1 AGONY 1.1

Gelap malam menyisakan tangis pilu di ruang bawah tanah, Carolus benar-benar murka. Perempuan itu masih tak mau membuka mulut tentang apa yang telah Ia kacaukan. Carolus sangat yakin Ia dikhianati oleh kekasih sekaligus sahabatnya sedari kecil.

"Masih mau main-main lagi, Sayang?" Bisik Carolus sembari menggesekkan cambuk berumbai ke kulit penuh luka Daisy.

"Ampun, Tuan. Ampun," lirih perempuan yang dalam kondisi terikat di tiang gantungan.

"Kalau begitu, katakan mengapa Kau melakukan itu," Carolus mengitari tubuh Daisy dengan baju sudah compang camping tidak karuan oleh hentakan cambuknya.

"Aku tidak melakukan itu, Tuan," ucap Daisy dengan jawaban yang masih sama.

CTARR

Carolus menghantamkan cambuknya lagi ke punggung kekasihnya. Jeritan Daisy menggema ke seluruh penjuru ruangan. Rintihan kesakitan kembali mewarnai gelap malam yang hanya ditemani oleh temaran lampu minyak. Carolus meninggalkannya tanpa melepaskan ikatan di tangan Daisy. Daisy terikat seorang diri dan harus menerima siksaan Carolus akibat tuduhan yang menderanya. 

"Sudah pegal hatiku menerima kenyataan bahwa Baron pengkhianat. Prajurit andalan yang terlatih bertahun-tahun ternyata mengkhianatiku. Sekarang kekasihku sendiri yang berkhianat, Ia bahkan membantu Baron mencuri harta pusakaku," teriak Carolus di kamar luasnya.

Semua pelayannya tak ada yang berani mengangkat wajah. Tuan Pangeran sedang naik pitam. Negeri mereka sedang kacau balau, kemiskinan menjangkiti ke seluruh pelosok negeri, perang dengan negeri jiran tak kunjung usai, prajurit-prajurit berguguran, anak-anak kelaparan, perempuan-perempuan mendadak menjadi janda. Ditambah lagi, banyak orang dalam yang berkhianat.

"Siapa lagi yang mau berkhianat? Siapa lagi?! Cepat katakan sekarang! Aku tantang kalian yang tidak memiliki loyalitas!" Teriak Carolus.

Sembari menanggalkan jubah kebesarannya, Carolus memandang ke cermin besar yang menampilkan bayangan dirinya. Di cermin itulah Daisy dan dirinya biasa bermain-bermain. Gadis kecil itu sekarang berubah menjadi pekhianat,  gadis  itu memberitahu Baron di mana letak benda pusaka yang Carolus simpan. Benda yang menjadi sebuah kunci gudang senjata yang disimpan oleh nenek moyangnya.

"Di saat waktunya hampir tiba untuk membuka pintu gudang itu, kuncinya menghilang," gumam Carolus.

"Di mana letak gudang senjata itu, Tuan?" Tanya salah satu pelayannya yang sedang menyiapkan ranjang tidur Sang Pangeran. Carolus menoleh padanya, Ia teringat sesuatu. Hingga saat ini Ia belum tahu secara pasti di mana gudang senjata itu terletak. Ia hanya tahu bahwa gudang senjata yang Ayahandanya maksud berada di sebuah lereng gunung ujung utara kerajaaan mereka.

"Kita butuh peta gunung itu, kita harus mempelajari medan. Kau, panggilkan Barbarous ke sini," titah Carolus.

Barbarous adalah kakek tua sang juru nujum, Ia bisa membaca bintang-bintang di langit. Bisa menyingkirkan hujan, bisa bertanya pada awan, dan bisa mengirimkan kunang-kunang untuk mencari di mana musuh-musuh perang bersembunyi.

"Baik, Tuan," pelayan itu mengangguk patuh lalu berlenggang dari kamar istirahat Sang Pangeran.

Tidak lebih dari satu jam kemudian, Barbarous sudah tiba di kediaman Pangeran Carolus dengan pakaian terbaik yang Ia miliki. Sebuah kehormatan baginya jika Ia diundang untuk menghadap Sang Pangeran meskipun hari sudah larut malam.

"Selamat datang, Paman Barbarous," sapa Carolus dengan penuh hormat.

"Oh Tuanku. Sebuah kehormatan hamba dipanggil kemari," sahut Barbarous.

"Duduklah," ujar Carolus.

"Baik, Tuanku. Terima kasih," jawab Barbarous.

