webnovel

LEMBAR KE-6

YANG Bella tunggu-tunggu akhirnya hadir juga. Sudah dua Minggu ia menantikan saat-saat yang seperti ini. Ya, disuruh berbelanja kebutuhan rumah di supermarket!

Bella selalu senang berada di tempat itu. Bisa melihat barang-barang yang selalu enak di pandang. Letak rumahnya dengan supermarket tidak lebih jauh dari jarak rumahnya ke Germani High School. Jalan kaki saja Bella mampu.

Hal lainnya yang membuat Bella betah berlama-lama berada di sana adalah, ia bisa berburu barang-barang diskonan. Bodo amat jika dibilang seperti ibu-ibu, tapi nyatanya saja semua orang memang lebih tertarik dengan barang-barang yang berpotongan harga.

Belum lagi di sana juga ada AC, mau bergerak ke sana ke mari rasanya juga leluasa dan tidak akan gerah.

Dua jam setengah Bella di sana, hingga akhirnya ia sudah mengumpulkan barang-barang yang mamanya pesan. Tinggal membayar, terus Bella bisa keluar.

"Totalnya tiga ratus dua puluh satu ribu rupiah kak." Mbak-mbak kasir menyebutkan total belanjaan Bella.

Mengangguk singkat, Bella pun mengeluarkan dompetnya dari dalam slin bag, kemudian mengambil uang dan segera menyerahkannya kepada mbak kasir.

"Ini kembaliannya kak, terima kasih sudah berbelanja."

"Sama-sama mbak," balas Bella lembut.

Tidak lama kemudian, sebuah kantung plastik berukuran besar sudah berada di tangan Bella. Cewek yang menguncir rambutnya itu terlihat kewalahan membawa barang-barang yang tadi dibelinya.

Bella tidak kuat tolong!

Bisa retak semua ototnya jika membawa barang belanjaan yang beratnya minta ampun ini. Bella berhenti sejenak, meregangkan ototnya agar siap memikul beban lagi, lalu ia pun kembali melangkah keluar.

Langkah Bella semakin lama semakin melambat, pegangan tangannya nyaris terlepas dari dua plastik kresek berukuran besar. Biasanya Bella tidak belanja sebanyak ini. Mamanya benar-benar sedang mempermainkan Bella!

Beberapa menit kemudian, akhirnya sampai juga Bella di luar supermarket. Ia tinggal jalan ke depan untuk mencari angkutan umum. Mana bisa Bella membawa belanjaan sebanyak ini hanya dengan jalan kaki? Kalau hal itu ia lakukan, bisa-bisa besok pagi Bella tidak bisa menulis dan mengerjakan soal pemeriksaan guru di sekolah.

Namun, disaat Bella bersusah payah untuk berjalan ke depan dengan irama napas yang tidak beraturan, dari arah depan terlihat seorang cowok yang sedang terburu-buru. Fokus Bella sedang mengarah kepada dua plastik belanjaannya. Sampai kemudian, kejadian yang tidak terduga pun terjadi.

Cowok tersebut menabrak Bella dengan sengaja, membuat Bella yang dari awal keluar dari supermarket dengan tubuh terhuyung, langsung saja oleng.

Hal yang lebih gilanya lagi, Bella jatuh diantara tumpukan box telur!

Plastik belanjaan Bella teronggok begitu saja. Sedangkan Bella langsung memekik tidak percaya. Bunyi retakan terjadi secara bersamaan. Apapun itu, Bella tidak pernah terpikir jika kejadian ini akan menimpanya.

Ratusan telur ayam pecah begitu saja, berserakan di tanah. Tidak jauh dari itu, sebuah mobil yang membawa telur tersebut terparkir. Masih tersisa sedikit box telur yang belum diturunkan, yang artinya sebagian besar sudah diturunkan. Tapi nahas, telur-telur malang itu berceceran di tanah karena Bella menindih di atasnya.

"Aduh, sakit ....," Bella merintih seraya berusaha untuk bangkit. Seketika saja banyak orang yang mulai berdatangan. Bella tersentak ketika merasa punggung dan celananya basah. Bau amis juga ada di mana-mana. Sedetik kemudian Bella melotot tidak percaya dengan apa yang sedang menimpanya.

