webnovel

Dandelion.

Menaruh harap kepada orang lain adalah suatu kesalahan besar. -Anna Mengisahkan tentang seorang gadis yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya. Kerasnya hidup yang harus dijalani memaksanya menjadi pribadi yang kuat. Belum lagi, pada malam ulang tahun kekasihnya, Anna mendapati sang pujaan hati bermain bersama wanita lain. Hatinya hancur tak tersisa. Namun di malam yang sama, secara tak sengaja ia bertemu dengan seorang pria asing yang ternyata adalah pemimpin sebuah perusahaan besar. Melalui malam dengan pria yang tidak dikenalnya, terbangun dipagi hari dengan keadaan tubuh tanpa sehelai benang pun membuatnya kaget sekaligus takut. Sejak malam itu, Anna menghilang. Apa yang akan terjadi selanjutanya? Silahkan dibaca..

Gloryglory96 · Teen
Not enough ratings
311 Chs

Bab 04. Mabuk Berat

Kini pria yang menggendong Anna berjalan ke parkiran, menuju mobil ferrari berwarna merah. Membuka pintu mobil dan mendudukkan Anna pada kursi dengan kasar.

"Tunggu, tunggu apa yang kamu lakukan?" teriak Anna ketika mencoba membuka pintu mobil yang ternyata sudah terkunci.

"Hei, hei apa yang kau lakukan? tunggu dulu," ucap Anna dengan nada agak tinggi ketika pria yang menggenddongnya tadi sudah memasuki mobil.

"Bukankah kamu yang minta tolong, Nona? sekarang aku sedang menolongmu," ucap pria itu dengan senyum smirk terpatri di bibirnya.

Bukan pertolongan seperti ini yang Anna maksud. Ia hanya ingin menghindari Brian dan keluar dari bar tanpa terlihat oleh laki-lak brengsek itu.

"Baiklah, baiklah. Terima kasih. Sekarang aku ingin keluar," ucap Anna dengan salah satu tangan terus bergerak ingin membuka pintu sementara tangan lainnya masih memegang botol minuman.

"Aku pikir, kamu perlu menjelaskan tentang sikapmu tadi, Nona," ujar pria itu lagi menghadap Anna dengan siku bersandar pada kaca mobil menopang dagunya, salah satu alisnya terangkat.

Sontak Anna terdiam, ingatan ketika ia tiba-tiba mencium pria itu membuatnya tak tahu harus melakukan apa. Mengapa ia menjadi sangat agresif? Bahkan ketika ia bersama Brian, dirinya tidak pernah seperti ini.

Sepertinya perasaan sakit hati yang diberikan Brian kepadanya membuat Anna bersikap tidak seperti biasanya.

"i-itu, anu..." ucap Anna tergagap dengan suara yang tiba-tiba mengecil.

"Oh itu, itu karena aku sedang mabuk, aku memang seperti itu ketika mabuk. Maaf," tambahnya lagi dengan suara yang sedikit meninggi, padahal ini pertama kali baginya minum minuman beralkohol. Hah sudahlah, hanya itu yang ia pikirkan sekarang.

"Apakah maksudmu, kamu selalu mencium pria yang tidak kamu kenali ketika sedang mabuk?" balas pria dengan sudut bibir sedikit terangkat.

Mendengar pertanyaan pria itu, seketika Anna mengutuk dirinya sendiri karena memberi jawaban seperti itu.

"Iya, kenapa?" jawab Anna memalingkan wajahnya ke dapan dengan pipi yang sudah bersemu merah karena berhasil mempermalukan diri sendiri, tubuhnya kemudian bersandar pada kursi mobil dan kembali meneguk minuman di tangannya. Bisa-bisanya ia yang masih polos tak tersentuh mendapat pertanyaan seperti itu.

Pria itu tersenyum samar mendengar jawaban wanita yang duduk di sebelahnya, dan kemudian mulai menyalakan mobil, meninggalkan tempat itu.

"Ah sudahlah, terserah kau saja," kata Anna kembali meneguk minumannya. Padahal pria itu tidak menjawabnya sedikitpun dan ia sudah kembali bicara.

