1 “Kepercayaanlah yang Utama”

🌹 Yuna Pov~

Mentari pagi masih terasa hangatnya di badan, embun pun masih terlihat jelas di dedaunan yang rindang, burung-burung menampakkan suara yang begitu merdu di pagi hari. Pegawai publik berbaju oranye mulai beraktivitas menyapu jalanan yang banyak di jatuhi dedaunan kering tepi jalan, begitu pun dengan semua orang yang mulai aktif dalam kegiatannya, gadis-gadis berseragam SMA serta pegawai-pegawai kantor itu berjalan denganku menuju halte bus, dan terlihat sebagian yang lainnya menggunakan kendaraan pribadinya masing-masing.

Aku mengantre tiket serta menunggu kedatangan bus transjakarta yang digadang-gadang mampu mengurangi kemacetan kota Jakarta yang akan membawaku ke arah lembaga pemasyarakatan yang lokasinya berada di tengah kota Jakarta ini bersama dengan orang-orang yang hendak pergi searah denganku. Setelah bus itu datang, kami bergegas memasuki bus, dikarenakan banyaknya peminat yang menggunakan bus, kursinya sudah hampir penuh dan syukurnya masih tersisa 1 kursi untuk di duduki, aku duduk di kursi kosong itu. melihat sekeliling, hampir dari semua penumpang segera mengeluarkan ponsel pintar pribadinya. Aku melihat seorang wanita yang sudah tidak lagi dapat dikatakan muda berdiri dengan membawa banyak barang di tasnya yang terlihat berat. Karena kebanyakan dari mereka tidak menghiraukan sama sekali dengan keadaan yang ada, aku berdiri lalu menghampiri wanita tua itu.

"nenek bisa duduk di sana!!" suruhku kepada wanita tua itu.

"terima kasih banyak nak!!" balas wanita tua itu padaku.

Sebelum tiba di halte bus tempat tujuanku aku masih dalam posisi berdiri, sampai akhirnya tiba di sebuah halte bus dekat dengan lembaga pemasyarakatan. Untuk menuju lapas itu, aku masih harus berjalan sekitar 50 meter. Hampir 30 menit perjalanan dari rumah, aku tiba di sebuah lembaga pemasyarakatan yang cukup besar di kawasan Jakarta ini, melihat sekitar tampak sepi dan hanya terlihat beberapa penjaga lapas yang menjaga ketat setiap pintu lembaga pemasyarakatan.

Hari ini merupakan jadwal mewawancara klien yang di dakwa atas tindak kejahatan pembunuhan, berhubung aku dipilih menjadi advokatnya oleh negara, aku akan menjalankan tugas untuk melindunginya di meja hijau nanti.

Di sebuah ruangan cukup kecil yang diisi oleh dua buah kursi serta meja yang berada di tengah kursi itu, aku menunggu terdakwa untuk melakukan mediasi atas kasus yang telah dialaminya. Tak begitu lama, seorang pria yang usianya matang datang mendekat dengan keadaan tangan diborgol untuk berjaga-jaga agar ia tidak melakukan hal yang tidak diinginkan terjadi oleh siapa pun. Ia duduk tepat di depanku dengan posisi kedua tangan yang diborgol itu diletakkan di atas meja. Kondisi Wajahnya bonyok akibat dihakimi masa. oh iya, pak Amir lah nama terdakwa itu.Aku mengeluarkan berkas-berkas kasus pembunuhannya dari tas yang kubawa-bawa tadi.

"saya banyak mendengar tentang anda di lapas ini" pungkas pak Amir membuka percakapan.

"bapak mengenal saya?" jawabku sambil memainkan sebuah pulpen

"tidak. Saya hanya mendengar dari orang lain"

"saya Yuna, orang yang ditunjuk untuk menyelesaikan kasus ini oleh negara. Dan saya tidak akan menerima upah sepeser pun dari bapak, karena saya seorang pengacara publik" perkenalanku kepada terdakwa.

"Bapak didakwa atas kasus pembunuhan. Sepertinya bapak orang yang pandai hukum, karena bapak menggunakan hak miranda di depan penyidik bahkan di depan jaksa juga. tapi ini tidak bisa melepaskan bapak dari jeratan hukum, jadi di persidangan nanti, pilihan mana yang akan bapak ambil? Mengakui kejahatan atau membantah kejahatan??"

"saya akan membantahnya"

jawab tegas terdakwa

"kenapa??"

"karena saya tidak pernah melakukan pembunuhan terhadap siapa pun, bahkan saya tidak memiliki alasan untuk membunuh korban"

"lantas, apakah seseorang harus memiliki alasan terlebih dahulu untuk membunuh seseorang??" tanyaku dengan menatap tajam pria itu.

Pria itu diam seribu bahasa, tepat setelah aku mengatakan itu.

