17 Tante Sofi.

Usai ketiganya makan malam di rumah Ardo, Pelita sengaja mengajak Sofi untuk duduk di dekat kolam renang, dia ingin mengatakan sesuatu yang telah disembunyikan oleh Ardo, tentang hubungan mereka yang sudah kandas dua minggu belakangan.

Ardo hanya bisa mengintip mereka lewat celah jendela seraya cenat-cenut merasakan cemas, ia berharap sang ibu tak akan memarahinya meski semua itu mutlak kesalahan Ardo, ia tahu malam ini pasti takkan mudah, tapi lebih baik berkata sejujurnya daripada terus-menerus memendam kebohongan.

Masing-masing kaki mereka masuk ke dalam air kolam dengan batas di atas mata kaki, Pelita sedang berpikir dengan baik tentang bagaimana ia harus mengawali ucapannya, dia menatap mata teduh Sofi, mata teduh yang selalu dimiliki setiap ibu.

"Tante ...." panggil Pelita mengawalinya, dia menatap air kolam yang tenang dan dingin, ada rasa ragu yang terus menelusup, beriringan dengan keyakinannya.

"Eh iya, tante lupa tanya komentar kamu soal masakan baru tante tadi, enak nggak? Itu perdana lho tante bikin buat nyambut kamu, Ta," ucap Sofi begitu bersemangat, Pelita jelas menangkap sorot bahagia pada sepasang manik wanita itu, dia menelan saliva, rasanya akan mengatakan sebuah kejujuran seperti mengungkap kejahatan. Dia tidak tega.

"Enak kok, Tante. Kayak biasanya aja, makasih ya udah capek-capek masakin buat Pelita. Maaf kalau Pelita udah nggak pernah ke rumah ini lagi dan jenguk Tante," sesal gadis itu, sesungguhnya bukan sebab Pelita tak ingin, tapi tak bisa.

"Nggak apa-apa, Ardo bilang kamu lagi sibuk? Bantu mama kamu? Wah, pasti bisnisnya makin berkembang pesat, tante juga lama nggak mampir ke sana, jadi kangen sama mama kamu."

Pelita tersenyum kecut. "Tapi bukan itu alasan kenapa Pelita nggak pernah lagi ke sini, Tante." Kejujuran itu sudah sangat dekat. Ardo yang masih berdiri di dekat jendela mendengarkannya dengan seksama, sebentar lagi sebuah petir akan menyambar.

"Lalu apa dong?"

Meski ragu, Pelita tetap memberanikan diri menatap mata Sofi. "Sebenarnya Pelita sama Ardo udah ... putus," akunya dengan jelas.

Sofi seperti tidak mendengarnya, dia memasang pendengarannya dengan baik. "Tadi kamu bilang apa, Ta?"

"Pelita sama Ardo udah ... putus, Tante," ulang Pelita terdengar begitu pahit, ia menelan saliva kuat-kuat seraya alihkan pandang, mau seperti apa—setiap kesalahan harus diakui, bukan? Ardo takkan bisa lempar batu sembunyi tangan seterusnya.

Sofi mengerjap, dia terdiam untuk beberapa saat, menatap gadis di depannya dengan intens seolah menerka isi pikiran serta deretan kata yang tak terlihat dari redupnya bola mata Pelita. Gadis itu juga takkan tahu apa yang bisa terjadi setelahnya, pasti sangat mengecewakan, tapi keputusan sudah diambil sebelumnya.

"Siapa yang putusin?" Akhirnya Sofi membuka suara.

"Ardo."

Mata Sofi membelalak, dia tak ingin mempercayai ucapan gadis itu, tapi Sofi tahu Pelita bukanlah gadis yang mudah berkata bohong.

"Ardo yang putusin kamu? Kenapa? Dia punya cewek lain? Mana itu anak biar tante pukul!" Sofi hendak beranjak, tapi Pelita mencegahnya hingga wanita itu kembali duduk.

"Nggak gitu kok, Tante. Jadi Ardo kalah balapan sama temannya, terus ...." Pelita bungkam, dia mulai kesal jika menyangkut alasan kenapa Ardo mengakhiri hubungan mereka.

"Terus apa?"

