webnovel

Danke

Terima kasih untuk bertahan." New adult—romance. Karang tidak mau tahu jika Pelita harus tetap menjadi kekasihnya meskipun Karang memiliki Valerie, yang ia tahu Pelita adalah piala kemenangan yang ia dapatkan dari Ardo--mantan kekasih Pelita karena kalah balapan. Backstreet, hanya itu yang bisa Pelita dan Karang lakukan di depan Valerie serta banyak orang. Tapi, cinta tahu ke mana dia punya pelabuhan tetap. Tak ada yang takkan hancur bila terus menerus menjadi yang kedua dan menghalangi hubungan orang lain sampai ia bertahan pada titik kelemahannya. "Dia atau aku Kak Karang?"

aprilwriters · Urban
Not enough ratings
169 Chs

Kesepakatan.

Pelita menutup wajahnya menggunakan kedua tangan saat Raksa terus saja mengarahkan kamera ke arahnya padahal gadis itu berulang kali menolak, mungkin hanya Karang yang berhasil mendapatkan gambarnya saat di tempat rehabilitasi bersama anak-anak penderita cancer hari itu. Jika saat ini Pelita memberikan kenangan wajahnya untuk Raksa, terasa cukup rancu baginya, mereka baru berkenalan dan Pelita tak ingin gegabah bertingkah di depan orang asing.

"Sekali aja, sekali," pinta Raksa tanpa melepas titik fokus pada gadis cantik di depannya, mereka duduk di sebuah taman yang berada di dekat galeri foto itu.

"Sekali enggak tetap enggak! Gue nggak mau difoto! Turunin dong kamera lo, Raksa!" perintah Pelita entah yang keberapa, ia sampai bosan bicara berulang-ulang.

Susah sekali mendapatkan wajah gadis itu untuk disimpan, Raksa mengalah daripada tak melihat wajah asli Pelita saat ini. Dia menurunkan kameranya.

"Udahan, buka aja itu muka. Gue nggak jadi kok, sayang kalau muka lo ditutupin terus gitu. Nanti mendung lagi," ledek Raksa. Ia tersenyum jahil.

Pelita menurunkan kedua tangannya, alhasil mendengar ucapan Raksa membuat keningnya mengernyit. "Mendung? Apa hubungannya?"

"Iya, nama lo kan Pelita Sunny. Sama aja kayak cahaya matahari, nanti kalau ditutupin bisa mendung dong, gelap."

Ini manusia lama-lama kayak si Rangga, receh, batin Pelita manggut-manggut.

"Lagian kenapa sih nggak mau diambil gambarnya?" tanya Raksa.

Pelita menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga, lalu menatap keadaan sekitar. Angin sejuk menerpa wajah keduanya, membuat rambut yang terurai itu ikut tersapu dengan lembut. "Nggak suka aja, emang lihat orangnya enggak cukup."

Raksa mengusap tengkuknya, "Nggak."

"Nanti kebawa mimpi lagi." Pelita beranjak, melangkah pelan meninggalkan Raksa, sontak laki-laki itu mengikutinya.

"Mau ke mana?" tanya Rangga.

"Cari minum, haus."

Keduanya keluar dari area taman, melangkah di trotoar untuk mencari warung kecil atau minimarket terdekat.

"Lo di sini aja, biar gue aja yang cari. Gue paham bentar lagi juga ada minimarket kok," ujar Raksa.

Keduanya menghentikan langkah. "Oh gitu, ya udah gue tunggu aja di sini. Nggak apa-apa?"

"Enggak, kalau ada yang jahat teriak aja ya. Takutnya lo dikarungin orang terus bawa pulang."

Pelita mengangguk, Raksa melempar seulas senyum lalu menyebrang ke jalan besar yang terlihat lenggang itu.

Pelita kini diam, menunggu sambil berpangku tangan di dada. Matanya menatap keadaan sekeliling seraya terus mengembuskan napas, artinya dia memang hidup.

Tiba-tiba tangan seseorang menyentuh bahu kirinya, membuat gadis itu menoleh sebelum akhirnya tertegun kaku, ia sangat berharap tengah berhalusinasi sebab memikirkannya sejak melihat kamera Raksa. Ada Karang tiba-tiba muncul di belakangnya.