Sementara itu, cowok yang menabrak tadi masih berdiri tidak jauh dari Bella. Dia menyeringai puas, dan sedang menunggu kejadian berikutnya. Dia senang membuat dan melihat orang lain menderita, terlebih karena ulahnya.

"Ya ampun! Semua telur-telur saya kenapa bisa hancur begini!" Seorang laki-laki paruh baya, yang baru saja keluar dari mobil yang mengangkut telur tersebut, berteriak frustasi sambil memegangi kepalanya.

"Apa yang kamu lakukan bocah!" ujar laki-laki itu garang, menatap Bella yang masih terduduk di atas tumpukan telur pecah. Bella menatap laki-laki tersebut dengan tatapan takut.

"Ayo bangun kamu!" Lanjutnya.

"Pak, bapak tenang dulu. Jangan emosi kayak gini, kasihan dia pak. Anak ini pasti nggak sengaja," ujar ibu-ibu, menegur laki-laki yang sedang marah itu.

Bella menunduk takut, seluruh tubuhnya bergetar. Bibirnya langsung pucat. Ia malu dijadikan bahan tontonan seperti ini. Bella tidak suka menjadi pusat perhatian. Bella kemudian sedikit mendongak ketika ada nenek tua yang sedang membantunya untuk berdiri.

"Bagaimana saya nggak marah? Ibu nggak tau apa yang dirasakan saya! Coba keadaannya dibalik, ibu yang berada diposisi saya! Apa ibu tidak marah, ha?! Itu bukan telur saya asal kalian semua tau! Itu punya orang lain! Tugas saya cuma mengantar telur ini." Laki-laki itu berbicara dengan nada marah dan tegas, urat-urat disekitar lehernya pun sudah bermunculan. Tatapan marahnya kemudian beralih menatap Bella. "Dan buat kamu, saya nggak mau tau kamu masih sekolah atau apa, intinya saya mau kamu tanggung jawab! Saya nggak mau tau! Kamu harus ganti rugi!"

"Pak, tenang dulu! Jangan gegabah kayak gini. Saya tau gimana perasaan bapak. Kita selesaikan masalah ini secara kekeluargaan." Ibu-ibu tadi kembali berujar.

"Betul itu!" sahut orang-orang disekitarnya, membuat laki-laki yang bertanggung jawab atas telur tersebut mendesah panjang.

Merasa jika keadaannya sudah cukup memungkinkan untuk angkat suara, Bella pun akhirnya menatap laki-laki dihadapannya. Bella meneguk ludahnya dengan kasar.

"Sebelumnya saya minta maaf pak," ujar Bella parau. "Saya benar-benar nggak tau kalo kejadian bakal kayak gini." Pandangan Bella sudah agak mengabur. Kemudian ia mengerjapkan matanya. Walaupun berusaha untuk tidak menangis, tapi Bella gagal menahan semua air matanya. Seketika saja pipinya sudah basah.

Bella menarik napas panjang. "Maaf Pak, tapi demi Tuhan, bukan saya penyebab semua telur-telur ini han—

"Kamu salah! Udah jelas-jelas di sini kamu yang salah. Kenapa malah ngelak? Kamu mau nyelamatin diri? Nggak mau ngaku kesalahan kamu, iya?!"

"Pak tenang dulu! Beri anak ini kesempatan buat jelasin semuanya," jawab nenek-nenek yang tadi sudah membantu Bella berdiri.

"Siapa nama kamu nak?" tanya seorang ibu-ibu kepada Bella.

"Nama saya Bella Bu."

"Ayo lanjutkan penjelasan kamu tadi."

Bella mengangguk mengiyakan. "Saya tau pak kalo saya yang jatuh di atas semua telur itu. Tapi ..." Bella menatap puluhan orang yang sedang mengelilinginya. Kemudian ia melihat seorang cowok tadi. Bella sempat melihat cowok tersebut yang menabraknya. Telunjuk Bella mengarah kepada cowok itu. "Kalo cowok itu nggak nabrak saya, saya nggak bakal jatuh di sini pak, Bu. Sebenarnya saya nggak salah, yang salah dia karena udah jalan nggak lihat-lihat. Dia yang dorong saya."

Sejurus kemudian semua pasang mata menatap ke arah cowok yang ditunjuk Bella. Cowok itu tersenyum tipis, nyaris tidak terlihat. Ia menunjukkan raut wajah datar, tidak merasa takut. Inilah yang ia tunggu-tunggu. Ia akan memainkan perannya.