"Ardo putusin Pelita karena dia kalah balapan sama temannya, Ardo taruhin pacarnya sendiri." Akhirnya bibir Pelita sanggup mengungkap semuanya saat kekesalan dalam ingatan tentang segala hal yang terjadi malam itu berhasil mendesaknya, siapa yang takkan kesal saat tengah malam berlari sendirian tanpa alas kaki—lalu diputuskan setelah lelah yang menghunjam, bahkan alasan berakhirnya hubungan mereka masih seperti sesuatu yang sulit diterima akal sehat. Jadi, anggap saja kekesalan Sofi juga kekesalan Pelita yang ia pendam selama beberapa waktu.

Ardo menarik napasnya setelah mendengar Pelita mengungkap segalanya, dia keluar dari tempat persembunyian dan menghampiri kedua perempuan itu di tepi kolam renang.

"Ma," panggil Ardo lirih, ia menunduk takut seraya kepalkan semua tangannya.

Keduanya menoleh, Sofi langsung beranjak menghampiri putranya. Satu tamparan keras tak pelak menghadiahi wajah Ardo karena berlaku begitu ceroboh, mempertaruhkan seorang gadis hanya karena balapan motor? Ardo memang gila, dia tak mengingat bagaimana senangnya memiliki Pelita, dengan mudah mendapatkannya begitu pula cara dia melepasnya, semudah melempar batu ke arah orang lain.

"Kamu gila!" hardik Sofi, Pelita yang berdiri di sisi Sofi hanya bisa diam menatap kekesalan Sofi yang kian menjalar ke seluruh tubuhnya.

Ardo tak menyentuh wajahnya sama sekali, dia menatap Pelita sesaat—lalu kembali pada Sofi, dia benar-benar menyesal untuk semua itu, Ardo memang bodoh dan tak memperhitungkan resiko sebelum melakukannya, yang ia pikir hanyalah rasa gengsi di depan Karang.

"Ardo minta maaf, Ma," sesal Ardo dari hatinya yang paling dalam, jika ia diberi kesempatan kedua untuk memiliki Pelita lagi maka takkan pernah ia sia-siakan.

"Maaf itu mudah, Ar! Tinggal ngomong emang susah! Kamu harusnya lihat Pelita seperti kamu lihat mama, perempuan kamu jadikan barang taruhan memangnya otak kamu di mana! Mama nggak percaya kamu setega itu sama Pelita!" maki Sofi, dia begitu kecewa atas sikap anaknya yang kurang ajar.

"Ardo nggak sengaja, Ma. Ardo benar-benar nyesel udah ikut balapan itu dan pertaruhin Pelita, Ardo juga nggak nyangka kalau bakalan kalah, Maafin Ardo, Ma."

"Itu kesialan kamu!" Dada Sofi naik turun akibat emosi, dia memilih beringsut masuk ke dalam rumah dan meninggalkan keduanya dalam keterdiaman. Jelas Sofi akan marah dalam beberapa hari ke depan, mengingat caranya kesal pada laki-laki itu, Ardo keterlaluan dan membuat semuanya berantakan.

Pelita saling tatap dengan laki-laki itu, sekarang harus apa lagi? Mengejar Sofi dan memeluk kakinya atau berlutut sekali pun takkan merubah perasaan Sofi yang kecewa saat ini, harusnya Ardo bisa berpikir bahwa ibunya begitu menyayangi Pelita, tapi dengan mudah dia melepasnya, sekarang siapa lagi yang akan ia sayang? Sepertinya akan beku.

"Gue mau pulang." Suara Pelita akhirnya terdengar.

"Gue anter, Ta?"

"Nggak perlu, ada baiknya lo masuk kamar dan mikirin malam ini, gue harap keadaan Tante Sofi cepat membaik. Lo sadar udah buat dia kecewa, gue pulang sekarang." Lalu Pelita beringsut melewati laki-laki itu, Ardo hanya bisa diam dan meresapi ucapan Pelita, itu semua benar, dia memang konyol dan tak tahu diri.

Ardo memang tak menggunakan akal sehatnya untuk berpikir, tapi dengan rasa percaya diri yang meleset.

Ardo memang bodoh.

avataravatar
Next chapter