"jaksa sudah menemukan saksi serta mengumpulkan bukti yang ada, maka dari itu saksi sudah ditetapkan" kemudian melanjutkan

"katakan kalau bapak sudah membunuh korban dan merasa sangat menyesal telah melakukan perbuatan keji itu. jika bapak mengatakan demikian, bisa saja dari tuntutan awal 20 tahun kurungan penjara, akan berubah menjadi 10 tahun karena pengakuan dari bapak"

"bagaimana bisa seorang pengacara mengatakan itu?" tanyanya dengan mata sedikit kecewa melihat sikapku

"bukan satu orang atau dua orang yang pernah saya temui disini. Kebanyakan dari mereka mengatakan 'saya tidak bersalah!' sama seperti yang bapak lakukan saat ini, tapi faktanya saat ini mereka berada di balik jeruji besi karena di akhir nanti kebenaranlah yang akan terkuak. Jadi saya akan memberi waktu agar bapak dapat berpikir mengenai keputusan yang akan bapak ambil"

"tidak ada yang perlu saya pikirkan kembali karena saya tidak membunuh siapa pun" kukuh pria itu

"bapak pikir saya akan percaya itu?? bapak tahu, kenapa kejahatan semakin meraja lela di negeri ini? itu semua karena orang-orang bersalah yang bahkan tidak mau mengakui kesalahannya sendiri, percis seperti apa yang bapak lakukan saat ini" jawabku terhadap pria itu yang sembari mengantongi kembali berkas-berkas yang dikeluarkan tadi, lalu menutup dengan "saya permisi!" berjalan keluar dari ruangan kecil itu dengan menjinjing sebuah tas.

Bukan tanpa alasan aku memilih ungkapan itu untuk diucapkan, aku terlalu takut jika terlalu mempercayai seseorang lagi. Jika aku percaya begitu saja dengan apa yang ia ungkapkan padaku, mungkin saja ia memanfaatkan kepercayaanku ini sama halnya dengan pria yang pernah mengisi ruang di hatiku. Aku takut hanya aku yang akan tersakiti lagi, dengan demikian sekarang aku menjadi tipikal orang yang tidak gampang percaya terhadap siapa pun.

Pulang ke rumah, sudah layaknya melihat sebuah kapal pecah. Sampah berserakan dimana-mana, cucian piring menumpuk di wastafel, baju kotor berserakan di sofa, di tempat tidur bahkan di lantai juga. Hidup sendiri di sebuah rumah sewaan membuatku merasa kesepian, ibuku tinggal di alamat yang cukup jauh dari sini. karena ibu dan ayah sudah berpisah cukup lama jadi aku tidak tahu ayah tinggal di mana. Awalnya aku tinggal bersama ibu, karena ada suatu hal yang tidak diinginkan justru terjadi, maka dari itu aku memilih menyewa rumah ini sendiri. Sebenarnya rumah ini tidak terlalu luas dan tidak terlalu kecil juga namun karena di isi oleh satu orang saja maka jadi terlihat lumayan besar, padahal lokasi dapur, ruang makan dan ruang tamu itu menyatu dan hanya memisahkan kamar tidur dan kamar mandi saja. Bahkan di ruang tamu pun hanya di isi 1 sofa saja untuk berselonjor di waktu lelah dan tak lupa tersedia lemari untuk menaruh televisi serta lemari untuk buku. Karena hidup sendiri inilah yang mempengaruhi bertambahnya faktor malas terhadap diriku, maka rumah pun hanya bisa aku bereskan paling sering 2 minggu sekali. Betapa buruknya kepribadianku ini, aku harap tidak akan ada yang meniruku untuk ini.

Di hari berikutnya, seperti biasanya aku memulainya dengan meminum air putih lebih dulu kemudian pergi untuk bersih-bersih ke kamar mandi setelah itu tanpa lupa melaksanakan kewajibanku beribadah di waktu pagi, yaitu sholat subuh. Mentari sedikit demi sedikit memancarkan sinarnya di ufuk timur. Waktu kerja masih sekitar 2 jam lagi, Karena berolah raga itu di haruskan agar dapat menjaga stamina serta kesehatan maka aku memanfaatkan dengan lari berolah raga mengelilingi kompleks perumahan dekatku. Aku menggunakan setelan olah raga kasual dengan warna senada yang tidak terlalu mencolok, dilengkapi dengan menggunakan sepatu kets serta handuk kecil yang aku sangkutkan di leher.

Tak terasa waktu jam kerja sudah mau dimulai, aku bergegas mandi serta menggunakan pakaian kerjaku yang biasanya memakai celana bahan katun serta disambung dengan baju dan luaran jas, tak lupa pin yang menandakan seorang pengacara publik aku terapkan di luar jas ku. Aku meninggalkan rumah dengan kondisi kapal pecah, seperti biasa aku berjalan menyusuri trotoar untuk menuju ke halte bus, dengan tujuan awal menuju lembaga pemasyarakatan untuk menemui pria itu lagi.

Tiba di lapas , dan berada di ruangan waktu itu. Aku dan pria itu duduk dengan hanya saling memandang tanpa mengatakan bahasa apa pun atau bahkan suara apa pun.

"kenapa bapak menatapku seolah ingin membunuhku?? pilihan apa yang akan bapak ambil??" tanyaku setelah saling memandang 10 menit tanpa bersuara.

"oke!! Saya mengakuinya!!" jawab pak Amir

"Itu kan yang ingin kamu dengar??" tanya balik pria itu padaku.

Kemudian melanjutkan "tidak apa-apa kalau kamu tidak mau membela saya, tapi untuk waktu yang akan datang,, sebersalahnya klienmu, kamu harus tetap percaya padanya dan membelanya sampai ia dinyatakan bersalah oleh hakim" kemudian menutupnya dengan "jangan buang waktu kamu untuk datang kesini!!" lalu ia pergi diantar penjaga meninggalkan ruangan ini.

