalam masa tahanan, tidak ada satu orang pun yang datang menjengukku.

Aku memutuskan untuk berjalan kaki, menyusuri tepian jalan raya. Tidak tau ke mana tujuanku selanjutnya, tak punya rumah. Tempat tinggal yang dulu aku huni, mustahil sekarang masih menjadi milikku. Pasti para pejabat berdasi itu sudah menyitanya, karena rumah itu adalah jaminan hutangku dulu kepada Bank.

"Ternyata gak semua kebebasan itu menyenangkan," dengusku.

Sekitar hampir dua kilometer berjalan, aku berhenti di sebuah warung makan, lalu mengeruk saku celana, untuk melihat berapa uang yang aku punya. Dan ternyata ... masih ada dua lembaran uang dua puluh ribu, dan satu lembar uang lima puluh ribu, serta beberapa lembar uang receh dua ribuan. Mungkin totalnya ada seratus ribu kurang, atau lebih.

Aku duduk di salah satu kursi warung makan yang sederhana itu. "Makan di sini harganya berapa ya, Mbak?"

"Lima belas ribu aja, Mas," jawabnya.

"Saya pesan satu, ya, terus kasih nasi tambahnya dua piring."

Penjaga warung itu tersenyum. "Banyak amat, Mas, makannya. Oh iya, sekalian minumnya, mau minum apa, Mas?"

"kalo jadi penjual ... harusnya gak perlu komplain kepada pembeli, Mbak. Mau makan sebaskom kek terserah saya," ucapku sedikit kesal. "Dan minumnya ... yang seger-seger aja, yang penting murah."

"Ya elah, Mas, dibilang gitu aja tersinggung. Ya sudah, saya bikinin es teh aja deh, ya, biar Mas-nya adem."

Beberapa menit kemudian datang seorang pria dengan jaket hitam bertopi, lalu duduk tidak jauh dari tempatku makan, dia hanya memesan segelas kopi hitam. Setelah beberapa menit, orang ini membuatku tidak nyaman, ia selalu menatapku, entah apa yang salah.

"Permisi. Oi, Bang, kenapa ngeliatin gua terus Lo dari tadi," tanyaku, sambil melambaikan tangan padanya tanpa beranjak dari tempat duduk.

Dia tersenyum sinis. "Bobi Bopeng. Petarung jalanan yang masuk penjara, karena membunuh pacarnya sendiri. Benar?"

"Gak usah sok tau, Lo. Gua bukan pembunuh," jawabku, dengan emosi yang tertahan.

Dia menertawaiku, lagi-lagi dengan wajah sinisnya, "Bobi-bobi. Gua tau semua tentang Lo. Dan gua juga tau siapa yang Lo cari selama ini. Sepanjang hidup Lo."

Aku kaget mendengar ucapan terakhirnya barusan, sepertinya dia benar-benar tau banyak tentangku, dan mungkin juga, dia tau keberadaan seseorang yang aku cari selama ini, pikirku berkecamuk.

Aku tidak menanggapi apa pun setelah dia mengucapkan itu, aku hanya melanjutkan makan hingga kenyang. Sepertinya dia juga tidak melakukan apa-apa selain dari mengaduk-aduk gelas kopi-nya.

***

"Mbak. Jadi berapa, semuanya?" teriakku kepada penjaga warung tersebut.

Dengan segera, penjaga warung itu menghampiriku, "Tiga puluh lima ribu, Mas, totalnya."

"Sama kopi ini juga, Mbak," sahut pria sinis tadi.

Aku menghela napas, "Yaudah, nih sekalian, bayarin tu orang gak jelas."

Aku memberikan empat puluh lima ribu kepada penjaga warung. "Habis pesen, diaduk-aduk doang, minta bayarin sama orang pula. Gak jelas banget," rutukku. Lalu berjalan keluar dari warung makan tersebut, dan meninggalkan orang aneh itu.

Baru beberapa langkah aku meninggalkan warung makan tersebut, aku menyadari bahwa ada yang mengikutiku dari belakang.

"Dasar gak jelas, siapa sih Lo," ucapku sambil terus berjalan, tanpa menoleh ke belakang.

Tidak ada jawaban. Namun aku tau, orang itu masih terus mengikutiku, hingga tepat di sebuah gang sempit, aku masuk dan berlari mengikuti arah gang tersebut, sampai orang itu kehilangan jejak.

Aku bersembunyi di balik sebuah rumah yang memiliki pas bunga yang agak besar, dan mencoba mengawasi sekitar. Sepertinya orang aneh itu sudah tidak mengejarku lagi.

"Ehem,"

Suara itu mengagetkanku dari belakang, yang membuatku spontan langsung menoleh. Dan ternyata ....

"Anjing. Ini bener_ beneran, Lo, Bang? Wah parah. Gila, Lo ngagetin gua banget," aku menghela napas lega.