"Kita pulang," ajak Karang sembari mengulurkan tangan kanannya, berharap gadis itu akan menerima.

Pelita menelan ludah, kenapa ada Karang di mana-mana. Apa memang kembar tujuhnya sudah datang semua?

Pelita menatap tangan itu sekilas, tak berminat menerimanya. "Ngapain di sini? Nguntit aku?" balasnya tak suka.

"Ngejaga yang perlu dijaga, ayo pulang."

"Aku udah gede, udah kuliah. Kalau tersesat juga mulut masih nempel buat nanya jalan ke orang-orang."

"Mau pulang sekarang atau mau lihat gue berantem sama cowok itu." Raut Karang terlihat menakutkan, alisnya bertaut.

Pelita juga menatap laki-laki itu dengan alis bertaut, "Kita udah putus, ada apa lagi sih ini? Mau apa lagi? Jangan ganggu urusan orang terus-terusan."

"Putus lo bilang? Setelah apa yang udah kita lakukan lo mau putus?" Karang tak habis pikir dengan isi kepala gadis di depannya, padahal hubungan mereka sudah begitu jauh, tapi Pelita dengan mudahnya berkata ingin berakhir.

Raksa melihat semua itu dari sebrang jalan, saat jalanan sepi dari kendaraan ia berlari menyebrang. "Pelita!" seru Raksa, ia terlihat cemas.

Karang dan Pelita sontak melihat ke arahnya, Karang dan Raksa saling tatap, ketegangan sudah mulai terlihat jelas antara keduanya. Tinggal bagaimana Pelita mencairkan suasana, atau tidak sama sekali.

"Ada yang gangguin lo?" tanya Raksa tanpa melepas tatapan mata dengan kening berkerut itu pada Karang, dia tak tahu saja siapa itu Karell Rafaldi Angkasa.

"Enggak, yuk kita pulang. Makin lama di sini makin panas," cicit Pelita sengaja ingin kabur. Tiba-tiba saja dia menggenggam tangan Raksa di depan Karang. Siapa yang tak makin emosi melihat hal itu.

Namun, tangan Karang menarik lengan Pelita hingga gadis itu berdiri di sebelahnya.

"Woy! Lo siapa! Jangan kasar gitu sama cewek!" tegur Raksa tak suka, ia menatap Pelita yang kini hanya diam, menunduk seperti kehilangan keberanian untuk melawan laki-laki di sebelahnya.

Karang menarik kembali Pelita hingga berdiri di belakangnya, lalu ia maju lebih dekat di depan Raksa.

"Gue Karang, Pelita pacar gue. Lo mau apa deketin cewek orang, hm?"

"Pacar? Pelita bilang dia nggak punya pacar."

"Dia yang bilang, bukan gue. Lo udah dengar apa yang gue bilang tadi, mending sekarang lo pulang. Pelita pulang sama gue."

"Tinggal Pelita aja yang kasih keputusan."

Keduanya menatap Pelita, gadis itu masih diam. Dia tengah berpikir harus seperti apa baiknya, jangan sampai karena kehadiran Karang yang tiba-tiba membuat semua niatnya untuk berakhir itu langsung pupus. Pelita harus kuat demi apa pun, semua soal rasa dan nasibnya.

Gadis itu menatap Karang dan Raksa bergantian, "Aku mau pulang sama Raksa, dia yang ajak aku ke sini. Jadi dia yang tanggung jawab antar pulang," ujar Pelita memutuskannya.

Raksa tersenyum puas, ia menarik tangan Pelita kembali ke dekatnya. Hal itu tentunya membuat emosi Karang mencapai ubun-ubun, anggap saja asap keluar dari lubang telinganya.

Dia menepis kasar tangan Raksa yang menggenggam tangan Pelita, lalu menarik laki-laki itu ke jalan dan memukulnya dua kali di bagian pelipis serta bibir hingga Raksa mundur beberapa langkah.

"Karang! Jangan!" seru Pelita tak kuasa melihat perkelahian itu.

