1 Kue Dan Darah

RUMAH bagian depan, tampak lebih gelap dari biasanya. Tapi Medina Lay sudah bisa menebak, bahwa Papanya belum pulang dari pekerjaannya. 

Gadis SMA bertubuh gemuk dan berkacamata persegi itu, memasuki rumahnya dengan sepatu yang cukup lusuh dan terlihat sesak di kakinya. Lalu, melepasnya dengan penuh tenaga. 

"Papa!" panggil Medina cukup keras. 

Gadis itu sengaja memanggil Papanya-Zaki Ragaha Lay hanya untuk mencairkan suasana yang terasa merinding malam ini. 

Klik! Klik!

Medina memencet saklar lampu beberapa kali. Namun, lampu tak kunjung hidup. Medina berusaha  berpikir positif tentang rumahnya yang redup, di tengah terangnya rumah tetangga. 

"Papa pasti lupa memperbaiki listrik rumah," ucapnya sambil memegang tembok pelan-pelan. 

Sebelum Medina melanjutkan langkah kakinya, dia merogoh ransel untuk mengambil ponselnya. Dengan harap, senter dari ponselnya bisa menyala dengan baik. 

"Aish! Bahkan layarnya tak bisa aku sentuh!" celetuk Medina. 

Alih-alih senter ponselnya berfungsi baik, kerusakan ponselnya lebih dari itu. Hal ini membuat gadis itu kesal secara bersamaan. 

Medina terpaksa berjalan lebih pelan, karena dirinya ingin segera beristirahat di kamarnya. Sekolah selalu melelahkan bagi Medina. Terlebih, banyak orang yang membencinya karena penampilan Medina. Tapi, Medina lebih kesal lagi kepada orang yang sengaja mendekatinya karena ada maunya. Orang-orang seperti itu, membuat energi Medina terkuras lebih cepat. 

Tok! Tok! 

Ketukan keras yang entah dari mana asalnya, membuat pikiran Medina teralihkan. 

"Papa, di mana?" tanya Medina. Melihat ke segala sisi yang gelap. 

Seluruh ruangan yang gelap, membuat Medina kesulitan untuk mencari Papanya itu. 

Tok! Tok! 

Kedua kalinya, suara ketukan itu terdengar dekat dengan Medina. Medina berdalih, bahwa Papanya tidak akan mengetuk pintu luar. Melihat dirinya sudah jauh dari pintu tersebut. 

"Papa, jangan menjahiliku. Cepat, nyalakan lampunya!" teriaknya. 

Kali ini Medina sangat takut. Bukan karena hantu yang akan tiba-tiba muncul di depan wajahnya. Tapi, Medina takut bahwa itu bukan Papanya

"Me-dina," panggil Papanya dengan suara bergetar. 

Medina membelalakan matanya, terkejut. "Papa dimana? Ada apa dengan suara Papa? Ayolah, jangan berusaha menakutiku." 

Tiba-tiba, Medina merasa tidak enak hati. Dia berubah pikiran tentang seorang perampok yang sudah memasuki rumahnya. Medina berspekulasi lagi, bahwa dia sakit. 

"Papa, d-diam di situ. Aku akan membantu Papa," kata Medina, dengan kepanikan yang masih menyelimutinya. 

Medina menurunkan tubuhnya. Kali ini, dia menyentuh lantai dan beberapa benda di sekitarnya.  Sambil berusaha mencari tubuh Papanya, karena Medina takut Papanya tidak sadarkan diri di lantai seperti 6 bulan yang lalu. 

"Papa, Medina akan membantu Papa. Apakah Papa mendengarkanku?" tanya Medina. 

Zaki tidak menjawabnya. Hal ini membuat Medina berakhir meneteskan air matanya. Entah kenapa, tubuh Medina menjadi lemas seketika. Ruangan yang sepenuhnya gelap, membuat gadis itu pengap. Dia memegangi dadanya berkali-kali. Lalu memukulnya berkali-kali pula. 

"Pa-pa, tolong bertahanlah," pintanya tanpa jawaban lagi. 

Di saat-saat seperti ini, pikiran Medina semakin kacau. Dia takut jika Papa, yang merupakan keluarga satu-satunya akan meninggalkannya sendiri. Menyusul Mama Medina yang sudah pergi lebih dulu 17 tahun yang lalu. 

"Papa tahu, 'kan? Bahwa Papa tidak boleh kenapa-kenapa karena Papa punya aku?" ujar Medina dengan suara terisak. 

Untuk kesekian kalinya, pertanyaan Medina tak mendapat jawaban lagi. Dan untuk perkataan Medina ini, Papanya memang pernah menjanjikan sesuatu, bahwa Papanya akan selalu baik-baik saja agar Medina dapat hidup dengan baik juga. 

Mengingat janjinya kala itu, Medina semakin tidak yakin Papanya akan menepatinya. Tapi bukan sebuah dosa besar, jika Medina masih berharap walau sedikit. 

"Men-dekatlah, Medina," pinta seorang pria, yang merupakan suara Papanya. 

Medina semakin terisak dengan tangisnya. Air mata bagaikan lautan yang siap menenggelamkan dirinya. Dia tidak berhenti bersyukur jika Papanya masih hidup. 

"Hah! A-aku akan kesana, Papa. Tolong jangan banyak bergerak," jawab Medina. Lalu mengusap air matanya. 

Medina berusaha lebih keras untuk mencari Papanya, di rumah yang tidak besar. Namun karena gelap, pencarian bagaikan di sebuah rumah kerajaan. 

Ting! 