"Kamu sini!"

Cowok itu bergerak maju. Kemudian berdiri di samping Bella. Dia melihat Bella sekilas sebelum terinterupsi oleh ucapan bapak-bapak dihadapannya.

"Siapa nama kamu?"

"Harus banget kasih tau?"

"Tinggal jawab aja dek," seru salah satu orang yang sedang menyaksikan.

Cowok itu berdecak kecil. "Baron."

"Baron, benar apa yang dikatakan Bella? Kamu yang dorong dia sampai telur-telur itu pecah?" tanya ibu-ibu tadi.

Tangan Baron masuk ke dalam celana. Ia menghela napas panjang dan menatap orang-orang disekitarnya. Ia menampilkan wajah tidak bersalahnya.

"Kalian semua percaya sama ucapan dia?" tanya Baron sembari menunjuk Bella.

Bella terkejut, sedikit mendongak menatap cowok disampingnya. Matanya mengerjap. Apa yang mau cowok itu lakukan? Jelas-jelas memang dia yang salah!

Bella menahan diri untuk tidak membatah.

Baron mendesah pelan. "Kalian semua ada yang lihat saya nabrak dan dorong dia?" tanyanya, memperhatikan orang-orang disekitarnya yang perlahan menggeleng, membuat Baron tersenyum. "Nggak ada kan? Jangan percaya sama tuduhan dia lah. Banyak orang yang kayak dia pak, Bu, suka nggak mau ngaku kesalahan yang udah diperbuat. Dan lebih buruknya lagi ya kayak gini, suka lempar masalah dia sendiri kepada orang lain."

Bella langsung dibuat geram. Kenapa cowok disampingnya ini sungguh menyebalkan! Kenapa Bella yang harus menanggung ini semua. Padahal Baron yang harusnya menanggung kesalahan!

"Kejadiannya nggak gitu! Jangan main curang dong lo! Siapa tadi yang buru-buru? Gue atau elo? Lo yang nabrak gue duluan." Bella murka. Napasnya naik turun. "Bapak-bapak sama ibu-ibu jangan langsung percaya sama dia. Dia bohong, dia yang dorong saya sampai jatuh dan ngehancurin telur ini semua."

Baron tersenyum remeh. Cewek itu berusaha membentengi diri. Tapi jangan harap lolos dari Baron. Ia suka melihat orang lain menderita!

"Terserah kalian semua mau percaya sama saya atau cewek ini. Saya mau ngomong dan jelasin ini baik-baik. Kalo udah denger, kalian semua bakal tau siapa di sini yang salah. Dia atau saya."

Bella menggeram marah, tatapan tajamnya mengarah kepada cowok jangkung disampingnya ini. Ingin sekali Bella mencakar wajahnya yang sok ganteng itu.

Baron berdehem sebelum menjelaskan. "Gini Pak, Bu. Kalian lihat saya, nggak ada apa-apa kan ditangan saya. Saya baru mau masuk ke dalam supermarket. Sedangkan dia, cewek ini." Jari telunjuk Baron mengarah kepada Bella. "Dia habis belanja banyak. Lihat plastik itu " kini Baron menunjuk plastik belanjaan Bella yang besar.

Baron menarik napas panjang. "Pakai logika aja. Yang buru-buru siapa? Saya atau cewek ini? Kalo saya jelas nggak mungkin, kan? Saya baru mau masuk ke dalam, sedangkan ini cewek udah nenteng plastik besar itu. Yang buru-buru jelas dia, karena dia udah nggak kuat bawa belanjaan. Terus dia lari karena udah pegel bawa belanja sebanyak itu. Dia yang jalan nggak pakai mata, dia yang buru-buru pengin cepet-cepet pulang. Kalo ibu-ibu di sini sama juga, kan? Kalo habis belanja penginnya langsung pulang? Sama kayak dia! Dia yang nabrak saya. Terus dia jatuh sendiri sampe kena semua telur-telur itu."

Penjelasan cowok itu membuat tenggorakan Bella langsung kering. Menit berikutnya, semua tatapan mengarah kepadanya dengan tatapan marah dan tidak percaya. Sudah salah, menuduh orang lain pula. Pasti orang-orang sudah berpikir bahwa Bella adalah orang yang egois dan tidak mau mengakui kesalahannya. Bella rasanya ingin menangis keras-keras.