"apa?? jangan buang waktu kamu untuk datang kesini?? Aku pikir ini sebuah sindiran untukku!!" gumamku setelah ditinggal pria itu dari ruangan kecil ini.

Kasus ini sedikit merepotkan untukku, dari mulai terdakwa yang tidak mau mengakui perbuatannya dan ditambah dengan jaksa penuntut umum yakni Irene yang akan menjadi lawanku di persidangan nanti. Wanita itu seperti penyihir yang akan membuatku merasa jengkel ketika melihatnya. Entah apa salahku selama ini, dia hanya akan mencemoohku ketika aku sedang kesusahan serta melihatkan sifat angkuhnya itu. Jujur, aku sedikit membencinya ketika melihat dia. Rasanya ingin sekali menjambak rambutnya, mencakar wajahnya bahkan menendangnya, tapi diam justru lebih baik ketika melihatnya secara langsung. Bukan berarti aku tidak berani, hanya saja sikap itu akan merugikanku nantinya.

"aragghhh" gumamku dengan sedikit meluapkan bentuk kesalku ini.

Berjalan pulang menyusuri trotoar arah jalan rumahku serta masuk ke gang-gang kecil arah rumahku. Sepintas aku merasa ada seseorang mengikutiku dari arah belakang. satu kali dua kali melangkah, jelas sekali bahwa ada orang yang mengikutiku. Keadaan yang sepi serta malam yang gelap membuatku menjadi lebih takut. Aku berjalan lebih cepat, namun aku juga merasa ia mengikutiku lebih cepat. Kemudian aku berhenti untuk memastikan itu, lalu berbalik badan dan alhasil tidak ada seorang pun di sana. Aku melanjutkan perjalanan pulangku, lagi dan lagi aku merasa seseorang sedang mengikutiku. Langkahku terhenti sejenak, kemudian aku berlari dan memilih bersembunyi di sebuah tembok. Tak lama, seseorang datang dengan memakai sweter berwarna hitam lengkap dengan menggunakan tudungnya dikepala yang seolah-olah menunjukkan kalau ia adalah seorang penjahat apalagi berada di kawasan yang sedikit gelap. Awalnya aku merasa takut serta gemetar, tapi untuk melindungi diri aku keluar kemudian memukul orang itu dengan tas yang aku bawa.

"aw..aw..aw" ungkapan kesakitannya ketika sedang kupukuli kepalanya itu menggunakan tas

"ini aku, aku!!" lanjutnya

"siapa??" tanyaku pada orang itu tapi masih tetap memukulinya

"Dean!!"

Mendengar pengakuan darinya, aku menghentikan pukulanku kemudian membuka tudung kepalanya dan memastikan kalau ia benar-benar Dean orang yang aku kenal.

"aughhh" memukul perut Dean. Dan melanjutkan "dasar ya!! bikin orang takut aja tau gak?"

"abisnya, dari tadi aku panggil gak nyaut-nyaut, ya udah aku ikutin"

"kapan?? Kok aku gak denger!!" tanyaku yang sama sekali tidak mendengar panggilannya.

"makanya jangan ngelamun terus, orang manggil segitu kencengnya aja nyampe gak denger"

Kemudian kami melanjutkan perjalanan, karena membawa pria malam-malam ke rumah itu tidak baik, jadi aku membawanya ke arah taman dekat tempat tinggalku. Sambil berjalan menuju sana, aku sempat bertanya kepada Dean.

"apa arti sebuah kepercayaan buat kamu??"

"kepercayaan itu segalanya. Jika ada sepasang kekasih yang salah satu diantara mereka tidak percaya dengan apa yang dikatakan pasangannya, bisa saja hubungan itu menjadi retak"

"kenapa tiba-tiba nanya gitu??" tanya penasaran Dean padaku.

Melihat bangku taman yang kosong, aku menyuruhnya untuk duduk disana. Di temani bintang yang begitu kelap-kelip dan cahaya rembulan yang menyempurnakan malam jika di temani dengan sang kekasih maka sempurna sudah, hanya saja malam ini aku di temani seorang pria yang kurang lebih 4 tahun berteman denganku dari mulai semester 5 masa perkuliahan. Dialah yang saat ini selalu berada dekatku dikala suasana hati sedang sedih, pilu, ataupun bahagia sekalipun.

"kamu ini kenapa sih??" tanyanya dengan melihatku yang sedang merasa cukup lelah menghadapi hari ini.

"aku capek!! Bisa pinjemin bahu kamu sebentar??" tanya lemasku padanya kemudian aku menyenderkan kepalaku di bahu Dean.

Melihatku yang seperti ini, jelas membuat Dean penasaran dengan apa yang terjadi denganku hari ini.

"gak biasanya kamu kayak gini? Bilang!! Supaya aku tau!!"

"aku bingung!! Antara harus percaya sama orang itu atau nggak!!"

"kamu gak perlu percaya dengan orang itu, kamu cukup percaya dengan apa yang hatimu ingin percayai" jawab bijak Dean yang membuatku berpikir.

"lihat bintang itu!!" pungkasnya dengan menunjuk ke arah bintang yang paling bercahaya sehingga membuatku segera melihat bintangnya.