.

.

Entah ia sadar bahwa mobil yang ia tumpangi sudah melaju kencang atau tidak, pikirannya kembali mengingat pasangan yang dilihatnya tadi.

Apakah selama ini Brian sudah seperti itu di belakangnya?

Lalu untuk apa semua janji-janji itu?

.

.

Bersandar pada jendela kaca mobil, hanya suara hembusan napas kasar yang terdengar. Sesekali Anna terisak pelan. Entah sudah keberapa kalinya ia terus saja menenggak minuman yang ada di tangannya.

Dan semua itu tidak luput dari perhatian pria yang ada di sampingnya.

"Berhenti minum, atau kau akan mengotori mobilku."

Huwweekkk...Huwweeek

Baru saja pria itu memperingatkannya, dan Anna sudah memuntahkan semua isi perutnya.

"Haiishhhhh." Pria itu kemudian menepi, Membuka pintu dan segera menghampiri wanita itu yang masih terus memenuhi karpet mobilnya dengan cairan muntahannya.

Anna kembali mabuk, rasa pening dan mual menderanya dengan hebat melebihi perasaan yang ia alami beberapa saat yang lalu.

Ia merasakan seseorang mengusap tengkuknya dan kemudian menyodorkan sebotol air mineral kepadanya.

Langsung saja Anna menenggaknya hingga tandas. Matanya tertutup rapat, semua hal yang dilihatnya kembali berputar membuatnya tak bisa menopang tubuhnya dengan benar.

Sementara di sisi lain, pria yang yang berada di dekat Anna menghembuskan napas kasar melihat mobilnya yang sudah sangat tercemar.

Ia kemudian merogoh saku bajunya, mengeluarkan handphone dan sesaat setelahnya terlihat sedang berbicara dengan seseorang. Usai mengakhiri panggilan di handphonenya, pria itu membuka kancing single breastednya dan melemparkannya kembali ke dalam mobil secara sembarangan. Terlihat beberapa noda titik hasil percikan dari muntahan wanita yang ia tidak ketahui asal usulya.

Melihat pada jam yang melingkar di tangannya, rupanya waktu sudah menunjukkan pukul 04.00 dini hari.

Sekitar sepuluh menit kemudian, sebuah ferrari kuning berhenti dan seseorang pria paruh baya segera menghampirinya.

"Silahkan, Bos," ucap pria paruh baya itu menyodorkan kunci mobil.

"Urus itu," ucapnya mengarahkan ujung dagu pada si merah yang dikendarainya tadi.

Ia kemudian menggendong wanita yang tampak sudah terlelap dan menuju mobil ferrari berwarna kuning, sesekali terlihat bulir-bulir bening lolos dari mata wanita yang ada dalam gendongannya yang masih terkatup rapat.

Meskipun bukan urusannya, namun entah mengapa ia menjadi sedikit penasaran. Sebesar apa masalahnya sehingga bahkan tertidurpun ia masih menangis? Apakah hanya pria yang ia lihat di bar itu? Ckck murahan sekali.

Meletakkannya di kursi mobil dengan pelan, ia kemudian mengamati sejenak wanita itu dari kaki hingga ujung rambut, penampilanya sangat berantakan, rambut panjang yang berbau keringat bercampur hujan sangat mengganggu indra penciumannya, kusut dan kasar. Sepatu kets yang dikenakannya sudah sangat tua, dan beberapa benang yang berasal dari kemeja yang dikenakan Anna terlihat sudah terlepas, begitupula kancing bagian atasnya yang entah sejak kapan sudah terbuka. Untuk pertama kalinya ia bertemu dengan wanita yang sama sekali tidak peduli dengan penampilannya.

Hanya satu nilai plus yang ada pada wanita itu, Kulit putih bersih terlihat pada bagian dada atasnya yang sedikit tereskpose.

Ia kemudian menggerakkan tangannya untuk sedikit membenarkan kancing kemeja Anna yang terbuka, namun wanita itu tanpa sadar menarik tangannya dan memeluknya, menggosok-gosokkan pipinya yang ternyata masih memiliki sisa-sisa muntahan pada lengan pria itu.