FLASHBACK ON

Angin bertiup lembut menyapa padang pasir di bawah terik matahari. Debu-debu beterbangan dan menghapus jejak kaki-kaki kuda yang melintas. Tak ada air setetes pun yang mewarnai hamparan luas berpasir sejauh mata memandang. Dari jarak yang sangat jauh dan tampak seperti dari balik bumi, terlihat rombongan berkuda memasuki hamparan luas itu. Derap langkah mereka perlahan menggema dan semakin jelas terdengar di telinga.

Kicau burung pun menjadi semakin kencang bersahut-sahutan di atas dahan pohon tempat Daisy duduk menyendiri. Mata kecil bulatnya mengerjap-ngerjap dan bergerak kesana-kemari mengamati barisan tentara berkuda yang kian mendekat. Darimanakah mereka? Apakah mereka adalah rombongan perang yang berangkat satu tahun lalu dan kini baru menyusul pulang? Apakah ada di antara mereka kakak sulungnya yang sampai kini belum menginjakkan kaki di rumah lagi?

Mata gadis itu menatap tajam ketika Ia sadar bahwa seragam yang dikenakan oleh rombongan tersebut bukan seragam perang yang biasa dikenakan laki-laki di kerajaannya. Ia menengok kanan kiri dan berusaha lari sekencang mungkin sebelum rombongan itu menyadari kehadirannya dan dituduh mengintip kedatangan mereka.

"Daisy..."

"Daisy, di mana Kau?" suara lelaki yang tak asing di telinganya membuyarkan konsentrasi gadis kecil itu.

Ia mengerti bahwa laki-laki itu merindukannya, tapi Daisy tidak tahu harus bagaimana menyikapinya saat ini karena Ia tahu betul situasi apa yang sedang dihadapi. "Daisy, Kau tahu malam nanti malam apa?"

"Ummm, maaf aku tidak tahu. A... Aku, coba Kau lihat di ujung sana. Kau lihat, itu rombongan apa?" Daisy menunjuk rombongan berkuda yang tampak tenang dari jauh.

"Astaga, Daisy Kananta! Kenapa Kau tidak peduli tentang hari ulang tahunku?" Ia menggaruk frustasi rambut ikalnya. Kakinya berjalan kesana kemari karena gadisnya kali ini tidak memenuhi kepuasan batinnya untuk dipuji dan dibelai. Tiba-tiba matanya terbelalak ketika rombongan berkuda itu semakin mendekat dan derap langkahnya semakin jelas terdengar. Debu-debu beterbangan karena beradu dengan langkah kaki kuda yang ganas menghentak gurun.

"Daisy! Lari, Sayang!" Ia menarik lengan gadisnya dan berlari sekencang mungkin, Kananta terengah-engah mengimbangi langkah kekasihnya yang panjang dan cepat. Mereka menyelinap masuk ke dalam gerbang sebuah bangunan terbesar di daerah itu. Sepatu berdebu dan baju berbahan satin basah oleh keringat yang kedua remaja itu kenakan, mengundang perhatian para pegawai kerajaaan.

"Stop! Sudahkah Ananda sekalian tahu bahwa ada peraturan khusus untuk memasuki benteng pertahanan ini? Tolong keluar sekarang!" 

"Maaf, apakah Tuan sudah tahu ada rombongan yang tiba-tiba datang ke sini?" Sahut Daisy tergesa-gesa.

"Sampaikan ke semua orang disini, dan tolong antarkan aku ke ayahku sekarang. Kau, jaga gadis ini!" ucap kekasih Daisy lantang setelah menunjukkan emblem anggota keluarga kerajaan di kalungnya ke pegawai tersebut. 

Pegawai yang mendengar titah itu langsung lari berhamburan mengerti siapa yang sedang berbicara dengan mereka. Daisy diangkat dan didudukkan di punggung kuda yang disiapkan di dekat gerbang sebagai kendaraan darurat. Dua pengawal mendampingi laki-laki terhormat yang mulai menginjak usia dewasa untuk menemui Raja mereka. Para pegawai di benteng pertahanan bergerak cepat menyiapkan segala apapun yang akan terjadi.

Daisy mengerti bahwa genderang perang akan ditabuh setiap saat di masa-masa genting seperti ini. Kepalanya berdenyut nyeri ketika teringat masa-masa kelam saat Ia kecil dulu. Kakeknya, ayahnya, kakak laki-lakinya kini sudah tidak bisa Ia lihat lagi dengan mata telanjang. Mereka semua telah gugur di medan perang. Ia benar-benar takut jika peristiwa masa kecilnya akan terulang lagi. Perang menyisakan kenangan pedih baginya, mengapa Ia tidak mengalami masa kecil yang bahagia seperti di dalam dongeng? Dan kini Ia telah menginjak usia 18 tahun di mana seharusnya Ia menghabiskan banyak waktu untuk bersenang-senang dengan Sang Kekasih.

FLASHBACK OFF

*** 

avataravatar