"kenapa bintangnya??" tanyaku

"nggak papa, aku Cuma nyuruh kamu lihat aja!!" candanya yang membuatku terbangun dari senderan bahunya itu.

"aku kira kamu mau ngomong bijak" sahutku pada Dean.

Tiba-tiba ponselku berdering, aku mengambilnya dari tas. 'ibuku' tertulis disana, panggilan itu datang dari ibuku. tanpa berlama-lama aku menerima panggilan dari ibu.

"ibu sekarang lagi dirumah kamu, kenapa jam segini belum pulang??" tanya ibu yang terdengar lewat ponsel.

"sebentar lagi aku pulang" jawabku yang mengakhiri percakapan di telepon.

"aku pulang dulu!! Sampai ketemu lagi" pamitku pada Dean, kemudian segera menuju rumah.

Karena jarak taman dengan rumahku tidak terlalu jauh, jadi hanya memakan waktu beberapa menit saja untuk sampai rumah. Sesampainya disana, terlihat ibu yang menungguku diluar dengan pakaian yang tidak terlalu tebal di cuaca malam yang dingin ini.

"ngapain ibu nunggu disini?? Ayo kita masuk!!" ajakku sambil menarik tangannya.

Ketika sudah menutupkan pintu, takjubnya aku melihat keadaan rumah yang super duper bersih ini, padahal pagi tadi aku meninggalkannya dalam keadaan berantakan sekali, benar-benar 180˚ berbanding terbalik dengan keadaan tadi.

"ibu yang beresin semua ini??" tanyaku pada ibu yang setiap kali datang untuk rapiin rumahku

"emangnya siapa lagi??" tanya balik ibu padaku

"ibu nggak harus beresin semua ini kalo datang kesini!!" pintaku pada ibu.

"lagian masa anak perawan, rumahnya selalu berantakan" dan melanjutkan "cepat ganti baju kamu, kita makan bareng-bareng!!"

Aku segera pergi ke kamar untuk berganti pakaian, aku menggantinya dengan pakaian kasual untuk tidur lalu bergabung dengan ibu yang sedang menyiapkan makanan di meja makan dapurku. Aku duduk disana, dan kami makan bersama setelah beberapa bulan terakhir. ia menyiapkan beberapa makanan kesukaanku, benar-benar ibu yang begitu baik pada anaknya. Di sela makan, kami sedikit berbincang-bincang.

"kenapa gak bilang dulu kalau ibu mau kesini, kan aku bisa jemput"

"ibu takut kamu lagi sibuk!.. gimana kerjaan kamu??"

"ya gitulah.." jawab sederhanaku.

"kalau jawabannya kayak gitu, kayaknya ada sesuatu. Apa itu??"

"sesuatu seperti apa??" balik tanyaku pada ibu.

"entah, gimana ibu bisa tau kalau kamu gak kasih tau"

"sebenernya,,, aku,, aku lagi melindungi informasi klienku. Aku gak akan bilang apa-apa" jelasku

"kamu gak percaya sama apa yang dia bilang??" tanya ibu yang membuatku berhenti mengunyah.

"ko ibu bisa tau??" tanya penasaranku

"dari dulu kan masalah kamu itu-itu aja!!.." dan melanjutkan "kamu gak perlu percaya omongannya, tapi cukup percaya dengan hati kamu. Jika hati kamu mengatakan 'aku percaya' maka turuti itu, karena hati kamu lebih tau" untuk meyakinkan hatiku yang bahkan aku sendiri cukup bimbang dengan situasi hatiku ini.

Mentari pagi menampakkan dirinya dari sebelah timur langit dengan begitu hangatnya. Seluruh makhluk memulai aktivitasnya kembali. Kali ini, sebelum menyambangi lembaga pemasyarakatan aku lebih dulu mengantar ibu ke halte bus. Karena tidak memiliki kendaraan pribadi, aku hanya dapat mengantar menggunakan kendaraan umum. Bukan tidak ingin membeli kendaraan, hanya saja itu akan memberikan beban kepada pemerintah yang ingin mengatasi kemacetan maka dari itu aku lebih suka menggunakan kendaraan umum.

Sebelum menaiki bus yang sedang berhenti, aku memberikan tas yang selalu ibu bawa dari rumah. Tak lupa aku berpamitan dengannya.

"ibu ingin kamu datang ke rumah!!!" pinta ibu sebelum masuk bus.

"nanti aku kesana!!" sambil memegang tangan ibu

"ibu pergi!! Jaga diri baik-baik"

"hati-hati bu!!" mencium tangan ibu sebagai tanda perpisahan

Tak lama setelah menduduki kursi dekat jendela yang dekat dengan posisiku, bus langsung melaju dan ibu melambaikan tangannya kepadaku. Urusanku di halte telah selesai, aku melanjutkan pekerjaanku dengan menyambangi lapas itu.

Melihat jam, 10 menit, 20 menit berlalu. Aku menghabiskan waktu dengan sia-sia di ruangan ini. akhirnya, pria itu datang seperti biasa dengan posisi tangan yang diborgol.

Dia duduk berhadapan denganku, kepalanya hanya menunduk, dan aku hanya memperhatikannya tanpa mengatakan apapun. tak lama, ia pun menatapku. kemudian,,

"kenapa kamu datang?? Sudah saya bilang, jangan datang lagi" ujarnya dengan sedikit nada kesal yang terdengar di telingaku.

