1 Dean

Dara duduk dipinggir lapangan yang berada dibelakang sebuah gedung universitas cukup elite.

Gadis itu fokus menatap layar laptop miliknya. Terdengar riuh segerombolan lelaki bermain basket ditengah lapangan. Salah seorang dari mereka sesekali melirik kearahnya sambil tersenyum tanpa dia sadari.

Cuaca teduh sore itu membuat betah gadis berambul ikal sepundak yang sejak hampir dua jam lalu itu, enggan beranjak dari sana.

Tempat yang menyatu dengan taman umum itu cukup ramai dikunjungi hampir setiap sore. Sebagian besar pasangan muda yang datang kesana menghabiskan waktu sore untuk sekedar ngobrol atau berfoto bersama.

Setelah dua jam berlalu, dara beranjak mengemasi beberapa barang miliknya lalu pergi dari sana.

Senja yang baru saja tenggelam beberapa menit lalu, perlahan berganti awan gelap menjelang malam.

Kazian Deandra, lelaki bertubuh jangkung yang baru saja selesai dengan kegiatannya itu, melirik sebuah buku tergeletak dibangku beberapa senti dari tempatnya meletakkan tas ransel miliknya.

Dean mengambil dan memasukkan benda itu kedalam ranselnya, lalu bergegas menyusul teman temannya.

Dara yang tiba dirumah beberapa jam lalu, kini sudah tertidur lelap dikamar tanpa berganti pakaian yang sejak pagi melekat ditubuhnya.

Sementara itu, dean yang tengah duduk dibalkon kamarnya, satu tangannya sambil menghisap sebatang rokok dan satunya lagi memegang buku yang dijumpainya tadi sore.

Dean refleks tersenyum kala melihat nama sang pemilik terpampang jelas di bagian depan sampul buku bercorak merah muda polos itu.

Pandangannya beralih pada kesunyian langit malam dengan ribuan bintang diatas sana. Bayangan seseorang yang dia perhatikan beberapa hari belakangan ini terlintas dalam kepalanya.

Wajah mungil yang selalu tampak serius itu, kerap membuat dirinya gemas. Berulangkali dean bergelut dengan batin dan pikirannya hanya untuk mendekati gadis itu. Keraguannya sendiri yang sering mematahkan tekadnya yang gigih.

Sudah cukup lama dean tak pernah tampak menggandeng perempuan lagi, setelah hubungan terakhirnya saat lulus SMA.

Dean tak benar benar menyukai perempuan yang menjadi kekasihnya dulu. Dia sendiri tak mengerti mengapa saat itu menerimanya, meskipun tak memiliki perasaan apapun.

Hingga saat mengetahui, perempuan itu menghianati dirinya dengan temannya sendiri, justru dean merasa senang karena punya alasan yang pas untuk memutuskannya.

Baginya, semua perempuan yang lebih dulu mendekatinya hanya tertarik pada fisik dan materinya saja. Tak ada perasaan tulus seperti yang selalu mereka bicarakan.

[KAMPUS]

Siang itu, seorang gadis cantik berambut blonde sepinggang, berjalan menghampiri dean sambil tersenyum, lalu duduk disampingnya.

"Babe hari ini temenin gue cafe depan yuk" pintanya dengan nada agak manja.

Dean sengaja tak menjawab, hanya fokus menatap ponsel di genggamannya. Gadis itu tanpa aba aba, menyandarkan kepalanya pada bahu tegap lelaki itu.

Dean kaget, refleks menggeser bahunya membuat gadis bernama Carmella itu, kembali mengangkat wajahnya sambil bersungut kesal.

Tak ingin rasa jengkelnya semakin memuncak, dean beranjak meninggalkan mella yang hanya bisa menatap dirinya menuruni tangga, dengan ekspresi wajahnya yang tak berubah.

Melihat tingkahnya, sudah pasti mella menyukai dean. Baginya, siapa yang tak akan jatuh hati pada pentolan kampus itu. Memiliki fisik yang nyaris sempurna, dan kaya raya. Ayah dean adalah salah satu donatur yang kerap menyumbang dana paling banyak pada setiap event besar dikampus mereka.