Tiba-tiba Medina melihat siluet tangan setelah orang itu tertangkap menyalakan lilin, yang menancap di sebuah kue berwarna putih, dan hiasan stroberi di pinggirnya. 

Perasaan Medina kali ini campur aduk. Entah harus  mengusap air mata atau melanjutkan tangisannya. Medina berlari ke arah kue itu. Setitik cahaya, mampu untuknya melihat ruangan itu saja. 

"Papa!" teriak Medina. 

Gadis itu lebih ingin segera memeluk Zaki dari pada meniup lilinnya. 

"Se-selamat ulang tahun, a-nakku. Ti-tiup lilinnya," pinta Zaki yang sudah membesarkan gadisnya seorang diri itu. 

Zaki bersuara. Namun Zaki tak menampakan diri di dekat kue itu. Medina sungguh bingung dengan kejutan ini. Terlebih lagi, Zaki selalu berbicara dengan suara yang bergetar. 

Tanpa menanyakan kebingungannya, Medina memilih menuruti permintaan Zaki, untuk meniup lilin tersebut. 

Medina mendekati kue itu guna meniup lilinnya. 

BRAK! 

"Aaaaaa!" teriak Medina. 

Medina belum meniup lilin itu. Dia sungguh terkejut saat seseorang yang menghancurkan kue menggunakan tongkat golf. Terlebih, tongkat golf itu terdapat banyak darah segar yang menempel dan mengucur cukup banyak. 

Medina memundurkan diri dengan penuh ketakutan, setelah melihat hal mengerikan itu. 

"Si-siapa kamu?!" tanya Medina, dengan volume yang tinggi. 

Klik! 

Dia adalah Tano Akaza. Pria tua bertopeng hitam itu menyalakan saklar lampu. Ditambah, senter ponsel Tano itu sengaja di dekatkan dengan wajah Medina. Hal ini membuat Medina mengernyitkan mata, sebelum benar-benar melihat sekitar dengan baik. 

"Aku tanya, siapa kamu?!" teriak Medina lagi. 

Tano yang mendengarkan teriakan gadis kecil itu, membuat dirinya membuka topeng tanpa takut. Ternyata, dibalik topeng hitam tersebut, terdapat wajah tua yang terlihat memiliki aura penuh dosa. 

"Dimana Papaku? Jangan bilang kamu menyakitinya!" Medina kini berani berdiri dengan nafas terengah-engah. 

Tano  memberi isyarat kepada bawahannya untuk membawa Zaki kepada Medina. 

Medina membelalakan matanya, seakan-akan berani menggelutuk kapan saja. Dia melihat Papanya yang diseret dua orang bawahan Tano tanpa menggunakan topeng itu.

Zaki yang memperlihatkan muka lelah dari pada pasrah. Darah segar tampak melumuri seluruh badannya. Medina dapat melihat jelas, bagian tubuh mana saja yang melukai Papanya. 

"Aaaaahhhhhh!!!" teriak Medina saat tak kuasa melihat Papanya terluka banyak. 

Dan yang membuat Medina berteriak sekeras itu, saat Zaki tak bisa berbicara karena diberikan kain yang menahannya. Lalu, sebelah mata yang tertutup seperti sulit dibuka. 

"Papa!" terika Medina, berusaha meraih Zaki. 

"Jangan sentuh dia atau Papamu tidak akan selamat!" 

Medina menatap Tano dengan tatapan yang terlihat gila. 

"Hah! Hahaha! Bodoh! Siapa kamu sampai berani menyuruhku?!" Medina melemparkan kue ke wajah Tano tersebut. 

Tano  jelas murka. Tano yang kejam itu tidak akan tinggal diam setelah apa yang Medina lakukan. Dia mendekati Medina dengan  tangan yang mengepal kuat. 

PLAK! 

BUGH! BUGH!

Tano menindas Medina tanpa ampun. Darah keluar dari mulut Medina. Memar di sekujur badan, tak usah ditanya lagi. Medina benar-benar lemah sampai rasanya akan mati. 

"Sombong sekali gadis jelek ini!" ejek Tano dengan wajah keriput dan turun itu. "Sini, biarkan anaknya melihat langsung apa yang aku lakukan padanya," perintahnya untuk memberikan Zaki pada Tano tersebut. 

BUGH! BUGH! 

Tano  dengan sadis memukul wajah Zaki dengan tongkat golf yang masih menempel campuran kue dan darah. 

"Argh! Papa!"

Medina tak henti-hentinya berteriak sampai suaranya hampir serak. Tangan dan kaki Medina tidak diikat. Sehingga dia berusaha meraih kaki Tano itu. 

Grep! 

"Argh! Singkirkan dia! Ikat dia dengan lakban itu!" perintah Tano  dengan penuh amarah karena Medina sudah menggigit kakinya. 

Kini, Medina sudah tidak bergerak ataupun bersuara. Namun umpatan kasar selalu Medina alungkan dalam hatinya. 

Krek! 

Tano  menindihnya menggunakan kaki, lalu menggeser sesuka hati kepala Zaki. 

"Pak, sepertinya dia sudah mati," ucap pria muda itu yang merupakan bawahannya. 

Medina yang mendengarnya, teriak lebih keras di dalam lakban berwarna hijau tersebut. Namun berbeda dengan Pembunuh itu. Dia malah menampakan senyum kemenangan yang menjijikan. 

"Hahaha. Akhirnya! Akhirnya!" sorak Tano itu. "Apakah kamu ingin menjadi selanjutnya?" tawar Tano kepada Medina. 

 

avataravatar
Next chapter