Dan setelah mengatakan itu, ia berdiri dan hendak pergi meninggalkanku untuk yang kedua kalinya. Aku menghentikan langkahnya dengan ucapan "ceritakan semuanya!!".. tetap saja ia kembali melanjutkan langkahnya untuk meninggalkanku, tak cukup sampai situ, aku kembali mengatakan "saya akan mendengarkan semuanya dari sudut pandang bapak, agar saya bisa percaya itu". beliaupun akhirnya menyerah dan kembali duduk di kursi itu.

"katakan! Agar saya bisa paham dan membebaskan bapak dari dakwaan ini, jika memang bapak tidak bersalah" jelasku pada pria itu.

"memang benar kalau saya malam itu keluar dari rumah korban, tapi saya datang bukan untuk membunuh wanita itu" buka pak Amir dengan wajah yang cukup meyakinkan.

"terus??" tanya sederhanaku

"mencuri!! Saya datang untuk mencuri..." aku pria itu.

"tunggu sebentar!!" memotong omongannya,, "jadi,, bapak tidak mengaku sebagai pembunuh, tapi sebagai pencuri?? begitu maksud bapak??"

"iya!! saya masuk ke rumahnya untuk mencuri. ketika saya mau masuk ke kamarnya, dia sudah tergeletak di lantai berlumuran darah. Melihat darah yang begitu banyaknya saya merasa kaget dan langsung lari keluar dari rumah itu, bahkan saya belum mengambil apapun dari rumahnya" lengkapnya.

"dimana bapak menyembunyikan pisaunya??" tanyaku Mendengar pernyataan itu, sontak pak Amir langsung menjawab

"kamu masih tidak percaya sama saya??"

"bukan begitu,, hanya saja pisaunya sampai sekarang belum ditemukan"

"kalau gitu, kamu harus segera menemukannya!!" suruhnya padaku yang membuat ku bertanya

"kenapa?? Kenapa saya harus menemukannya??" sebagai bentuk penasaranku

Sesaat setelah pria itu berkata seperti itu, kepercayaanku padanya terguncang, padahal semalaman aku berpikir keras antara harus percaya atau tidak, mengenai apa yang dibicarakan pria itu. padahal untuk mencari bukti itu adalah tugas seorang penyidik dan jaksa yang bersangkutan, aku hanya bertugas mencari bukti untuk meringankan hukumannya saja.

Setelah menemui pria itu, aku kembali ke kantor menggunakan bus. Sebelum tiba di kantor, aku mengunjungi sebuah restoran dekat sana karena merasa lapar, tak banyak orang yang mengunjungi restoran ini di karenakan jam istirahat makan siang masih 1 jam lagi, jadi terlihat lumayan banyak bangku yang kosong. Seperti biasa, aku melakukan pemesanan lebih dulu dan menunggu sebentar, tak lama makanan enak itu diantar oleh pelayan restoran ke mejaku. Aku mencicipinya dengan penuh perasaan karena rasanya yang tak tertandingi, namun nahasnya dari kejauhan Irene terlihat menuju restoran ini. ia pun memesan lebih dulu sama halnya denganku, dari banyaknya bangku kosong yang tersedia di restoran ini, ia lebih memilih duduk di bangku kosong yang berhadapan langsung denganku. Aku bersikap biasa saja tanpa mengatakan sepatah dua patah kata apapun dan hanya menyantap makananku saja.

"makan yang banyak!" dan melanjutkan "kamu udah bekerja terlalu keras!!" ungkapnya yang menghentikanku makan.

Makanan dia sudah datang diantar pelayan.

"makasih!!" ungkapnya kepada pelayan itu. dan melanjutkan pembicaraannya padaku setelah pelayan itu pergi menjauhi kami "jangan bekerja terlalu keras, karena pada akhirnya kamu hanya akan kalah"

Sebenarnya ingin sekali aku menumpahkan makanan ini ke wajahnya, namun karena sadar betul kalau itu perbuatan yang tidak terpuji jadi aku menahannya. Lebih baik aku mengalah dan pindah tempat duduk, jadi aku berdiri.

"mau kemana?? Makananmu masih banyak!!"

"aku udah selesai" pergi meninggalkan kursi itu menuju ke arah kasir untuk membayar tagihan makanan yang aku pesan.

Aku pergi meninggalkan restoran itu dengan rasa kesal akibat ulah Irene, aku kembali berjalan ke arah kantorku. Sambil berjalan, aku mulai bergumam karena perut keronconganku. "bahkan aku belum habisin separuh dari makanan yang aku pesen". Ponselku berdering di tas yang aku bawa-bawa. Aku mengambilnya, dilihat panggilan masuk datang dari Dean dan akupun menerima panggilan itu.

"apa??" tanyaku dengan nada ketus

"tadinya aku mau ngajak makan, tapi jawabnya ketus gitu,, gak jadi ahh" canda Dean.

"tunggu, tunggu, jangan ditutup dulu!" pintaku, lalu melanjutkan "ada apa nelepon??" tanya halus dengan terselip sedikit nada imut agar mengurungkan niatnya tadi.