Mella akan merasa puas jika berhasil memacari dean, dan semua orang dikampus akan menganggap dirinya, gadis paling beruntung. Begitu fikirnya.

Dia berpikir dean mudah didekati pada awalnya, namun mella salah. Bahkan dean tampak tak tertarik sedikitpun dengannya. Berbeda dengan kebanyakan lelaki yang menyukai dirinya, tanpa mella harus melakukan banyak hal.

Kebanyakan perempuan dikampus, hanya berani memandang kagum pada dean tanpa berniat mendekati lelaki dingin itu. Tapi mella, kerap menunjukkan perasaan dan perhatian dengan cara agresif, hingga membuat dean teramat risih padanya.

Bagi mella, sikap dean yang seperti itu adalah salah satu daya tariknya yang paling menonjol.

Dengan fisik yang banyak digemari kebanyakan lelaki, membuat mella terlalu percaya diri siapapun akan bisa dia miliki. Selain menjadi mahasiswi, mella juga freelance sebagai model salah satu majalah ternama.

Dean mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi di jalanan yang agak lenggang siang itu. Dia jengah dengan tingkah mella. Diabaikan dan dikasari oleh sikapnya, tak juga membuat gadis itu jera.

Dean berfikir dia tak mungkin pindah hanya untuk menghindari mella, atau mengeluarkan gadis itu dari kampus walaupun punya kekuasaan untuk melakukannya.

Meskipun orangtuanya punya andil lebih, mereka juga mungkin tak akan setuju dengan idenya. Juga, dia sudah hampir berada di semester akhir perkuliahan.

Dean menghentikan mobilnya didepan sebuah cafe. Dia lalu turun dan masuk kedalam sana. Cafe berinterior mewah dan aesthetic itu milik salah satu temannya. Dia mengambil tempat duduk dipojok dekat dengan jendela kaca transparan berukuran cukup besar.

Ini kali pertamanya, baru sempat datang kesana setelah beberapa bulan cafe itu dibuka.

Aroma berbagai macam rasa seduhan coffee yang khas menyeruak keseluruh ruangan didalam sana. Meskipun belum ada setahun dibuka, sudah cukup menarik pengunjung yang lumayan ramai datang kesana, didominasi lebih banyak kaum muda.

Karena walaupun terlihat mewah, sang pemilik tak mematok harga mahal pada setiap menunya. Cukup terjangkau untuk kalangan muda menengah yang menyukai tempat fotoable dan sangat nyaman seperti itu.

Sambil menunggu pesanannya tiba, dean melihat lihat keluar jendela. Tampak padat suasana siang itu. Cafe itu terletak dipinggiran kota. Dekat dengan pusat kota dan keramaian.

Disekelilingnya juga berjejer beberapa bangunan ruko yang juga dijadikan tempat usaha. Tertata rapi dan nyaman dipandang.

Netranya tertuju pada sebuah florist di seberang. Mendadak teringat oleh ibunya yang sangat menyukai bunga, dean berencana akan mampir kesana setelah ini.

Saat baru saja akan menoleh ke arah lain, pandangannya kembali tertuju pada seorang gadis yang tak asing baginya, baru saja keluar dari dalam florist itu.

Seorang gadis berambut ikal diikat kesamping, mengenakan dress biru selutut dibalut apron berwarna cokelat sambil membawa dua pot kecil tanaman di kedua tangannya.

Gadis itu tengah menata pot yang dibawanya ke sebuah rak kayu kokoh didepan toko bunga itu.

Dean menyipitkan kedua matanya untuk melihat lebih jelas. "Dia?" batinnya tak percaya.

Ragu akan penglihatannya, dean beberapa kali mengusap matanya. Namun apa yang dilihatnya tetap sama. Gadis itu yang sering dia perhatikan saat dilapangan.

Karena terlalu fokus menoleh keluar jendela, dean tak sadar saat ini seorang waiter tengah berbicara padanya sambil meletakkan pesanan miliknya diatas meja.

Waiter itu mengernyitkan dahi sejenak, lalu mengabaikannya, kembali bekerja.

Dean menggores senyum lebar di wajah tampannya, yang masih setia menatap ke seberang.

avataravatar
Next chapter