"Sudah cukup Nona, atau kau akan kuturu...."

"Satu menit saja, biarkan seperti ini," racau Anna dengan mata masih tertutup. Sepertinya ia mengira bahwa lengan yang dipeluknya adalah milik Brian kekasihnya.

.

.

.

Sinar matahari pagi yang berhasil lolos dari jendela kamar yang sudah terbuka membuat seorang Anna yang masih terlelap mengerjap-ngerjapkan mata. Lenguhan khas bangun tidur lolos dari bibir mungilnya.

Mendapati dirinya berada pada ruangan yang tidak ia kenali membuatnya terperanjat dan segera duduk.

Anna mengamati seluruh isi ruangan, kamar yang didominasi warna abu-abu dan hitam terlihat sangat maskulin memanjakan matanya, beberapa lukisan abstrak tergantung pada dinding, dengan sofa yang berada di ujung ruangan menghadap balkon. Kamar itu sangat luas.

Anna belum mencerna semuanya dengan sangat baik ketika ingatannya ketika mencium seorang pria asing berputar di kepalanya.

Apa yang sebenarnya aku lakukan?

Anna tidak mengingat semua dengan jelas. Yang ia ingat hanya ketika melihat Brian bercumbu dengan wanita lain, setelah itu ia nekat memasuki bar, menghindari Brian dan berakhir dengan pria asing.

Anna terkesiap.

"Jangan-jangan kamar ini..." ucapnya kemudian segera turun dari ranjang.

Suara alarm pada jam yang berada di atas nakas membuatnya kembali terkejut.

Tertera angka delapan, dan hal itu sukses membuat Anna menjadi kalang kabut. Pagi ini ia harus bekerja. Tapi bagaimana? Ia bahkan tidak tau dimana dirinya sekarang berada.

Ah, sudahlah dimanapun ia berada dan apa yang telah terjadi padanya akan ia urus belakangan, sekarang ia harus keluar dari rumah ini terlebih dahulu. Jika tidak segera bergegas,maka ia akan kehilangan pekerjaannya.

Syukurlah karena pintu tidak terkunci, tanpa memperdulikan apapun, Anna melangkah. Saat ini ternyata ia berada di lantai dua.

Mendekati tangga, langkahnya terhenti ketika melihat seorang pria sedang sibuk memasak di dapur yang ada di lantai satu. Dugaan Anna benar, ia berada di rumah pria yang bersamanya semalam.

Melangkah pelan dengan tubuh sedikit membungkuk, Anna mulai menuruni tangga. Sekarang ia lebih seperti maling yang sedang mengendap-ngendap. Sebisa mungkin ia tidak ingin menimbulkan suara dan meninggalkan rumah itu tanpa diketahui siapapun. Sudah cukup ia mempermalukan dirinya sendiri.

Aroma makanan yang begitu lezat tiba-tiba membuatnya merasa sangat lapar, meski demikian hal itu tidak membuatnya berhenti sedikipun. Melewati ruang tamu, kini ia sudah sangat dekat dengan pintu. Anna bergerak cepat menuju pintu yang berada tak jauh lagi darinya.

"Apa begini caramu berterima kasih, Nona?"

Oh tidak, suara bariton pria mencapai indra pendengarannya. Namun Anna masih tetap melanjutkan langkahnya dengan badan yang masih sedikit membungkuk, seolah-olah tidak mendengar suara apapun.

"Menurutmu, kira-kira apa yang dipikirkan orang di luar sana ketika melihatmu berkeliaran dengan pakaian seperti itu?"

Kali ini langkahnya terhenti, pandangan Anna bergerak dan hanya menangkap kemeja putih yang agak kebesaran melekat pada tubuhnya. Agaknya karena terburu-buru ia tidak memperhatikan pakaian yang ia kenakan.

Lagi-lagi Anna merutuki dirinya, mengapa ia menjadi begitu bodoh di hadapan pria asing itu.