"tadinya mau ngajak jalan, tapi jawabnya so imut gitu, jadi males" lanjut candaannya

"terus aku harus jawab kayak gimana?? Bilang aja gak niat!!" ungkap ketusku padanya lewat panggilan telepon.

"kamu lagi dimana??" tanyanya, dan akupun memjawab dengan lokasi posisiku, dia menyuruhku untuk menunggu.

Tak lama dia datang menggunakan sepeda motor bermerek ninja berwarna merah lengkap dengan helm yang dikenakannya. Dia memakai jaket levis yang swag dan cocok dengan bentuk proporsionalnya serta sepatu yang terlihat begitu keren, apalagi ketika berhenti dan membuka helmnya, dia mengibaskan rambut dengan begitu kerennya berbeda dengan malam tadi yang memakai sweter, celana biasa serta memakai sendal jepit yang jauh dari kata swag.

"ayo!!" ajaknya dengan memberikan helm lain, dan bahkan memasangkannya di kepalaku.

Untuk tiba di lokasi tujuan Dean, kami menempuh waktu perjalanan kurang lebih 30 menit. Angin terasa menyejukkan sampai ke hati, panasnya matahari di tengah-tengah langit terkalahkan dengan rindangnya pohon-pohon serta air danau yang begitu terlihat memanjakan mata.

"kamu tau dari mana ada tempat setenang ini di kota Jakarta??" tanya penasaranku pada Dean yang sudah membawaku ke tempat sejuk ini.

Kami berjalan-jalan melihat sekeliling tempat itu, melihat indahnya sekitar, hatiku benar-benar terpana akan hal itu sehingga melupakan sedikit penat di kepala. Melihat bangku kosong yang menghadap danau serta diatasnya ada pohon rindang, kamipun melangkah menuju bangku itu. kami duduk berdua dan sama-sama memandang danau.

"kamu suka tempatnya??"

"suka"

"tadi kamu kenapa, mukanya nyampe kusut gitu??" ledekan Dean

"aku hampir lupa, tapi kamu nanya itu jadi keinget lagi sama Irene" yang tiba-tiba teringat kejadian makan siang tadi

"emangnya Irene kenapa??"

"Irene nya sih gak apa-apa, tapi aku yang kenapa-napa"

"ohh iya!! emang si Irene ngomong apa sama kamu??"

"tadi akukan lagi makan, tiba-tiba dia datang. Dari sekian kursi yang kosong, dia milih kursi kosong di hadapan aku. Terus, dia bilang 'jangan bekerja terlalu keras, karena pada akhirnya kamu akan kalah'" jawabku dengan meniru nada ucapan Irene tadi

"kamu kesel Cuma gara-gara itu??"

"nggak juga sih,, sekarang aku gak terlalu ambil pusing dengan apa yang dibicarakannya"

"ya iya... kan yang dia omongin emang benar" jawab canda Dean yang membuatku mencubit perutnya.

Jam waktu makan siang belum berakhir, Dean kembali mengajakku pergi menggunakan motornya, tapi kali ini dia membawaku ke sebuah restoran. Suasana restoran yang klasik mengingatkanku pada zaman muda dulu. Orang-orang ramai mengunjungi restoran ini. dari mereka ada yang datang bersama dengan keluarganya, ada yang bersama kekasihnya serta ada juga yang bersama dengan rekannya. Suasana disini sudah tidak asing lagi buatku, karena dulu semasa berpacaran dengan seseorang, ia sering kali mengajakku kesini. Hanya saja untuk kali ini Dean yang mengajakku ke restoran ini. kami menempati kursi kosong tepat dekat jendela yang bisa melihat indahnya lingkungan luar restoran. Kami membuka buku menu yang sudah tersedia di meja dan memilih menunya. Aku lebih dulu memilih makanan. Dean hanya terus membuka lembaran-lembaran menu itu tanpa memilih apapun sedangkan pelayan sudah berdiri menunggu menu yang akan kami pesan.

"jangan hiraukan harganya, aku yang akan bayar!!" ucap halusku yang membuat pelayan tersenyum melihat kami berdua. Deanpun memilih makanan itu, dan pelayan pergi meninggalkan kami.

Aku melihat jendela, Sekejap benar-benar mengingatkan suasana masa lalu.

"kamu mikirin apa lagi??" ucap Dean yang langsung membuatku menatap ke arah wajahnya.

"biar aku yang bayar! Kamu gak perlu mikirin tagihan bayarannya" balas Dean

"eyyy,,, disini aku yang kerja, yang pengangguran jangan so' so'an mau bayarin segala" ungkapku dengan nada keras yang membuat pengunjung restoran melihat ke arah kami, spontan kami pun tertunduk malu.

Tak lama makanan kami datang diantar pelayan wanita berbaju hitam putih, ia menaruhnya satu persatu di meja kami dengan senyum ramahnya. Lalu ia pun pergi meninggalkan kami.

Kami mulai menyantap makanan sedikit demi sedikit. Karena rasa penasaranku juga, akupun menanyakan sesuatu pada Dean.

"kamu sering kesini??"

"dulu... sekarang udah nggak"

"kenapa??"

"orang yang suka ngajaknya hilang entah kemana" jawabnya sambil menyantap makanan yang ia pesan.

"cewek?? Cowok??"

"rahasia" tutupnya yang membuatku sedikit kecewa.

"pasti cewek!!" ungkap spontanku

"so tau!!"