Karang tak peduli, setan sedang merasuk dalam jiwanya, siapa pun yang menghalangi bisa saja kena pukul. Ia menghampiri Raksa yang terlihat menyeka darah dari ujung bibirnya, Karang menarik kaus laki-laki itu dan kembali memukulnya di wajah, lalu meninju perut dan menendang tulang kering hingga Raksa terjerembab ke aspal jalan. Untung saja jalanan sedang sepi, hanya segelintir kendaraan yang lewat.

"Karang! Jangan! Udah, jangan!" Pelita menarik lengan Karang agar tak memukuli Raksa lagi, membuat laki-laki itu menatapnya sekilas dan melepas dengan mudah kedua tangan Pelita yang memeluk lengannya.

"Gue udah kasih pilihan tadi, mau ikut gue pulang atau lihat gue berantem sama dia. Ini pilihan yang lo buat," cetus Karang.

Pelita menggeleng, singa itu kembali mengaum, tak terima sang betina hendak dibawa pejantan lain.

Raksa yang masih tersungkur kini berusaha bangkit, ia mengambil kesempatan saat Karang bicara dengan Pelita. Fisiknya yang masih kuat menarik lengan kiri Karang hingga laki-laki itu menoleh dan memukul rahangnya dua kali, seketika Karang mundur.

Karang meludah, "Bajingan!"

Ia menarik Raksa lagi dan meninju perutnya bertubi-tubi hingga Raksa benar-benar tak berdaya, kembali tersungkur di aspal sembari meremas perutnya yang begitu nyeri. Karang sudah gila!

"Karang udah! Kalau kamu terus begini mending lihat aku mati aja sekarang!" ancam Pelita, bukan sekadar ancaman karena ia melangkah ke tengah jalan di mana kendaraan roda dua dan empat tengah berlalu-lalang. Siapa yang tega? Karang menarik gadis itu ke arahnya, menggenggamnya erat.

"Lo mau mati, hah! Lo mau mati karena laki-laki yang baru lo kenal."

"Biar! Daripada hidup terus lihat kamu setiap hari! Biar aja aku mati!"

Hampir saja telapak tangan Karang menampar gadis itu, tangan kanannya terangkat, tapi akal sehatnya masih sanggup menolak keras. Dia sudah menyakitinya cukup dalam, jangan fisiknya juga.

"Itu kan kamu, itu kamu! Kamu kasar! Kamu jahat! Kamu cuma bisa bikin sakit hati! Tinggalin aku, Karang!" teriak Pelita.

"Kuncinya itu cuma elo, elo yang bisa bikin singa ini jinak, lo juga yang bisa bikin monster dalam diri gue pergi. Tolong, Ta."

"Kalau kamu aja ragu sama diri sendiri, apalagi aku, hm? Aku kasih kamu satu kesempatan, ini kesepakatan. Pilih salah satu, entah kamu mau pilih aku atau Valerie nantinya yang jelas aku akan tetap di Jakarta. Kalau kamu nggak milih, aku minta ke mama pindahin aku ke Singapura, ikut papa," tandas Pelita mantap.

Karang menelan ludah, genggaman tangannya pada gadis itu mengendur hingga benar-benar lepas. Ia menyugar rambutnya dengan kedua tangan ke belakang, pening seketika melanda.

"Gimana, hm? Mau pilih atau enggak. Keputusan ada di gangan kamu, besok penentuan. Terserah mau ke mana hati kamu, kalau kamu pilih aku, hati aku masih di sini." Pelita menunjuk dadanya sendiri.

Karang tak sanggup berkata, andai gadis itu tahu apa permintaan Valerie padanya apakah Pelita masih bertanya soal pilihan? Karang merasa tenggelam hingga ke palung laut dan tak ingin berenang ke dasar, ia ingin bersembunyi saja.

Sejak awal, komitmen itu ia yang meminta. Niatnya tak ingin serius, tapi melihat bagaimana Pelita selalu ada untuknya membuat hati Karang kian rapuh, ia mulai takut dengan kehilangan untuk kedua kalinya setelah sang ibu pergi.

Ia tak sanggup memilih, jika Valerie yang dipilihnya jelas Karang kehilangan gadis itu. Namun, jika Pelita yang ia pilih jelas akan menghancurkan hati ayahnya, Valerie juga titipan untuk dijaga.

Pada akhirnya, ke mana hati akan berlabuh?