"temen cowok kamu??" tanyaku kembali

"dulu sih temen,,, sekarang udah nggak!!"

"emang kamu punya temen??" ledekanku pada Dean dan menutup pecakapan hari ini.

Pekerjaan yang harus aku lakukan masih banyak, aku harus memastikan kalau orang yang aku tangani saat ini benar-benar tidak melakukan tindak kejahatan apapun. Untuk itu aku kembali menemuinya di lembaga pemasyarakatan. Di ruangan kecil itu kami mengobrol dari hati ke hati agar aku bisa memahaminya dan bisa mencari jalan keluar untuk situasi saat ini.

"entah kenapa, seberapa besar saya berusaha menghindar untuk percaya dengan apa yang bapak katakan, pada akhirnya saya tetap ditugaskan untuk membela bapak nanti"

"seperti apa yang kamu katakan, kebenaranlah yang akan terungkap diakhir. Percaya sama saya, saya tidak pernah membunuh siapapun" ungkapnya untuk meyakinkanku.

H-7 sebelum adanya sebuah tragedi pembunuhan, di rumah yang sederhana sebuah keluarga kecil terdiri dari sang ayah yang tak lain dan tak bukan adalah tersangka kasus pembunuhan yang sedang aku tangani, ibu serta sepasang anak berjenis kelamin laki-laki yang menjadi kakaknya berusia sekitar kelas 2 Sekolah Dasar dan anak perempuan yang menjadi adiknya berusia 5 tahun. Mereka keluarga yang serba kekurangan dalam perihal ekonomi.

Ketika sepasang suami istri itu sedang mengobrol perihal ekonominya di ruangan tengah mereka yang bahkan tidak layak disebut ruang tamu, tiba-tiba sang anak perempuan datang dari arah luar yang merasa lapar. Orang tuanya tertegun mendengar apa yang diucapkan gadis kecil itu. mereka hanya saling berdiam diri. Karena tidak ingin puteri kecilnya mendengar, si ibu menyuruhnya untuk pergi dulu.

"apa yang harus aku masak?? Sedangkan beras saja gak ada" ucap si istri pada suami yang menatapnya dengan mata berkaca-kaca.

"aku hanya punya segini" memberikan uang yang bernilai ribuan saja kepada istrinya

"aku tau ini gak akan cukup. Jadi untuk saat ini, kita pinjem dulu ke si bibi warung.." tutup sang suami

"mau sampai kapan hidup kita seperti ini??" tanyanya dengan nada membentak pada suami.

Air mata si istripun tak terbendung lagi sehingga menjadikan suasana yang begitu mencekam.

"mau sampai kapan hidup kita begini terus?? Tidak apa-apa kalau hanya aku yang kelaparan, tapi aku gak bisa melihat anak-anakku kelaparan. Ketika anak-anak yang lain pergi ke mall membeli makanan enak inilah itulah, tapi aku hanya mampu melihat anak-anakku yang setiap harinya makan mie instan. Hatiku sakit melihat mereka seperti itu" tutup pembicaraan si istri yang membuat suaminya tak mengucapkan kata-kata apapun dan hanya tertegun membisu dengan wajah yang terlihat begitu menyedihkan.

H-6 sebelum pembunuhan, terdakwa itu dan dua orang tetangganya sedang menongkrong di warung. Mereka duduk bersantai di emperan depan warung dengan memesan masing-masing 1 gelas kopi di siang bolong. Tiba-tiba datang gadis usia sekitar 21 tahunan belanja ke warung dengan memakai pakaian yang sedikit gaya seperti kebanyakan style yang dipakai gadis seumurannya saat ini. dia memesan bahan makanan ini itu kepada bibi warung, tak luput kamipun memperhatikannya sampai ia pergi meninggalkan warung.

"siapa?? Kok baru liat!!" tanya terdakwa kepada dua temannya itu.

"ohh,, dia baru 4 hari pindah kesini"

"emang di mana rumahnya??" tanya terdakwa

"itu rumah yang dijual bu Aan" jawab teman terdakwa sembari mencicipi kopi hitam miliknya.

"padahal bu Aan ngejualnya gak kira-kira, tapi dia berani beli" sahut teman satunya lagi

"namanya juga orang kaya, mau beli apapun juga ya terserah dia" tutup teman itu.

Itulah yang diceritakan oleh terdakwa selama di ruang kecil tadi, dia meyakinkanku dengan cerita itu. namun aku sedikit ragu, dan mengira itu hanya sebuah cerita yang dibuat-buat oleh terdakwa. Tak sampai disitu, aku kembali mendengar lebih rinci cerita itu.

"setelah itu, apa yang terjadi??" tanyaku sembari menaruh lengan dibawah dagu yang menahan ke meja.

"karena letak rumahnya yang memisahkan diri dari rumah warga lain, aku mengintainya di waktu tertentu"

"apa yang didapat selama pengintaian itu??"

"aku tau dia meninggalkan rumah jam berapa dan pulang jam berapa... tapi hari itu tidak seperti biasanya, dia tidak keluar meninggalkan rumah itu. jadi aku mengira dia tidak berada dirumah, jadi aku memutuskan untuk masuk kerumah itu"

Lalu melanjutkan dengan wajah serius. "saat aku masuk, ada hal aneh"

"hal aneh?? apa itu??" tanyaku yang dibuat penasaran

"pintunya tidak terkunci"... "saya kira pintunya tidak terkunci menandakan hal baik, tapi ternyata malah dijadikan tersangka pembunuhan"

"lagian siapa yang nyuruh maling?" gumamku.

Benar-benar pekerjaan yang melelahkan bukan? Tapi dari lelahku ini semoga membuahkan kebahagiaan kembali bagi setiap orang yang tidak bersalah. 'tuk,, tak,, tuk,, tak' bunyi suara sepatuku yang membawa ku ke kantor tempat bekerja. 'ceklek' suara pintu yang ku buka, di ruangan terlihat lemari yang diisi begitu banyak berkas-berkas kasus yang harus ditangani. Untungnya berkas itu, bukan hanya aku yang menanganinya. ada sebuah sofa yang disediakan untuk berkumpul serta tempat untuk menjamu tamu dan terdapat 4 buah kursi dilengkapi masing-masing meja yang dipenuhi berkas serta disediakan komputer masing-masing 1 buah. Berkas-berkas itu merupakan berkas kasus yang harus aku kerjakan, namun bukan hanya aku saja yang melakukan pekerjaan ini melainkan juga pekerjaan Febri dan Rizky. Mereka adalah rekan pengacara publik satu tim ku. Dan Tiara, yang saat ini sedang duduk di kursi tempatnya sembari memisahkan file-file kasus adalah seorang Asisten Pengacara cantik dan modis yang sangat terampil serta yang kebetulan teman semasa kuliahku. Melihatku datang dengan wajah datar dan langsung duduk di tempat duduk kerjaku yang mejanya dipenuhi map-map berisi kumpulan berkas membuatnya sedikit terganggu.

"kenapa lagi?? Masih belum percaya sama klien kamu??"

"bukan itu,," jawabku tanpa basa-basi.

"oh iya, kemarin aku datang sendiri ke TKP"

"terus??"

"ada orang di sana"

"mungkin orang sekitar mau lihat itu"

"iya sih, mungkin aja" jawab Tiara kemudian melanjutkan pekerjaannya kembali, begitu juga aku membuka berkas yang ada di meja dan membacanya. 'tok-tok-tok' suara pintu terdengar yang memang sepertinya ada tamu yang datang. Mendengar itu, Tiara meninggalkan pekerjaannya dan membuka pintu.

"ada yang bisa kami bantu?" tanya ramah Tiara pada tamu itu.

Tamu itu seorang wanita yang usianya cukup dewasa dan mungkin sudah memiliki anak dengan pakaian yang terlihat kucel.

"pengacara Yuna ada??" tanya wanita itu pada Tiara.

Mendengar itu aku pun menghampirinya untuk menjamunya.

"saya Yuna. Maaf, ibu siapa ya??" tanyaku lebih dulu

"saya istrinya Amir, Terdakwa kasus pembunuhan"

Mendengar jawaban wanita itu, aku menyuruhnya duduk di sofa terlebih dulu. Tak lupa, Tiara langsung membuatkan teh hangat sebagai bentuk jamuan kami terhadap tamu yang datang. Wanita itu duduk di sofa, dan sayapun menemaninya disana dengan duduk di samping wanita itu yang dipisahkan dengan jarak sekitar 30 cm.

"ada apa ya bu??" tanyaku

Tiara sudah membuatkan teh itu dan segera meletakkan di meja tepat di hadapan wanita itu dan kemudian Tiara duduk di sampingku.

"tolong bebaskan suami saya" dengan air mata yang mengalir di pipinya.

"kalau saja saya tidak mengatakan semua itu, dia tidak akan pernah pergi ke rumah itu" lalu melanjutkan dengan memegang kedua tanganku yang ku taruh di atas kaki yang ku tumpangkan "tolong keluarkan suami saya dari sana dan tolong temukan pelaku yang sebenarnya! Saya mohon!" pintanya dengan menangis.

Aku melepaskan tangannya itu dan mengatakan "maaf, saya tidak bisa membebaskannya"

Wajahnya terlihat sangat cemas sekali "kenapa??" tanya wanita itu

"saya bukan hakim yang dapat menjatuhkan vonis, saya juga bukan seorang jaksa yang bisa mendakwa siapa pun yang bersalah. Saya hanya diamanahkan untuk membelanya di persidangan nanti. Dan saya tidak dapat menjamin kebebasannya,,,"

Aku memegang kedua tangan wanita itu serta menggenggamnya yang kemudian melanjutkan "tapi, saya percaya,, walaupun seandainya suami ibu tidak bersalah, maka dia tidak perlu menerima hukuman apa pun. Maka dari itu, jangan memohon sama saya tapi berdoalah dan memohon sama yang maha kuasa" tutupku dan membuat suasana keluar dari zona haru.

Sekarang saya sadar, tugas saya bukan untuk membebaskan ataupun menjebloskan mereka ke jeruji besi. Tapi tugas saya adalah untuk melindungi dan membela mereka sampai akhir. Bersalah atau tidaknya, semua tergantung keputusan hakim agung. Jika semua orang tidak ada yang mau mempercayai mereka, lantas siapa yang akan mereka andalkan di situasi seperti ini? untuk itu peranku dibutuhkan.

avataravatar
Next chapter